Judul Buku: Fascism and Big Business
Penulis: Daniel Guerin
Penerbit: Pathfinder
Tebal Buku: 364 halaman
Tahun Terbit: 2001
Mungkin nama sang penulis, Daniel Guerin, belum begitu terkenal di Indonesia. Banyak kelompok meng-klaim beliau sebagai penganut alirannya, namun melalui buku-bukunya, ia sebenarnya merupakan seorang anarkis sejak dalam pikiran. Dia benar-benar benci dengan keberadaan ideologi yang bernama Fasisme. Ideologi tersebut lah yang dianggap selalu membawa malapetaka dimana-mana. Sepakat dengan pemaknaan Negri, bahwa Fasis itu berasal dari kata Faeces, yang bermakna kotor, maka panggilan fasisme merupakan ideologi yang benar-benar kotor. Maka dari itu, Jerman dibawah Hitler tidak menyebut ideologinya sebagai fasisme, tapi Nazism. Dalam buku inilah akan diulas mengenai fasisme dan bagaimana mereka bertahan.
Di pembukaan, Guerin menjelaskan bahwa tujuan bukunya adalah mendiagnosa keberadaan fasisme yang dia anggap sebagai sebuah penyakit. Penyakit yang sangat destruktif. Ia berusaha menemukan fenomena yang sama dari dua negara fasis di Eropa saat perang dunia kedua, Italia dan Jerman. Dia menyatakan bahwa alat untuk melakukan dominasi dari suatu kelas atas kelas lainnya merupakan negara. Menariknya, borjuis selalu mendukung adanya demokrasi, namun di Italia dan Jerman, mereka berubah dari demokrasi menjadi tirani (fasis). Ternyata, perubahan tersebut merupakan keinginan kelompok borjuis untuk menghantam keinginan kelompok kiri yang akan melaksanakan revolusi proletarian, mereka (borjuis) berusaha mencegah terjadinya hal tersebut dan menyokong sekuat tenaga agar kelompok ultra-nasionalis menang dalam pemilihan dan nantinya akan mengamankan bisnis para borjuis tadi. Karena janji politik untuk mengamankan kursi, maka para politisi harus mengamankan bisnis para kapitalis. Dibalik kampanye kelompok fasis, dana mengalir dari para konglomerat.
Dalam mengumpulkan kekuatan, sebuah ideologi harus memiliki basis massa. Lalu siapakah basis massa kelompok fasis? Tulang punggung dari kelompok fasis adalah masyarakat kelas menengah di perkotaan. Kelas menengah inilah yang semakin lama semakin berkembang, meskipun diramalkan akan hilang oleh Karl Marx, namun nyatanya tidak. Kelas menengah lama memang sudah hilang, namun kelas menengah baru mulai membesar. Mereka memiliki berbagai macam dagangan yang sifatnya independen namun pendapatannya kurang lebih seperti upah, bukan dalam bentuk saham. Kelas menengah baru ini malah tidak mau disejajarkan dengan kelompok proletar, mereka berharap dapat menjadi borjuis suatu hari. Maka dari itu, janji paling besar kepada borjuis adalah kelompok fasis, dari sana lah mereka, secara sadar, mau mendukung kemenangan fasisme di negaranya masing-masing.
Adapun fasisme menggunakan mistisisme dalam perkembangannya. Kegunaan mistisisme adalah memperkuat kepercayaan para pengikutnya terhadap sang pimpinan. Salah satu aspek terpenting dari fasisme adalah loyalitas dari anggota partainya, loyalitas ini dibangun entah dengan imajinasi ataupun kebersamaan. Kepercayaan kepada sang pemimpin menjadi dasar utama loyalitas ini, maka dari itu, fasisme acapkali mendefinisikan diri mereka tidak hanya sebagai sebuah ideologi, namun juga agama. Seorang akan melakukan segala hal selama hal tersebut diperintahkan oleh sang pimpinan. Meminjam pandangan Gustave Le Bon, massa dari kelompok fasis harus dipahami melalui sudut pandang psikologi massa, dimana massa ini hanya bisa ditaklukkan dengan gambaran seorang pemimpin yang sempurna dan hanya mampu memahami sesuatu yang sangat sederhana sehingga mudah jatuh pada sentimen perasaan. Teori sudah tidak akan tembus dihadapan massa, melainkan kemampuan retorika yang akan menyentuh hati mereka. Terutama dengan doktrin kepercayaan yang memperketat loyalitas para massa ini terhadap sang pemimpin, maka fasisme akan semakin kencang dalam melakukan indoktrinasinya.
Personifikasi negara dalam seorang pemimpin adalah ciri khas dari fasisme. Seperti yang kita pahami, Jerman di era Partai Nazi, acapkali dikumandangkan sebagai berikut: Hitler adalah Jerman dan Jerman adalah Hitler. Dibalik Hitler sendiri, ada Carl Schmitt dan Martin Heidegger yang menteorikan pandangan lebensraum (ruang hidup) kepada masyarakat umum di Jerman. Hampir seluruh agama tunduk kepada reich ketiga dan dibalik itu, pembentukan Hitler sebagai Fuhrer tidak dilakukan dalam satu malam. Perencanaan meng-agama-kan fasisme sudah muncul sejak berdirinya suatu partai. Jika golongan atas (borjuis) bergabung dengan para fasis karena simbiosis mutualisme guna keamanan ekonomi dan politik, maka kalangan bawah bergabung kepada kelompok fasis karena kepercayaan mereka terhadap sang pemimpin untuk membawa kejayaan terhadap negaranya. Dan jangan lupa, peran pemuda sangatlah penting dalam pergerakan fasisme, yang pasti dituju terlebih dahulu adalah kaum pemuda, baik di Italia maupun Jerman. Kenapa pemuda? Karena yang punya semangat memberontak paling besar adalah para pemuda.
Peran propaganda tidak kalah penting bagi para fasis. Propaganda adalah senjata utama mereka dalam menyebarkan mistisismenya, juga menarik perhatian dari massa. Bahkan di zaman Nazi, ada kementerian yang khusus membicarakan propaganda, yakni Kementerian Propaganda dan Pencerahan Publik dibawah pimpinan Joseph Goebbels, ahli propaganda Jerman. Bagi kelompok fasis, propaganda merupakan salah satu fungsi dari negara modern. Ada beberapa bagian yang harus dipenuhi dalam propaganda: penggunaan metode teknis yang modern, penggunaan simbol secara intensif, pengulangan sebagai penekanan, kekuatan dari tiap kata yang digunakan, sugesti dan pengumpulan masif dari massa (jangan sampai yang datang pidato hanya 1-2 orang). Dari sinilah loyalitas dan mistisisme dibangun, untuk itu banyak masyarakat Jerman yang rela untuk mati demi Hitler, demi Fatherland. Propaganda inilah semacam dakwah bagi para fasis, dan sang pemimpin sebagai gembala/nabi nya. Sedangkan dombanya tetaplah massa yang terkumpul.
Fasisme setelah menancapkan tombak kekuasaannya, pasti akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengamankan kemenangannya. Pada titik ini, mereka akan semakin memperluas dan memperbesar propagandanya, lalu (seperti yang dibenci kelompok kiri) menghilangkan atau memusnahkan segala macam bentuk oposisi beserta kritikannya. Sehingga pada akhirnya hanya ada satu partai tunggal dominan. Pada titik ini, kemampuan fasisme dalam menyelamatkan rezimnya memang lebih ampuh ketimbang ideologi lain, namun rasa takut akan menjadi kebencian, dan setelah kebencian bisa muncul pemberontakan, baik dari dalam ataupun luar (jika ekspansionis). Dari segala sendinya, buku ini menjelaskan dengan lengkap mengenai fasisme dan komponen-komponen yang dimiliki oleh para fasis, ditulis dalam bentuk kritis. Mungkin Guerin sudah mati saat menulis kisah ini di Jerman era Hitler atau Italia era Mussolini. (rez)