Judul Buku: Dominasi Maskulin
Penulis: Pierre Bourdieu
Penerbit: Jalasutra
Tebal Buku: 180 halaman
Tahun Terbit: 2010
Dalam dunia ini hanya ada dua jenis kelamin, lelaki atau perempuan. Baik keduanya telah menjadi sebuah kajian tersendiri, terlepas untuk bagian yang lelaki tidak menjadi sebuah ideologi. Maskulinitas ada, Maskulinisme tidak ada. Disisi lain, kajian keperempuanan telah berkembang sedemikian rupa hingga menghasilkan Feminisme dan Pos-Feminisme. Pembahasan dua pemikiran tersebut sebenarnya bukan mengenai kelamin, tapi lebih kepada posisi perempuan dalam masyarakat yang kerapkali berada dibawah lelaki. Perempuan sebagai sub-ordinat dan lelaki sebagai super-ordinat. Ketidaksetaraan ini menyebabkan adanya kesenjangan sosial dan bahkan perempuan acapkali diremehkan, meskipun sejatinya kemampuan mereka tidak kalah hebat dibanding lelaki.
Adapun gagasan feminisme semakin lama semakin berkembang menjadi berbagai macam seperti, Anarko-Feminisme, Marxisme-Feminisme, Feminisme-Liberal, dll. Yang menarik adalah bagaimana saat seorang lelaki ternyata memahami keberadaan dominasi maskulinitas dan akhirnya menulis sebuah buku yang membuat dirinya seorang feminis? Keberadaan buku ini menandakan bahwa tidak hanya seorang perempuan yang dapat menjadi seorang feminis, melainkan lelaki pun bisa.
Sebuah gambaran besar diawal buku ini, Bourdieu berusaha menjelaskan bahwa lelaki dan wanita adalah sebuah objek yang berusaha kita pahami, namun terkadang sudut pandang yang kita gunakan ialah sudut pandang maskulin, kita menggunakan kacamata salah satu objek, dimana hal itu akan menghasilan objektivikasi dari subjek (lelaki memandang perempuan) dan memunculkan dominasi maskulin. Bourdieu menggunakan analisis etnografi dalam memahami keberadaan dominasi maskulin ini di masyarakat Qubail, Aljazair. Pandangan tradisi masyarakat di Qubail masih lah androsentris (pandangan bahwa lelaki adalah pusat dunia) meskipun mereka telah ditaklukkan berkali-kali, agamanya silih berganti karena penaklukkan tersebut akan tetapi pandangan ini tidak pernah hilang, kenapa? Karena tradisi androsentri ini berasal dari kebudayaan mediterania yang melahirkan tradisi di Aljazair, Spanyol, Italia dan wilayah mediterania lainnya. Dan meskipun Eropa seraya menolak keberadaan dominasi maskulin, mereka pun adalah anak dari kebudayaan mediterania. Maka dari itu, dominasi maskulin sejatinya adalah hal biasa di daerah mana pun, bahkan Eropa.
Adanya konstruksi sosial mengenai tubuh juga mempengaruhi sudut pandang manusia. Lelaki kerapkali digambarkan kuat dan berotot, segala hal yang sifatnya naik, seperti ereksi, dilambangkan sebagai lelaki dan menandakan status sosialnya yang berada diatas, dalam hubungan seksual, lelaki kerapkali digambarkan sebagai yang mendominasi, sedangkan perempuan hanyalah objek untuk memuaskan hasrat sang lelaki. Pandangan seperti ini masih ada hingga saat ini. Dalam suatu sistem, termasuk sistem budaya, harus ada pembagian objek dan subjek, maka dari itu maskulin dan feminim seringkali mencoba dominan, namun feminim seringkali gagal dan kembali lagi maskulin mencoba membuat feminim sebagai sebuah objek, bukan lah subjek. Alhasil posisi perempuan selalu dikebawahkan karena keberadaan seorang lelaki tanpa melihat kemampuan dan kepandaian yang dimiliki oleh seseorang jika tradisi dan budaya di suatu wilayah masih androsentris.
Dalam kehidupan sehari-hari, bahkan kehidupan rumah tangga, segala hal telah mendapatkan kategori seksualnya masing-masing. Tiap benda memiliki kecenderungan terhadap salah satu jenis kelamin yang berasal dari intensitas pemakainya dan juga kuat tidaknya benda ini tadi. Adanya kategorisasi ini semakin menunjang dominasi dari golongan maskulin dengan keberadaan banyaknya benda-benda berguna dan kuat yang dikategorikan maskulin. Feminim pun dalam bahasa arab ialah benda-benda jamak dan tidak berakal, dimana pemaknaan ini semakin merendahkan keberadaan dan posisi seorang perempuan. Masalah ini pun berimbas pada pembagian kerja yang dilihat secara seksual. Untuk tempat-tempat strategis rata-rata diisi oleh kelompok lelaki, seperti CEO, Owner, CFO, dan segala hal yang sifatnya penunjang seperti penasehat, sekertaris dan bendahara selalu diisi dari kalangan hawa.
Namun ada satu pekerjaan yang biasanya enggan diisi kelompok hawa terlepas pekerjaan ini seringkali dilakukan oleh para lelaki, kuli bangunan. Terkadang menarik membahas diskursus feminisme dari berbagai sudut pandang dan selalu ada perdebatan didalamnya, tidak hanya kelompok marxis yang reaksioner, para feminis pun tidak kalah reaksionernya. Ada yang berkata bahwa jika kita sering mendiskusikan mengenai perempuan baik secara ilmiah ataupun tidak, secara tidak langsung kita telah membuat perempuan menjadi objek dan inilah yang menjadi penghambat emansipasi.
Sejatinya buku ini adalah buku yang saat menarik untuk dibaca karena bahasanya yang cukup ilmiah, namun itu pun menjadi kelemahannya, karena pada titik tertentu akan susah memahaminya. Entah karena penerjemahannya atau memang penulisnya. Tapi beberapa skema yang ada didalam berusaha mempermudah kita dalam memahami teks yang ada. Sesungguhnya Allah tidak memberi cobaan diluar batas kemampuan hamba-Nya. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. (rez)