Judul Buku: Pembangunan Berwawasan Lingkungan
Penulis: Emil Salim
Penerbit: LP3ES
Tebal Buku: 237 halaman
Tahun Terbit: Cetakan Keenam, 1993
Emil Salim, nama ini akan menggema dan pasti dikenal oleh penduduk Indonesia di tahun 1980an. Salah satu dari Mafia Berkeley yang memang lulusan University of California at Berkeley untuk PhD dan MA nya. Dan memang, rata-rata alumni Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia menjadi ekonom yang tajam dalam melakukan prediksi. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup selama 1978-1993 setelah sebelumnya menjadi Menteri Perhubungan pada tahun 1973-1978, dan Menteri Negara Bidang Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara (1971-1973). Di zaman pasca-Soeharto pun, ketika kepemimpinan Indonesia dipegang oleh Susilo Bambang Yudhoyono, ia diangkat menjadi salah satu Dewan Pertimbangan Presiden yang fokusnya adalah lingkungan hidup. Karir yang amat panjang menandakan bahwa beliau memang orang yang dipercaya oleh Indonesia untuk mengemban amanah sebagai pejabat negara. Tidak hanya menjadi birokrat, namun Emil Salim merupakan intelektual garda depan di Indonesia dan Asia Tenggara yang namanya sudah mendunia. Dan buku ini merupakan salah satu karyanya yang monumental.
Manusia dalam berinterasi dan bersosialisasi dengan manusia lainnya pasti tidak terlepas dari lingkungan hidup disekitarnya. Bahkan sejak zaman batu, manusia sudah bergantung kepada alam sekitar dengan cara berburu untuk mencari makannya. Semakin berkembangnya zaman, manusia pun pasti ikut berkembang, namun terkadang dengan melupakan alam sekitarnya. Menurut Salim, hakikat pembangun adalah membangun manusianya, apabila pembangunan itu terjadi di Indonesia, maka masyarakat Indonesia lah yang harusnya dikembangkan. Dalam melakukan pembangunan terhadap masyarakat, maka ada dua komponen yang patut diperhatikan: kemajuan lahiriah yang bersifat material dan kemajuan batiniah yang bersifat imaterial. Kedua hal tersebut adalah dasar dalam melakukan pembangunan untuk mencapai Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dalam melaksanakan pembangunan sendiri dilakukan secara bertahap dan tidak bisa dengan cara cepat, maka dari itu pemerintah selalu mencetuskan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun).
Meskipun manusia menjadi subyek begitu pula obyek utama dalam pembangunan, namun lingkungan hidup tidak kalah pentingnya bagi Emil Salim. Jika rusak lingkungan hidup di suatu wilayah, maka rusak pula tatanan sosial yang ada di sana. Beliau berargumen, untuk memahami kondisi lingkungan hidup kita, hal paling mendasar yang harus dipahami adalah dua jenis sumber daya alam (SDA): yang dapat diperbarui (ternak dan pertanian) dan yang tidak dapat diperbarui (tambang). Melalui pengkategorian yang ada tadi, kita harus bijaksana dalam menggunakan sumber daya alam, terutama yang tidak dapat diperbarui. Kelangkaan sumber daya alam akan berimplikasi pada perekonomian, sebelum terjadi hal buruk terhadap perekonomian, maka alangkah baiknya manusia bertindak bijaksana terlebih dahulu.
Bagi Emil, pengelolaan sumber daya alam diutamakan bagi daerah yang menghasilkan sumber daya alam tersebut dengan pola yang mengindahkan kelestarian lingkungan hidup. Beliau menjelaskan bahwa kita harus menekan permintaan akan sumber daya alam yang terus meningkat agar tidak memunculkan eksploitasi lingkungan hidup yang berlebih. Sumber daya alam yang ada di Jawa, Madura dan Bali sudah menipis semenjak kita merdeka, dan seharusnya para penduduk dari tiga wilayah ini maupun korporat yang bertempat di tiga daerah itu, mulai memikirkan dampak jangka panjang apabila sumber daya alam terus menerus digerus. Jangan sampai kepentingan personal atau kelompok merugikan masyarakat umum.
Kebijakan yang paling sesuai untuk menjaga lingkungan hidup adalah eco-development dimana pemerintah berusaha menyelaraskan pembangunan dengan pelestarian alam sekitar. Faktor utama yang akan menjadi penopang kebijakan ini ialah kemampuan masyarakat dan juga pemerintah dalam melaksanakannya. Ia menjelaskan pentingnya lingkungan hidup ialah menjadi rumah bagi baik flora maupun fauna yang memiliki ekosistem tersendiri, yang dari ekosistem tersebut ada rantai makanan, apabila habitatnya rusak, maka rusak pula rantai makanan yang ada dan mereka pastinya akan mencari habitat lain. Apabila dari rantai makanan ini ada yang terputus, pastinya akan mengganggu kehidupan manusia pula. Maka dari itu pembangunan pabrik harus melihat kepentingan lingkungan hidup ini pula. Keuntungan dari pabrik tidak sesuai dengan kerusakan alam yang terjadi akibat pabrik tersebut. Maka dari itu, ia menyarankan pembangunan pabrik harus memiliki izin lingkungan hidup (kita sekarang mengenalnya dengan sebutan AMDAL yan dimulai sejak 1982).
Permasalahan yang didapati di Indonesia adalah permasalahan negara berkembang pada umumnya: pertumbuhan penduduk yang semakin pesat, dan akibatnya: desakan terhadap pertumbuhan ekonomi. Walaupun Emil Salim memiliki pandangan yang kelihatannya ingin melestarikan lingkungan hidup, namun ia tetap lulusan Amerika Serikat. Latar belakang pendidikan ini yang berdampak pada pandangannya mengenai kemiskinan. Baginya, kemiskinan yang terjadi adalah ketidakmampuan masyarakat dalam menikmati sumber daya alamnya. Maka dari itu, setiap perusahaan yang ingin mendirikan pabrik, harus memiliki kewajiban untuk memakmurkan masyarakat yang ada di sekitarnya (kita sekarang mengenalnya dengan Corporate Social Responsibility – CSR). Usaha pelestarian global sendiri sudah digawangi oleh PBB dengan pembentukan UNEP (United Nations Environment Programme). Namun Emil Salim mengkritik Stockholm (kemunculan Environtalisme) dan UNEP karena lemahnya transfer teknologi ramah lingkungan dari negara-negara Utara kepada negara di Selatan. Maka dari itu Indonesia dalam melestarikan sumberdaya alamnya supaya dapat beriringan dengan pertumbuhan ekonomi terkadang menempuh jalur trials and errors.
Adapun dalam pelestarian sumber daya alam, Emil Salim mencetuskan bahwa ada Wilayah Tak Terlanggar yang didalamnya merupakan cagar alam bagi flora dan fauna yang terancam hajat hidupnya. Indonesia yang terbagi dalam berbagai wilayah ekologi harus menyisihkan paling tidak 10% untuk ekosistem mahluk hidup selain manusia. Beliau menyarankan bahwa hutan seluas 122 juta hektar wajib disisihkan 48 juta hektar untuk tetap menjaga linkungan hidup di Indonesia dan untuk relokasi flora dan fauna yang ekosistemnya terganggu oleh pembangunan yang dilakukan oleh manusia. Adapun pemanfaatan tanah dan sumber daya alam harus melihat urgensi sehingga tidak setiap waktu sebuah sumberdaya alam diambil hanya untuk ditimbun di gudang. Adapun pembahasan mengenai kawasan penyangga merupakan ide dari Emil Salim yang mulai diterapkan di Indonesia.
Terlepas dari preferensi politik yang dimiliki oleh Emil Salim, namun kita tidak bisa menafikkan bahwa beliau punya keahlian dan kemampuan dalam usahanya menyelaraskan pembangunan manusia dan pelestarian sumberdaya alam. Saya sangat menyarankan buku ini dibedah dan didiskusikan oleh para LSM yang mendukung pelestarian sumberdaya alam. Marilah kita merdeka dalam berpikir, semoga tidak hanya Murray Bookchin yang akan dibicarakan namun juga anak bangsa seperti Emil Salim. Buku ini bisa menjadi referensi untuk mata kuliah teori pembangunan agar kita tidak berfokus pada industri saja tapi juga pada alam sekitar kita. (rez)