Judul Buku Kredit Rakyat di Masa Depresi
Penulis Soemitro Djojohadikusumo
Penerbit LP3ES
Tebal Buku xxxvi+313 halaman
Tahun Terbit 1989
ISBN 979-8015-51-7
Siapa yang tidak mengenal begawan ekonomi Indonesia? Prof. Soemitro Djojohadikusumo, salah satu Guru Besar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Banyak karyanya menjadi buku pegangan di berbagai jurusan yang terkait dengan ekonomi, terutama ekonomi pembangunan. Ia merupakan salah satu pakar ekonomi pertama di Indonesia yang kerap mengulas pembangunan dan memperkokoh pemahaman Bangsa Indonesia terkait pentingnya perencanaan dan analisis ekonomi.
Sekilas, Soemitro adalah anak dari Raden Mas Margono Djojohadikusumo, pejuang yang mendirikan Bank Negara Indonesia (BNI). Ia sempat berkiprah sebagai Menteri Keuangan pada tahun 1952-1953 dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Banyak muridnya akan menjadi teknokrat di zaman Orde Baru, kita mengenalnya dengan nama “Mafia Berkeley”. Adapun anaknya, Prabowo Subianto terjun ke ranah politik praktis dan Hasyim Djojohadikusumo menjadi salah satu pengusaha sukses di Indonesia.
Buku yang akan saya bahas dalam ulasan ini merupakan disertasi doktoralnya di Nederlandsche Economise Hogeschool di Rotterdam, Belanda, sekarang menjadi Erasmus University Rotterdam dengan judul Het Volkscredietwezen in de Depressie. Karya Soemitro ini diberi pengantar singkat oleh ekonom progresif yang pernah berkiprah di HMI: M. Dawam Rahardjo. Apa yang beliau bahas di sini adalah sebuah pandangan baru di masa itu, yang masih menarik untuk dibaca, simak resensinya sebagai berikut.
Di era modern ini, para pembaca akan mengenal Kartu Kredit, biasanya disingkat CC sebagai alat pembayaran yang cepat, namun tidak pernah kita memahami bagaimana kredit sejatinya berjalan. Ekonomi mungkin terlihat gampang, tapi tidak segampang yang terlihat. Sebelum masuk ke dalam kredit, Soemitro mengulas tentang uang. Secara sederhana, uang adalah alat tukar, memudahkan seseorang yang dulunya dengan sistem barter harus menemukan barang yang tepat untuk ditukar, dengan kemunculan uang, cukup menggunakannya.
Dengan adanya peralihan dari sistem barter ke penggunaan uang, orang telah menanam tanaman tertentu untuk memperoleh uang. Tanaman yang disebutkan Soemitro di halaman 5, bertujuan untuk melunasi hutang pajak, sehingga mendapat julukan “Taneman Padjeg” (tanaman pajak). Tidak hanya dengan menanam tanaman, banyak juga yang ingin mendapatkan uang dengan menjual jasanya sebagai buruh di kota atau perkebunan milik orang Barat. Contoh yang diberikan Soemitro memang disesuaikan dengan era pada saat disertasi ini ditulis, 1940-1942.
Jalan masuk menuju pembahasan perkreditan adalah melihat uang sebagai satuan hitung, dimana ada unsur waktu yang menyisip di antara kita memberi dan menerimanya kembali. Satuan hitung ini akan menjadi tumpuan apabila sistem barter sudah mencapai tahapan paling maksimalnya sehingga harus digantikan dengan uang guna mempermudah berhitung. Ada satu konsep yang penting dari kredit: Bunga.
Soemitro menjelaskan bunga melalui teori yang dicetuskan oleh von Bohm Bawerk. Bunga merupakan wujud dari kondisi psikis manusia yang menilai terlalu rendah kebutuhannya pada masa mendatang. Adapun penulis mengutarakan bahwa setiap orang yang berada dalam kesulitan, akan bersedia untuk memberikan pengorbanan yang banyak dan besar di masa mendatang, asal saja ia dapat mengatasi kesulitan yang sekarang (tertera di halaman 11).
Penulis juga mengutarakan bahwa penghasilan yang kecil mempunyai kecenderungan untuk menimbulkan ketidaksabaran yang tinggi. Efek kemiskinan juga membuat manusia tidak rasional, antara lain: menurunkan kemampuan untuk melihat ke depan, melemahkan disiplin diri, menyebabkan seseorang menjadi pasrah akan nasibnya asal ia dapat memenuhi kebutuhan yang mendesak dalam waktu cepat.
Seseorang dapat menjadi fatalis dalam menghadapi masa depan karena sifat penghasilan di masa depan selalu terpaut dengan resiko dan ketidakpastian yang berdampak pada ketidaksabaran dalam memperoleh penghasilan itu sendiri. Ketidaksabaran ini dibentuk oleh unsur-unsur sebagai berikut: pandangan ke depan, pengendalian diri, kebiasaan, harapan hidup, kepedulian terhadap hidup orang lain, dan gaya hidup.
Faktor lain yang turut membuat orang meng-kredit adalah keinginan untuk mendapatkan penghargaan sosial dengan ukuran-ukuran tradisional yang mendorong orang-orang desa untuk melakukan pengeluaran yang melampaui kemampuan mereka. Peminjaman juga terdorong atas kondisi sosial dan psikis lingkungan si peminjam yang sebenarnya merugikan mereka sendiri.
Di sisi lain, para pemberi pinjaman, seperti yang diutarakan Soemitro, sebenarnya tidak tertarik kepada pengembalian uang mereka dengan segera, akan tetapi bertujuan untuk mengikat si peminjam dengan perpanjangan pinjaman. Dampaknya adalah melanggengkan ketergantungan ekonomi dari si peminjam terhadap pemberi pinjaman. Kalau di masa modern ini kita mengenalnya dengan istilah rentenir atau lintah darat. Pandangan si peminjam sendiri yang menganggap bahwa melunasi bunga menjadi kewajiban, bukannya melunasi uang pokok pinjaman juga menjadi faktor pendorong ketergantungan ekonomi.
Perkreditan swasta yang tidak terorganisir ini justru memberikan dampak buruk bagi masyarakat Indonesia yang masih dalam masa transisi sistem ekonomi barter ke sistem ekonomi uang. Hal ini disebut buruk karena tingginya bunga yang diberikan tidak sebanding dengan penghasilan rendah yang dimiliki oleh masyarakat. Kredit seharusnya membantu masyarakat untuk menyelesaikan masalah di musim paceklik, maka dari itu diperlukan perkreditan yang terorganisir.
Selain masalah kredit di Indonesia pada masa itu, Soemitro turut mengulas tentang keadaan ekonomi dunia yang berdampak negatif terhadap negara jajahan seperti Indonesia. Pertama karena adanya krisis ekonomi di tahun 1929, diikuti dengan semakin menguatnya kebijakan proteksionisme sebagai sebuah kebijakan yang mengetatkan perdagangan antar negara. Indonesia yang bertumpu pada ekspor kala itu, merasa dirugikan karena banyak aturan yang turut membuat susah pelaksaan ekspor barang-barang Indonesia, terutama hasil pertanian dan perkebunan.
Soemitro turut memperlihatkan dalam tabel yang ada di bukunya berkaitan dengan penurunan jumlah ekspor dari tahun 1929 dengan jumlah 1.483 juta Gulden menjadi 539 juta Gulden di tahun 1936. Tidak hanya ekspor, namun impor pun menurun drastis. Keluarnya Pond Sterling (mata uang Inggris) dari ikatannya terhadap emas, turut merugikan Indonesia yang menggunakan Gulden Belanda yang masih mengikuti hitungan emas, akibatnya ada pertarungan antara Blok Pond Sterling dan Blok Emas, dimana negara yang masuk Blok Emas akhirnya harus melakukan devaluasi mata uangnya.
Kebijakan deflasi dengan segera dilancarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda melalui perusahaan-perusahaan asing di Indonesia dengan menggunakan ketidakberdayaan masyarakatnya, yakni memotong upah para pekerja, sehingga terjadi kelangkaan uang. Karena kelangkaan uang ini, terjadi proses pemiskinan yang cepat. Kelangkaan juga berdampak dengan menghilangnya barang-barang simpanan guna memenuhi kebutuhan sehari-hari dan pada akhirnya, masyarakat Indonesia terpaksa menggadaikan tanahnya.
Pokok bahasan lainnya dalam buku ini adalah Bank Rakyat yang berfungsi untuk menyediakan kredit bagi kebutuhan petani. Permasalahan besarnya adalah kredit yang seharusnya digunakan untuk produksi seperti membeli pupuk, bibit padi, alat pertanian malah juga digunakan untuk konsumsi pribadi seperti membeli perabotan rumah dan membeli pakaian. Maka dari itu Soemitro menyatakan bahwa tidak ada gunanya membedakan antara kredit produksi dan kredit konsumsi.
Bank-bank rakyat ini nantinya berdiri dibawah satu lembaga bernama Algemene Volkscredietbank (AVB). AVB akan memberikan dua jenis pinjaman: pinjaman musiman dan pinjaman angsuran. Guna menjelaskan mengenai perkembangan perkreditan melalui AVB, Soemitro juga memuatnya dalam bentuk tabel. AVB sendiri hanya menerima kredit dalam bentuk uang sehingga harus diperhitungkan betul pendapatan para peminjam.
AVB pun berdiri pada tahun 1934 yang sepenuhnya berbentuk layaknya perusahaan, dimana ada jajaran direksi yang dipimpin oleh Presiden-Direktur (Direktur Utama) dan dua orang Direktur, sedangkan mereka akan dibantu oleh Komisi Pengawas dan Pembantu Pusat (komisioner). Adapun Prof. Soemitro turut menjelaskan manfaat-manfaat dari pengorganisasian bank rakyat dalam bentuk AVB sebanyak 6 manfaat.
Selain berbicara mengenai teori dan bank rakyat, penulis membagi studi kasus menjadi dua: Jawa-Madura dan Luar Jawa. Studi kasus ini kebanyakan berkutat di Jawa sebagai pulau yang padat penduduk. Pembagian studi kasus pun ada yang menjelaskan kondisi baik perkreditan maupun bank rakyat di masa depresi. Ia juga menjelaskan tentang aspek ekonomis terkait perkembangan perkreditan maupun bank rakyat.
Penjelasan Prof. Soemitro dalam buku ini sangatlah mudah dipahami layaknya buku-bukunya yang lain dengan menggunakan bahasa Indonesia yang sangat baku. Meskipun terkesan sedikit kaku, namun ulasan beliau tentang kredit rakyat memang lugas dan jelas. Walaupun buku ini merupakan terjemahan dari disertasi berbahasa Belanda, tetapi penerjemahannya sangat tepat dan tidak membuat pembaca bingung. Bagi para mahasiswa Ekonomi Pembangunan, saya sangat menyarankan untuk membaca karya ini sebagai pembuka dalam memahami perkreditan di Indonesia karena memuat dimensi historis, akan menjadi tugas pembaca untuk menyelaraskan dengan kondisi yang ada di Indonesia sekarang. (rez)