Sepotong Kisah Carl Schmitt dalam Pengasingan

Judul Buku: Ex Captivitate Salus

Penulis: Carl Schmitt

Penerbit: Polity

Tebal Buku: 94 halaman

Tahun Terbit: 2017

Sejarah ditulis oleh pemenang, kata Churchill. Kalimat itu terlontar karena beliau ada pada kubu pemenang dan sejarah dibentuk oleh mereka: Inggris, Amerika Serikat dan Uni Soviet yang menaklukkan kubu Jerman (Nazi), Italia dan Jepang dalam perang dunia kedua. Banyak kisah-kisah yang dihapuskan oleh para pemenang agar kubu yang kalah tidak mendapat apa-apa kecuali pembenaran bahwa mereka memang “salah”. Dalam peperangan memang keji, bahkan yang kalah tidak akan mendapat apapun, dan pemenang jarang sekali memberi pengampunan. Akan tetapi sekarang, banyak usaha untuk membuka ulang sejarah masa lampau dengan sudut pandang berbeda. Adapun hal ini memicu terbukanya para pemikir-pemikir yang tenggelam dalam lautan sejarah karena berada pada kubu yang salah. Carl Schmitt adalah salah satunya. Sebagai seorang ahli hukum dari Nazi, ia sempat dihilangkan dari sejarah dunia, buku ini adalah sebuah otobiografi yang ia tulis semasa tahanan dan pengasingan. Selamat menikmati.

Seorang pemikir harusnya dipandang atas hipotesa atau teori yang ia bawa, mengenai preferensi politiknya itu adalah pilihan pribadinya. Fasisme memang kurang begitu menarik dikaji dan diikuti pasca perang dunia kedua, meskipun Schmitt sepakat dengan keberadaan fasisme, bukan sesuatu yang benar menghilangkan sosok gemilangnya dari sejarah. Membunuh seseorang sepenuhnya ialah menghilangkannya dari sejarah. Buku ini adalah usaha penerbit polity dalam memunculkan kembali sosok Schmitt yang bersama Heidegger telah diinjak oleh para pemenang perang dunia kedua.

Karya Schmitt ini berisi tujuh esainya mengenai dirinya yang sedang dalam pengasingan. Ia adalah salah seorang terdakwa di peradilan Nurenberg. Ditulis dalam kisaran waktu 1945-1947. Buku ini diawali dengan sebuah karangan yang ia tulis setelah mendapatkan surat dari Eduard Spranger yang menanyakan “Siapa Kamu?”. Pertanyaan sesederhana itu menjadi sebuah karangan yang bisa dibilang filosofis sampai pada titik esensial. Ia sampai mempertanyakan apa sebenarnya tujuan dari keberadaannya. Ia menganggap bahwa memang perkuliahan dan pidato yang ia berikan sangat bersemangat akan tetapi ia masih tidak memahami tujuan dari keberadaan dirinya dengan akhir yang cukup menyedihkan.

Dalam pengasingannya, ia mempertanyakan keberadaan pikiran dan jiwa, kenapa hasratnya untuk berpikir masih ada sedangkan keinginannya untuk hidup sudah menghilang. Ia masih merasakan post-power syndrome, saat ia ditanyai oleh seorang interogator mengenai siapa sebenarnya dia, dan dia merasa bahwa orang tersebut tidak memiliki kekuasaan atas dirinya, namun kembali lagi, ia pun sudah tidak punya kuasa atas apapun. Ia merasa keberadaan dirinya sudah mulai buram, tetapi nalurinya saat menghadapi orang lain tetap defensif. Dia pun tetap lemah dalam defensif, karena musuhnya sekarang sudah menjadi jaksa atas dirinya.

Schmitt merasa dirinya sedang terdesak dalam pengasingannya, ia terus menerus merasa bahwa sedang didakwa, sedang dituntut. Ia membandingkan bahwa memang lebih enak menjadi terdakwa daripada jaksa penuntut, karena menurutnya, kata Diabolus bermakna menuntut. Sebagai pengajar dibidang hukum, ia paham mengenai keberadaan para hakim dan kebenaran yang mereka pegang, namun kenapa ia yang begitu diagungkan dulu dibidang hukum sekarang duduk menjadi terdakwa. Ia merasa semua ilmu yang ia jelaskan dulu, saat Nazi masih berjaya, sudah tidak berguna untuk melindungi dirinya, karena perundangan yang dipakai bukan milik Nazi, melainkan milik dogma kemanusiaan. Ia merasa ironi telah menjelma dalam dirinya, dan ia tidak bisa apa-apa selain menerima takdir yang telah diberikan Tuhan, menerima sesuatu yang ia tolak dimasa kejayaannya.

Selain diskusinya dengan Eduard Spranger yang melahirkan refleksi akan eksistensi dirinya, Schmitt juga menuliskan beberapa hal lain dalam “buku harian” nya. Seperti respon nya terhadap pidato radio yang diberikan oleh Karl Mannheim, Historiografi mengenai Alexis de Tocqueville, dan renungannya dalam tahanan. Pastinya bahasa yang digunakan adalah bahasa populer karena buku ini adalah sebuah memoar, namun tetap memiliki beberapa bagian filsafat didalamnya. Terlepas ia adalah pendukung Hitler dengan Nazi nya, namun kecerdasan berpikirnya dan kelihaiannya dalam menulis tidak bisa dipungkiri. (rez)

Foto: Carl Schmitt (via New Statesman America)