Judul Buku: The Governance of China II
Penulis: Xi Jinping
Penerbit: Foreign Language Press
Tebal Buku: 619 halaman
Tahun Terbit: 2017
Berbicara mengenai Republik Rakyat Cina (RRC) di abad keduapuluhsatu, maka ada nama Xi Jinping yang sangat melekat padanya. Nama ini menggema layaknya Mao Tse-Tung dan Deng Xiaoping dimasa lampau. Bahkan kabar terakhir yang kita dengar di berita, beliau dihampiri oleh pimpinan besar Republik Demokratik Korea Utara, Kim Jong Un. Perawakan yang tenang, murah senyum dan berwibawa ini ternyata memiliki kemampuan berpidato yang tidak kalah dengan Hitler atau Soekarno, namun dengan wajah tenang layaknya Soeharto. Memang sudah ciri khas negeri panda ini dalam membukukan pidato-pidato pemimpinnya, jika dulu kita mengenal buku Quotes From The Chairman Mao, sekarang kita diperkenalkan oleh Foreign Language Press dengan buku The Governance of China jilid 1 dan 2. Resensi ini akan menguraikan kunci kesuksesan RRC di era demokrasi ini.
Buku ini menggolongkan pidato Xi dalam beberapa bagian. Yang pertama adalah bagaimana RRC masih mampu mempertahankan ideologi komunisnya hingga era neoliberal ini. Bagi Xi, Uni Soviet runtuh akibat mempertanyakan doktrin-doktrin Marxisme yang harusnya ditaati tanpa pertanyaan. Cina mampu mempertahankan ideologi yang dianggap gagal ini karena marxisme merupakan keinginan dari Rakyat Cina sendiri. Ia mengejawantahkan bahwasanya Marxisme adalah ilmu sosial modern yang dapat digunakan untuk menyelesaikan segala permasalahan sosial, ekonomi dan politik yang ada di dunia ini. Pertarungan kelas menjadi basis utama untuk menyetarakan kesenjangan ekonomi yang terjadi di banyak negara. Kunci keberlanjutan dari Sosialisme, Komunisme dan Marxisme adalah kedisiplinan yang diwujudkan didalam partai terkait. Dan memang kedisiplinan tersebut cocok dengan budaya rakyat Cina yang termasuk rigid dan juga ulet.
Di bawah pimpinan Xi, Cina berusaha menjadi super disiplin dengan program kerja yang diusungnya melalui pembuatan peraturan-perundangan yang ketat bagi partai maupun seluruh masyarakat Cina. Korupsi yang dilakukan oleh perjabat negara adalah akibat hilangnya kedisiplinan tersebut yang diawali dengan ketidaktaatan terhadap peraturan-perundangan, maka dari itu, penegakan hukum merupakan ujung tombak utama dalam penegakan kedisiplinan. Sanksi merupakan senjata utama dalam menghilangkan korupsi dari bumi manusia ini. Beliau mencetuskan Law-Based Governance dimana tata kelola pemerintahan semuanya harus sesuai dengan aturan yang sudah dicanangkan, segala tindakan diluar aturan itu adalah usaha untuk merusak pengembangan kapasitas dari lembaga negara RRC. Pengembangan kapasitas dan institusi merupakan impian Xi Jinping untuk kemajuan Cina.
Adapun prinsip-prinsip Good Governance terselip dalam agenda Xi Jinping dalam memerintah baik RRC maupun Partai Komunis Cina (PKC) dengan menekankan kepada seluruh aparat negara maupun petugas partai bahwa posisi masyarakat Cina adalah penguasa. Ia pun menekankan kepada para pejabat tinggi Cina agar tidak sering berlibur, terutama keluar dari wilayah administratif pejabat tersebut, karena jika ada permasalahan penting yang harus diselesaikan, maka pejabat tersebut merupakan penanggungjawab utama. Dalam penegakan hukum, masyarakat adalah aktor utamanya, mereka juga menjalankan tugas untuk mengawasi tindakan para pejabat negara. Partisipasi aktif masyarakat dalam penegakan hukum inilah yang merupakan sebuah kelebihan sistem pemerintahan di Cina yang berusaha menggabungkan peraturan-perundangan bergaya sosialis, kapitalis dan fitur-fitur budaya Cina yang selalu harus dipegang.
Terlepas dari ideologinya yang komunis, ternyata Cina dibawah Xi Jinping sudah bergerak kepada Pasar Bebas. Salah satu komponen penting dalam pertumbuhan ekonomi, menurut Xi, adalah investasi. Cina butuh menghilangkan hambatan-hambatan yang ada dalam masuknya arus investasi demi pertumbuhan ekonomi yang lebih pesat. RRC harus menggalakkan ekspor demi pertumbuhan ekonominya menjadi lebih pesat, masyarakat harus mengurangi konsumsi berlebih dan mulai menjadi produsen berbagai macam barang dan jasa yang dapat diekspor ke luar RRC. Keunggulan komparatif utama dari Cina adalah banyaknya tenaga kerja dengan upah yang rendah tapi masuk akal. Kualitas produksi barang dan jasa juga bertumpu pada kualitas human capital yang ada di suatu negara, maka diperlukan pengembangan sumberdaya manusia yang besar guna mengurangi ketergantungan terhadap negara lain. Budaya konsumtif yang sekarang marak di dunia internasional menjadikan sebuah keuntungan tersendiri bagi Cina. RRC membutuhkan inovasi teknologi perindustrian demi mempercepat dan memperbanyak produk yang nantinya akan menjadi konsumsi dalam negeri maupun ekspor.
Akan tetapi, dengan industrialisasi pesat yang terjadi di RRC, maka polusi pun akan merajalela dan masyarakat sekarang sangat membutuhkan lingkungan hidup yang bersih. Maka sudah menjadi kewajiban negara untuk membenahi dan mewajibkan pendirian usaha yang sifatnya ramah lingkungan (pembangunan yang rendah karbon harus digalakkan). Hal ini tidak terlepas dari sejarah industrialisasi dan pembangunan Cina yang acapkali melupakan faktor lingkungan yang sekarang berdampak kepada masyarakat Cina sendiri. Alokasi sumber daya lama merupakan permasalahan lain yang juga harus dihadapi oleh pemerintah Cina. Xi Jinping menyarankan penggunaan ekonomi Keynesian guna menyelesaikan problema alokasi sumberdaya. Pemerintah harus mengontrol sumberdaya ini dan secara bersamaan menerapkan Flying Geese Paradigm demi mempercepat pertumbuhan ekonomi secara makro. RRC harus benar-benar mampu memahami perubahan-perubahan yang terjadi dalam pasar bebas, terutama permintaan dan suplai yang dibutuhkan oleh dunia internasional. Sebisa mungkin RRC menyediakan demand.
RRC sendiri harus beradaptasi dengan perekonomian New Normal dengan meningkatkan kualitas dan memperbanyak inovasi dari produk-produk yang ada di Cina. Sekarang, produktivitas kerja adalah panglima bagi RRC. Dalam perekonomiannya yang berkembang pesat, pemerintah di sebuah negara tidak boleh melupakan adanya kesenjangan GDP dari tiap daerah. Negara tidak boleh berfokus kepada pertumbuhan GDP secara nasional agar meninggikan derajat dirinya secara ekonomi namun melupakan bahwa disparitas terjadi dalam pertumbuhan GDP tersebut. Jika hal ini terjadi, maka negara lalai dalam menyejahterakan masyarakatnya, dan apabila pemerintah RRC melakukan hal tersebut, maka PKC telah menjual harga diri ideologis dan identitasnya agar diperhitungkan di dunia perekonomian internasional. Harus ada koordinasi pembangunan antar daerah agar memudahkan faktor produksi gerak bebas tapi terarah. Cara semacam ini disebut dengan regional zoning plan yang jika diimplementasikan dengan baik akan menghasilkan distribusi pelayanan publik yang adil.
Mahzab neoliberal yang ada dalam Xi Jinping tercermin dari pidatonya yang mengharapkan bahwa RRC membiarkan pasar bebas menentukan alokasi sumber daya. Pemerintah harus mengembangkan perannya di ranah-ranah yang tidak dapat dijangkau oleh pasar. Namun, meskipun pasar bebas diperbolehkan melakukan penentuan alokasi, pemerintah masih berperan sentral dalam mengawasi gerak-gerik pasar bebas. Pemerintah harus mengutamakan pengembangan pelayanan publik dibanding mengitung harga pasar, seperti menyediakan sekolah yang dapat diakses oleh kalangan bawah, jaminan kesehatan, juga melakukan manajemen sosial dan memproteksi lingkungan hidup penduduknya. Pelayanan publik yang dilaksanakan oleh pemerintah harus menarget kelompok-kelompok yang memang membutuhkan pelayanan tersebut.
Kemampuan Cina dalam mengembangkan sumber dayanya dan berujung kepada produktivitas tinggi ini berasal dari kepemimpinan Xi yang tidak konfrontatif terhadap negara lain. Ia mempromosikan RRC yang ramah dan terbuka. Kunci keberhasilan ekonomi adalah consumer-driven production (produksi yang didasari oleh keinginan konsumen). Ia membuat RRC menjadi pabrik internasional yang membuat banyak perusahaan tertarik untuk berinvestasi dan membangun pabrik di sana, dengan itu akan menyediakan lapangan kerja yang banyak untuk penduduk Cina. Buku ini ialah kiat-kiat yang mendorong maraknya barang bertulisan Made in China yang wajib dibaca oleh administrator, pengusaha dan birokrat di negara-negara sedang berkembang agar mampu menjadi New Industrialized Countries (Negara Industri Baru) yang dapat bersaing dalam skala internasional. (rez)