Mahasiswa Sudah Berjuang Semenjak Pra-kemerdekaan, Bung!

Judul Buku: Campaigning in Europe for a Free Indonesia

Penulis: Klaas Stutje

Penerbit: Nias Press

Tebal Buku: xii+226 halaman

Tahun Terbit: 2019

ISBN: 978-87-7694-264-9

“Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia!”, Sebuah seruan yang memekakkan telinga dan terdengar sangat membanggakan kelasnya atau strata sosialnya sebagai seorang mahasiswa. Seruan tersebut menggambarkan bagaimana mahasiswa selalu mengelu-elukan dirinya dan pada titik tertentu suka dielu-elukan oleh masyarakat. Bahkan mahasiswa suka menyebut dirinya sendiri sebagai agent of change mungkin juga social control. Sematan ini menarik karena bisa dilihat bagaimana mahasiswa sekarang sangat membanggakan dirinya, sampai kelewat batas, sehingga—layaknya Soekarno di akhir hayatnya—suka menyematkan banyak gelar kepada diri mereka. Is it worth it?

Tapi tidak semua mahasiswa seperti itu. Biasanya yang suka berslogan, yang suka memberi istilah-istilah yang susah dipahami adalah mahasiswa yang baru terjun pada dunia pergerakan, namun tak pernah menyentuh dunia intelektual. Alhasil mereka memakai istilah yang tidak karuan untuk mengilustrasikan diri mereka. Ada mahasiswa yang dalam sunyi senyap melakukan advokasi, yang masih berjuang untuk masyarakat Indonesia secara ikhlas tanpa istilah-istilah tidak jelas seperti di atas. Mahasiswa yang masih bisa menjelaskan sesuatu dengan sesederhana mungkin agar masyarakat pun terdidik oleh tindakan mahasiswa. Mahasiswa semacam ini mengingatkan saya kepada Perhimpoenan Indonesia (PI) di mana Mohammad Hatta pernah digembleng menjadi intelektual pro-rakyat.

Dulu, beberapa dekade sebelum kemerdekaan, ketika dimulainya politik etis, Belanda membuka peluang untuk pribumi Hindia-Belanda agar mendapatkan pendidikan yang cukup. Meskipun awalnya hanya segelintir pribumi berdarah bangsawan, lama-kelamaan hampir segala macam pribumi kelas atas yang bukan berdarah bangsawan juga bisa bersekolah. Pendidikan pun bisa ditempuh di Belanda, terutama untuk pendidikan tinggi. Di negeri penjajah inilah kesadaran nasional para mahasiswa Indonesia mulai berkembang. Nasionalisme ini berbentuk organisasi bernama Indische Vereeniging (IV) yang memiliki jurnal bernama Hindia Poetra (HP). IV & HP ini, meskipun memiliki kesadaran nasional, namun masih belum berbentuk perlawanan. Pekerjaan mereka hanya memberikan pencerahan dan gambaran terkait budaya yang ada di Hindia-Belanda, salah satu tokohnya yang terkenal adalah Noto Soeroto. Perkembangan awal IV menggambarkan organisasi yang tidak konfrontatif dengan pemerintah. Hal ini akan segera berubah.

Nama Indische diubah menjadi Indonesische Vereeniging untuk menegaskan kembali istilah Indonesia sebagai identitas nasional para mahasiswa dari Hindia-Belanda ini. Perubahan ini terjadi lagi dari Indonesische Vereeniging menjadi Perhimpoenan Indonesia (PI) yang semakin memperkuat identitas dan perjuangan nasional para mahasiswa Indonesia di Belanda saat itu, yakni kemerdekaan Indonesia. Hal ini bahkan tergambarkan melalui surat kabar Hindia Poetra (HP) yang berubah nama menjadi Indonesia Merdeka (IM). Perubahan ini menandakan pendekatan yang lebih radikal, dari pendekatan budaya yang dilakukan oleh Noto Soeroto menjadi pendekatan politik yang dilancarkan oleh Mohammad Hatta, Iwa Koesoema Soemantri, dan kawan-kawannya.

Dalam perjuangan mahasiswa Indonesia yang berkuliah di luar negeri, kasus pendakwaan terhadap Mohammad Hatta, Nazir Datuk Pamuncak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdulmadjid Djojoadiningrat sangatlah terkenal. Dalam persidangan, mereka dibela oleh Mr. J.E.W. Duijs dan pada akhirnya berhasil bebas dari dakwaan tersebut. Untuk mengetahui lebih lanjut apa yang menjadi permasalahan mereka bisa dibaca dalam buku Membela Mahasiswa di Depan Pengadilan Belanda yang ditulis oleh Mr. J.E.W. Duijs dan Empat Mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda Tahun 1927 karya Ali Sastroamidjojo.

Selain nama-nama tersebut, kita juga akan menemukan dua nama dari Minahasa yang turut berperan di luar negeri, yakni Sam Ratulangi dan Arnold Mononutu. G.S.S.J. Ratu Langie merupakan mahasiswa Doktoral di Zurich yang turut mengembangkan koneksi mahasiswa Indonesia di luar negeri dengan membentuk Société des étudiants asiatiques (SDEA) yang di dalamnya tergabung banyak mahasiswa dari negara-negara Asia lainnya. Dari sinilah banyak mahasiswa Indonesia juga berhubungan dengan mahasiswa dari benua Asia lainnya dan membicarakan berbagai hal, mulai dari budaya hingga politik. Hal yang sama juga dilakukan Arnold Mononutu di Prancis yang berusaha menghubungkan mahasiswa Indonesia dengan berbagai kelompok perjuangan, baik komunis maupun nasionalis, dari negara Eropa maupun Asia. Isu kolonialisme nampaknya juga kuat di Prancis, salah satu penentang kolonialisme Prancis adalah Partai Komunis Prancis sendiri. Dari kegiatan Mononutu ini ia mendapatkan julukan dalam buku ini sebagai ambassador without a country (duta besar tanpa negara).

Kegiatan Manonutu di Prancis berakhir ketika polisi rahasia Belanda yang bertugas untuk mengawasi mahasiswa Indonesia di Eropa, Raadsman voor Studerenden, menekan ayahnya agar tidak lagi mengirim uang untuk keperluan Manonutu di Prancis.

Selanjutnya, Stutje membeberkan bagaimana mahasiswa Indonesia, terutama Mohammad Hatta yang lancar berbahasa Inggris, Belanda, Prancis, dan Jerman pada akhirnya turut bermain dalam League against Imperialism (LAI atau Liga melawan Imperialisme) di Brussel. Di tempat inilah pertemuan kontroversial antara Hatta dan Semaun terjadi, yang nantinya menjadi dalih pemerintah Belanda untuk menahan Hatta dan kawan-kawannya. Semaun lah yang memberi pintu masuk kepada Hatta dan PI untuk bergabung dalam LAI. Hatta sendiri memang tidak memiliki kecenderungan untuk menjadi komunis, ia lebih kepada pemikiran nasionalis, namun bukan nasionalis kolot yang nonkooperatif dengan kelompok lainnya. Nasionalisme ala Hatta mementingkan terbentuknya kerja sama antarpihak dengan tujuan yang sama: kemerdekaan Indonesia. Kerja sama antara komunis dan nasionalis bukanlah angan belaka baik bagi Semaun maupun Hatta.

Pada saat di mana Hatta dan kawan-kawannya memperlihatkan bahwa ada negara bernama Indonesia di luar negeri, pada saat itulah gejolak antikolonialisme juga berkembang di negara-negara jajahan, baik di Asia Tenggara, Asia Selatan (India), Tiongkok, maupun wilayah Afrika Utara hingga Selatan. Sehingga nama Indonesia sudah dikenal di kalangan mahasiswa internasional, terutama di Eropa. Hal ini membantu Indonesia untuk semakin dikenal dan didengar dalam kancah mancanegara. Namun ada satu kekurangan dalam buku ini, ialah penyebutan Indonesia sebagai fatherland yang terkesan patriarki dan seperti menggambarkan kelompok Kanan-Jauh, padahal masyarakat Indonesia menyebut tanah airnya sebagai “Ibu Pertiwi”.

Lalu apa yang penting dari kisah panjang di atas? Hatta, Pamontjak, Manonutu, Ratu Langie, Sastroamidjojo, Djojoadiningrat dan mahasiswa lainnya yang berjuang untuk menggaungkan nama Indonesia di Eropa berjuang tanpa pamrih, perjuangan mereka jauh lebih sulit ketimbang mahasiswa masa kini, jadi tak perlulah mahasiswa sekarang berlagak layaknya pahlawan dan menjadi kelas tersendiri. Adalah mahasiswa yang baik dan pantas menjadi contoh ketika dalam sunyi mereka membantu dan menolong masyarakat di sekitarnya. (rez)

Foto Hatta di The League against Imperialism: The Historian