Menikmati Anugerah Akal Lewat Buku Jostein Gaarder

Judul buku: Misteri Soliter

Penulis: Jostein Gaarder

Penerbit: Mizan

Tahun terbit: 2016 (Cetakan II)

Tebal buku: 484 halaman

ISBN: 978-979-433-903-9

Saat masih menjadi mahasiswa semester satu Ilmu Politik (dan Administrasi Negara), kami punya mata kuliah wajib Pengantar Filsafat. Di awal perkuliahan, sang dosen bertanya seputar apa yang kami ketahui tentang filsafat saat itu dan siapa saja filsuf yang kami kenal. Nama Aristoteles, Socrates, Plato, Rene Descartes, Friedrich Nietzsche adalah yang paling banyak disebut. Selanjutnya, sang dosen bertanya karya apa yang kami ketahui dari filsuf tersebut. Also sprach Zarathustra adalah yang paling dikenali. Mungkin karena tak sedikit yang menganggap sang filsuf penulis buku itu orang yang nyentrik. 

Lalu, giliran sang dosen menyebut buku-buku yang bisa kami baca sebagai pengantar. Salah satu di antaranya adalah buku Dunia Sophie karya Jostein Gaarder yang diterjemahkan Mizan. Buku itu tentunya bukan bagian dari kurikulum mata kuliah. Tetapi, seperti yang dikatakan Beliau, buku itu adalah pengantar yang bagus dan bacaan yang ringan di antara bacaan akademis yang harus mulai kami biasakan sebagai mahasiswa.

Jostein Gaarder adalah penulis novel yang istimewa. Buku-bukunya berupaya mengenalkan dunia filsafat secara menyenangkan; yang bagi akademisi dijelajahi melalui renungan rumit dan seolah menelusuri jalan berkelok nan bercabang. Karena berupa novel/karya sastra, orang bebas memahami sekehendak hatinya. Bebas memaknai sejauh pemahamannya. Dikemas dalam petualangan dan karakter bak negeri dongeng, buku Jostein Gaarder juga bisa dinikmati pembaca dewasa-muda. Menjaga agar setiap orang, pembaca muda maupun dewasa, tetap memiliki imajinasi yang hidup dan waras.

Buku yang diterjemahkan dari versi bahasa Inggrisnya, The Solitaire Mystery, oleh Mizan ini lumayan tebal. Kita akan dibawa berkendara melintasi Eropa oleh Hans Thomas dan ayahnya—yang ia panggil Pa. Mereka berkendara dari Arendal, Norwegia ke Athena, kota kelahiran para filsuf dengan Fiat merah. Tujuannya ialah menemukan Mama Hans Thomas yang pergi meninggalkan mereka delapan tahun silam demi mencari jati diri. Berbekal foto Mama dari majalah mode, mereka berangkat mencari Mama dan untuk mengajaknya pulang ke Arendal. Pa adalah orang yang telah lama hidup di laut. Gemar mengoleksi kartu Joker dan gemar berfilsafat. Tak jarang, Pa mengajak Hans Thomas turut dalam renungan filosofisnya. Selama berkendara, mereka akan berhenti beberapa kali agar Pa bisa istirahat untuk merokok. Di setiap istirahat itu, Pa akan mulai berfilsafat atau berkisah tentang sejarah keluarga.

Hans Thomas, sang tokoh utama kita, adalah anak laki-laki berusia 12 tahun yang sudah mulai bisa berfilsafat sendiri seperti ayahnya. Suatu ketika dalam perjalanan, ia bertemu kurcaci yang menghadiahinya kaca pembesar. Si kurcaci menunjukkan jalan menuju Dorf, desa kecil nan tenteram di atas Pegunungan Alpen. Tak sangka, di Dorf ia menemukan satu-satunya toko roti dan pembuat roti tua yang memberinya empat roti kadet dan soda rasa buah pir. Kejutan lain datang dari roti kadet terbesar yang ia makan terakhir. Di dalamnya tersembunyi buku yang ditulis dengan huruf super kecil. Sampai-sampai butuh kaca pembesar untuk membaca halaman-halamannya. Penulisnya ialah Hans, pelaut yang pernah terdampar di pulau ajaib sebelum akhirnya berhasil selamat dan lari ke Dorf. Di pulai itulah kisah penuh petualangan dan teka-teki dimulai.

Seperti subjudulnya, Filsafat dalam Setumpuk Kartu Remi, kita akan diajak untuk menjelajahi makna keberadaan manusia melalui kartu remi. Buku roti kadet akan membantu kita mengungkap rahasia pulau ajaib, tempat Frode—pelaut yang terdampar 52 tahun lalu sebelum Hans—dan kartu reminya dimainkan. Tapi, perhatikan! Kisahnya mungkin akan membingungkan. Maka, tidak masalah jika harus dibaca perlahan.

Kisah dalam buku roti kadet yang dibaca Hans Thomas ternyata berkaitan dengan kisah keluarganya yang sempat bernasib malang. Kemalangan yang sempat membuat Hans Thomas melihatnya sebagai kutukan keluarga. Tapi, Pa membuat Hans Thomas memikirkan bahwa hidup mereka adalah rangkaian keberuntungan besar. Bahwa nenek moyang mereka (dan diri kita sendiri tentunya), berhasil melalui ujian-ujian sejarah hingga rantai generasi itu tak terputus. Lalu lahirlah Pa dan Hans Thomas. Meski dalam situasi yang kurang beruntung. Pa tidak pernah tahu siapa ayahnya. Sedangkan Hans Thomas ditinggal Mama ke Athena sejak usia empat tahun. Setidaknya, itulah keberuntangan besar mereka. Mereka berhasil lahir ke dunia.

Dunia yang kita tinggali ini, ibarat sebuah permainan soliter raksasa. Dan layaknya kartu remi, ada orang-orang yang tergabung ke dalam kelompok-kelompok. Ada sekop, keriting, wajik, dan hati. Tapi, meski berada dalam kelompok sama, setiap individu berbeda. Hanya ada satu dua wajik, hanya ada satu jack hati, hanya ada satu raja sekop. Saking terbiasanya berada dalam kelompok, terbiasa memiliki peran masing-masing, dan terbiasa melihat dunia; manusia bisa menjadi tumpul inderanya. Mereka jadi terbiasa dengan yang ada di sekelilingnya. Tanpa bertanya. Mereka menjalani hidup begitu saja.

Tapi, dalam satu pak kartu remi, setidaknya ada satu atau dua joker. Joker bukanlah sekop, keriting, wajik, atau hati. Karena berbeda, Joker kadang tidak mahir dalam peran tertentu seperti para sekop, keriting, wajik, dan hati. Sehingga, ia punya lebih banyak waktu untuk mengamati kelompok-kelompok kartu remi itu. Ia bisa melihat menembus mereka. Ia punya waktu dan kemampuan untuk mempertanyakan sekelilingnya, mencoba mengungkap misteri kehidupan. Meskipun tidak sepenuhnya bisa ia capai. Semua pengetahuan tidak bisa direguk dalam satu kali kehidupan. Seperti yang dikatakan Socrates, satu-satunya hal yang aku tahu adalah bahwa aku tidak tahu apa-apa.

Namun, menurut Hans, orang paling beruntung yang bisa menikmati dunia selagi bisa tentulah anak-anak. Anak-anak yang baru lahir ke dunia, terutama, melihat dunia sebagai tempat asing. Segalanya asing. Mereka akan melihat ke setiap hal baru yang ditemuinya dengan antusias. Penuh tanya. Seiring anak-anak bertumbuh dewasa. Mereka jadi terbiasa dengan dunia. Mereka berhenti bertanya. Atau mengamati sebentar saja manusia lain untuk tahu apa nama dan kegunanaan benda di sekelilingnya.

Buku Jostein Gaarder ini akan menggelitik kembali rasa penasaran kita terhadap misteri kehidupan. Apa yang ada di sekeliling kita. Hal-hal sederhana yang sebelumnya tak pernah kita amati dengan teliti dan pertanyakan. Atau mungkin pernah, tapi tidak lagi. Ringkasnya, Jostein Gaarder melalui bukunya ini kembali mengajak kita untuk menikmati anugerah akal yang kita punya. Seberapa kuat pikiran kita untuk menghadirkan gagasan-gagasan yang abstrak itu muncul di depan mata. (ich)