Judul Buku: Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982
Penulis: Cho Nam-joo
Alih Bahasa: Iingliana
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal buku: 192 halaman
Tahun terbit: Maret 2022 (cetakan kesebelas)
Akhir Mei ini, saya memutuskan ingin membaca lebih banyak novel terjemahan dari negara-negara Asia yang lebih dulu terkenal akan kedigdayaan ekonominya. Pilihan jatuh pada Korea dan Jepang, dengan pilihan pertama buku yang juga populer di negara asalnya hingga diadaptasi menjadi film. Buku ini telah terjual lebih dari satu juta cetak dan diterjemahkan ke berbagai bahasa.
Kim Ji-yeong adalah tokoh utama kita dalam novel Korea kali ini. Lahir di tahun 1982 di Seoul, Kim Ji-yeong telah menghadapi dan melalui berbagai perubahan ekonomi dan sosial Korea Selatan. Kisah dibuka dengan keanehan Kim Ji-yeong pada suaminya (Cha Seung-yeon) dan keluarga suaminya. Kim Ji-yeong seolah-olah dirasuki oleh berbagai kepribadian dan meracau mengenai berbagai jenis kesulitan yang dialami kepribadian itu.
Memiliki seorang kakak perempuan dan seorang adik laki-laki, Kim Ji-yeong sebenarnya tumbuh dalam keluarga yang ekonominya sulit. Terutama masa-masa ketika Korea dihantam krisis ekonomi dan pengaruh IMF pada kondisi perekonomian masyarakat Korea pada 1990-an. Namun, beranjak remaja dan dewasa, kita akan menyaksikan kondisi ekonomi keluarga Kim Ji-yeong membaik.
Membaca novel ini, kita akan melihat dunia melalui pengamatan Kim Ji-yeong. Di masa kecil, ia dan kakak perempuannya tak jarang membantu ibunya dengan pekerjaan rumah di waktu luang mereka. Ayahnya adalah seorang pegawai negeri level rendah, sehingga penghasilannya stabil meskipun tidak tinggi. Di masa kecil hingga sekolah menengah, Kim Ji-yeong sekeluarga tinggal bersama nenek mereka (ibu dari ayah). Ibunya dulu sempat bekerja tetapi berhenti untuk mengurus anak dan rumah tangga. Untuk menambah penghasilan keluarga, ibunya juga sempat bekerja sampingan. Meski seorang ibu rumah tangga, dalam novel ini, penggambaran karakter ibu Kim Ji-yeong termasuk kuat. Ia pandai dalam mengelola keuangan dan investasi. Ibu Kim Ji-yeong, Oh Mi-sook, juga lebih tajam dalam melihat peluang masa depan anak-anaknya. Namun, ia bukan seorang ibu yang memaksakan kehendaknya kepada anak-anaknya. Justru, ia menginginkan terutama bagi Kim Ji-yeong dan kakak perempuannya, Kim Eun-yeong untuk mengikuti mimpinya. Bagian dari ini juga karena Oh Mi-sook sendiri tahu bagaimana rasanya harus menjalani sesuatu yang bukan lagi mimpinya, lebih karena keadaan.
Pembabakan novel ini ditulis dalam periode waktu yang juga menunjukkan perkembangan sosial-ekonomi Korea. Sehingga, membaca buku ini rasanya juga melihat kilasan perkembangan sosial-ekonomi Korea. Tak hanya itu, permasalahan kesetaraan gender, kesenjangan gaji antara perempuan dan laki-laki, kesenjangan kesempatan keduanya di bursa kerja, pelecehan seksual, penyakit kejiwaan, harapan dan perspektif sosial terhadap perempuan menambah beban berat di tiap lembaran kisah novel ini.
Novel yang pertama kali terbit tahun 2016 di negara asal penulisnya ini turut menuai kontroversi. Disamping menggambarkan permasalahan sosial dan ekonomi Korea, Novel ini kental mengangkat topik feminisme. Membaca novel ini, seperti mengingat-ingat kembali penuturan Betty Friedan (The Feminine Mystique), Ursula Huws (The Making of a Cybertariat), dan Shirin Ebadi (Iran Awakening). Benang merah di antara ketiganya ialah posisi perempuan dalam rumah tangga. Kegelisahan perempuan karena selalu dihadapkan pada pilihan untuk bekerja, mengurus pekerjaan rumah tangga, dan mengurus anak. Celetukan ringan yang menggampangkan pekerjaan ibu rumah tangga karena dianggap hanya berada di rumah.
Banyak novel bertemakan feminis yang dapat kita temui di luar sana hari ini. Namun, tak banyak yang menuliskannya segamblang Cho Nam-joo. Meracik baik-bait naratif dengan disisipi data statistik bisa terasa membosankan, tetapi tidak dengan novel ini. Cho Nam-joo berhasil merangkum permasalahan kesetaraan gender dan kegelisahan perempuan Korea dalam karya yang menggugah. Ia mampu membawa pembaca turut merasakan frustasi, kebingungan, ketakutan, dan kelelahan tokoh utama kita, Kim Ji-yeong.
Cho Nam-joo menunjukkan bagaimana diskriminasi gender di Korea begitu terlembaga sampai-sampai cara pandangan diskriminatif terhadap perempuan dianggap sebagai hal lumrah dan sudah seperti yang seharusnya terjadi. Diskriminasi gender yang terlembaga di masyarakat ini juga memberikan beban kepada perempuan untuk berpikir dan bersikap seperti bagaimana masyarakat melihat perempuan harusnya bersikap. Tak jarang, tak perlu alasan solid untuk menjelaskan kenapa perekrut, misalnya, lebih memilih untuk merekrut laki-laki jika keduanya memiliki kemampuan yang setara. Perempuan dianggap kurang memiliki ‘umur panjang’ dalam dunia kerja karena mereka harus mengurus rumah dan mengurus anak. Padahal, pekerjaan itu juga harusnya dilakukan tidak hanya oleh perempuan, tapi juga laki-laki. Disamping itu, meskipun secara umum banyak laki-laki beretika baik dan sopan kepada perempuan, tetapi mereka tidak memahami diskriminasi yang dirasakan teman perempuannya. Sehingga, di banyak kesempatan meskipun mereka tahu ada yang tidak nyaman, mereka memilih diam karena dianggap sikap itu lebih aman dan tidak memperkeruh masalah.
Novel yang juga diilhami dari kisah penulisnya ini terasa lebih dekat dan menyentuh langsung ke kegelisahan perempuan. Namun, bukannya novel ini tidak membawa pesan optimis. Tergantung bagaimana pembaca mengambil pesan di dalamnya, Cho Nam-joo menunjukkan bahwa apa yang dirasakan Kim Ji-yeong tidak hanya dirasakan segelintir perempuan saja. Banyak dari kita adalah Kim Ji-yeong, atau berada di posisi yang lebih buruk darinya. Tidak masalah unyuk mengungkapkan kelelahan kita dan sedikit meminta bantuan orang lain untuk keluar dari kondisi yang melelahkan ini. Dan di antara para Kim Ji-yeong, tentu ada seorang ibu atau kakak perempuan yang seperti Oh Mi-sook. Mereka tahu rasanya jika sesuatu yang mereka banggakan atau senangi direnggut darinya sehingga mereka pun ingin melindungi mimpi orang lain karena bagi mereka, tidak mungkin bisa memutar waktu tetapi setidaknya mengharapkan di masa depan dunia sedikit demi sedikit semoga lebih baik bagi anak-anak perempuan mereka. (ich)