Sintesis Demokrasi dan Khilafah

oleh Sri Andiani Zamrud Al Azam

Akhir–akhir ini mencuat kembali isu mengenai khilafah, yakni dengan diblokirnya film yang menceritakan tentang sejarah khilafah di Indonesia. Berbagai tanggapan baik pro maupun kontra dari para pakar juga tidak luput meramaikan jagat media. Khilafah sendiri jika dipahami secara istilah adalah sebuah sistem kepemimpinan yang berpedoman penuh pada hukum islam, pemimpinnya disebut khalifah dan secara geografis tidak terbatas.

Sementara demokrasi adalah bentuk pemerintahan pula yang sering disebut pemerintahan oleh rakyat, karena kedaulatan tertinggi ada pada rakyat. Namun apakah khilafah dan demokrasi tidak sejalan? Mari kita coba menelusuri makna keduanya.

Jika dilihat dari perspektif historis khilafah sendiri identik dengan Islam. Hal ini tidak lepas dari pengaruh sejarah yang melekat sejak Nabi Muhammad Saw sampai kekaisaran Turki Utsmani. Jika kita melihat secara periodisasi, misalnya, dari zaman Nabi Muhammad Saw sampai kekaisaran Turki, bentuk–bentuk pemerintahan khilafah berbeda–beda. Misalnya, ketika pada zaman Nabi Muhammad Saw sampai Khulafaur Rosyidin (para sahabat Nabi) itu tidak memiliki mekanisme pemilihan yang tetap, tidak terpatok pada periode kekuasaan tertentu, tidak ada pembagian kerja, birokrasi, dll. Tetapi hal ini tidak serta merta menutup ruang–ruang dialog dan demokrasi, walaupun kadarnya masih minim.

Ada demokrasi pada masa itu adalah ketika saat sahabat Nabi, Abu Bakar wafat kemudian digantikan Umar bin Khattab dan setelah itu model pemilihan pemimpin komisi pemilihan yang disebut formatur. Hal ini bisa di tinjau dengan adanya Abdurahman bin Auf sebagai ketua formatur yang akan menyelenggarakan pemilihan berdasarkan musyawarah sampai terpilihnya pemimpin baru, yakni Usman bin Affan.

Masa–masa setelah Khulafaur Rosyidin ini ditutup oleh Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah dan ditandai dengan kemunculan berbagai dinasti dari mulai Dinasti Ummayah, Dinasti Abbasyiah, Dinasti Fatimiyah, dan banyak lagi sampai pada puncaknya dinasti/kekhalifahan Turki Ustmani. Kemudian masuk kepada keruntuhan sistem pemerintahan dinasti dan mengubah dominasi baru menjadi keyakinan bentuk pemerintahan modern seperti demokrasi, komunisme, sosialisme, liberalisme, fasisme, dll.

Menyoal jejak khilafah di Indonesia sendiri bukanlah hal yang baru, karena dulu raja–raja di jawa menggunakan gelar Khalifah juga, misalnya raja di Yogyakarta yang menggunakan gelar Khalifatullah karena di jawa memiliki konsep raja adalah wakil Tuhan di Bumi. Walaupun sekarang sudah dihilangkan karena sifatnya sudah tidak mutlak lagi kekuasaan raja dan bertugas menjalankan fungsi pemerintahan saja. Namun yang perlu digarisbawahi adalah relasi antara demokrasi dan khilafah tidak selalu bertentangan jika dilihat menggunakan kacamata sejarah.

Khilafah memiliki berbagai macam bentuk dalam menghadapi tuntutan setiap zamannya. Dalam sistem khilafah tidak ada aturan negara khilafah karena Islam tidak memiliki aturan yang jelas dalam membentuk negara. Bisa diartikan khilafah adalah suatu kondisi di mana bentuk kehidupan yang sejahtera sesuai kebutuhan zamannya. Dari mulai zaman Nabi Muhammad Saw sampai berbentuk dinasti dan sekarang sistem pemerintahan kontemporer.

Maka dari itu, kurang tepat rasanya jika ada seruan membentuk negara khilafah. Justru entah itu lewat monarki, parlementer, demokrasi maupun komunis jika mampu menyajikan pemerintahan yang adil dan menyejahterakan juga melindungi segenap bangsanya itulah yang diharapkan. Ajaran khalifah adalah menjadi pemimpin yang seperti itu, yakni adil, amanah, dan mampu memimpin mengikuti kebutuhan zamannya bukan romantisme sejarah kejayaan yang lampau kemudian dipaksakan masuk kedalam kehidupan masyarakat modern.

Mengapa tidak bisa dipaksakan? Karena memang secara kondisi jelas berbeda total. Dulu kehidupan masyarakat tidak serumit seperti sekarang, oleh sebab itu kita mengenal adanya lembaga yang mengelola administrasi, keamanan, komisi-komisi semuanya dibentuk untuk memberikan pelayanan terhadap publik. Di Indonesia sendiri saja jangankan menerapkan khilafah, ideologi lain saja harus masuk dengan berbagai syarat disaring betul sampai cocok untuk masyarakat Indonesia yang majemuk dan Pancasila merangkum semua keinginan masyarakat kita yang majemuk tersebut.

Jika melihat grand design khilafah hari hari ini ingin menyatukan seluruh dunia menjadi satu dipimpin seorang imam itu alangkah utopisnya wacana tersebut. Mengingat berapa banyak masyarakat dari berbagai suku, tradisi dan keyakinannya masing–masing selama ratusan tahun diwariskan, kemudian akan digantikan dengan khilafah? Saya rasa kita perlu berkaca sebelum berwacana. Komunisme saja yang sempat populer abad ke-19 sampai abad ke–20 dengan Komintern (Komunis Internasional) yang juga hampir sama dengan konsep khilafah yakni kesatuan seluruh dunia dibawah satu komando, juga harus menelan pil pahitnya yang berujung keruntuhan.

Terminologi khilafah hari–hari ini menjadi suatu stigma yang menakutkan bagi sebagian pihak dan demokrasi adalah jawabannya karena paling dipuja di era modern sebagai bentuk pemerintahan paling efektif. Padahal kalau bisa diringkas, demokrasi adalah jalan konflik dan penyelesaiannya harus dengan upaya yang demokratis tidak otoriter.

Bias yang terjadi juga seringkali kita mengumandangkan kebebasan tapi aspirasi dari oposisi dibungkam dengan segala macam represi. Dialog antar warga negara dengan pemerintah menjadi satu arah dan dalam hal inilah kita menghadapi kebuntuan baik diskursus menyajikan sistem pemerintahan demokratis maupun dalam menanggapi isu khilafah.*

Sri Andiani Zamrud Al Azam (Andyan) adalah mahasiswa S1 Ilmu Politik di FISIP, Universitas Airlangga.