Judul buku: Xenofeminism
Penulis: Helen Hester
Penerbit: Polity
Tahun terbit: 2018
Tebal buku: 169
Istilah yang berawalan dengan ‘xeno-‘ memiliki arti asing atau dari asal-muasal yang berbeda. Misalnya saja, xenophobia, yakni ketakutan terhadap orang asing. Sedangkan yang hendak saya ulas di sini, xenofeminisme atau XF, merupakan istilah yang tak hanya asing bagi banyak orang saat ini tapi juga mengundang kontroversi bagi yang telah bersentuhan dengannya. Xenofeminisme memang baru-baru saja muncul, adapun Manifesto Xenofeminisme (XFM) baru muncul tahun 2015 yang dipublikasikan oleh Laboria Cuboniks. Untuk diketahui, nama Laboria Cuboniks sendiri merupakan anagram dari Nicolas Bourbaki, nama samaran kolektif bagi Matematikawan abad 20 yang kebanyakan berasal dari Perancis. Sedangkan Laboria Cuboniks merupakan nama samaran kolektif bagi enam feminis dibalik XFM. Jika pembaca pergi ke situs web Laboria Cuboniks, pembaca akan dihadapkan pada tampilan website yang—ala tumblr, jika boleh dibilang demikian—berlatar belakang gambar bergerak (GIF) dari potongan film James Whale, Bride of Frankenstein. GIF itu menunjukkan bagian permukaan dari apa yang ingin dibahas xenofeminisme.
Saya ingin meletakan definisi yang diungkapkan buku ini tentang xenofeminisme pada bagian awal sebelum mengulas lebih lanjut untuk langsung menunjukkan apa itu xenofeminisme. Xenofeminisme adalah bentuk feminisme yang teknomaterialis, anti-naturalis, dan meniadakan gender. Xenofeminisme sampai taraf tertentu dapat dilihat sebagai usaha untuk mempersatukan cyberfeminisme, poshumanisme, akselerasi, neorasionalisme, feminisme materialis, dan lain-lain yang bertujuan untuk memadukan berbagai proyek yang sesuai dengan kondisi politik kontemporer. Dengan serangkaian hal tersebut, xenofeminisme bukan merakit suatu gabungan politik tapi merakit sebuah politik yang tanpa ‘infeksi kemurnian.’ Bentuk feminisme ini hendak merespon kondisi zaman yang mulai dipenuhi automasi dan pesatnya perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Pembahasan mengenai reproduksi menjadi artikulasi terdepan dari xenofeminisme.
Sepanjang pembahasan dalam buku ini, Helen Hester akan sering merujuk pada manifesto kontroversial Shulamith Firestone, The Dialectics of Sex, untuk menjelaskan apa yang dimaksudnya dengan ‘teknomaterialis, anti-naturalis, dan meniadakan gender’(technomaterialist, anti-naturalist, and gender abolitionist). Hester mengungkapkan bahwa karya Firestone ini mengangkat pendekatan yang ambisius, membangun, dan luas untuk membayangkan masa depan yang lebih emansipatoris. Inilah yang secara mendalam telah membentuk bayangan xenofeminis.
Xenofeminisme merupakan sebuah usaha untuk mengartikulasikan politik gender secara radikal yang cocok dengan era globalitas, kompleksitas, dan teknologi. Pembahasan mengenai teknologi selalu menyisakan pesimisme karena dikhawatirkan akan mengurangi tenaga kerja manusia. Xenofeminisme justru punya minat kritis terhadap teknologi dan memposisikannya sebagai lingkup potensial bagi kegiatan aktivis. Memang, xenofeminisme mengakui bahwa teknologi tidak lekat dengan kebermanfaatan—bahkan tidak juga netral—tapi sesungguhnya dibatasi dan dibentuk oleh hubungan sosial. Dengan demikian, teknologi perlu dikonseptualisasikan sebagai fenomena sosial, sehingga dapat disediakan untuk transformasi sosial melalui perjuangan kolektif. Teknologi bisa mendorong terciptanya alat, pengetahuan, maupun proses untuk tujuan-tujuan politik gender. Xenofeminisme berusaha menyebarkan teknologi yang ada untuk merekayasa ulang dunia secara strategis. Inilah apa yang dimaksudnya sebagai teknomaterialis.
Jadi, mengapa feminisme yang berimbuhan ‘xeno-‘? Slogan xenofeminisme, politics for alienation, punya maksud bahwa xenofeminisme menganggap alienasi sebagai dorongan untuk menghasilkan dunia baru. Kita semua teralienasi, menurut XFM. Melalui kondisi yang teralienasi inilah kita bisa membebaskan diri kita. Bangunan kebebasan melibatkan alienasi, alienasi sebagai buruh dari bangunan kebebasan. Bebas dari apa? Bebas dari norma-normal biologi serta dari naturalisme esensialis yang berbau teologi. Teknologi punya potensi untuk membebaskan kita dari kondisi yang tidak menguntungkan secara alamiah, dengan mendorong kemandirian reproduksi dan memungkinkan kita untuk melakukan kontrol atas apa yang terjadi pada tubuh kita.
Dalam mendefinisikan anti-naturalis, Hester berpijak pada penjelasan Firestone dalam The Dialectics of Sex mengenai kehamilan. Mengutip Firestone, kehamilan merupakan perubahan bentuk sementara dari tubuh seseorang demi sebuah spesies. Kehamilan dan kelahiran merupakan proses yang menyakitkan, beresiko, dan penuh kesulitan bagi tubuh yang melangsungkan hal ini. Sehingga, dia (Firestone) memandang bahwa pengembangan teknologi reproduksi baru—termasuk, tapi tidak terbatas pada, inseminasi buatan—sebagai kesempatan yang belum pernah ada sebelumnya untuk mengakhiri penindasan bagi yang tidak dapat hamil. Tidak ada hal yang harus diterima sebagai tetap, permanen, atau ‘pemberian’ dalam arti material maupun sosial. Xenofeminisme hendak membentangkan dan melayari cakrawala baru—atau cakrawala yang sampai saat ini masih banyak dari kita ingin menghindarinya. Siapapun yang dianggap ‘tidak alamiah’ dalam kuasa norma-norma biologis, siapapun yang ditempa ketidakadilan atas nama tatanan alam, akan menyadari bahwa glorifikasi atas ‘alam’ tidak memiliki apapun untuk ditawarkan kepada kita. Trans, queer, difabel, orang-orang yang terdiskriminasi karena kehamilan atau tugas pengasuhan anak—xenofeminisme sangat anti-naturalis terkait hal ini. Tercermin jelas dalam slogannya yang lain: if nature is unjust, change nature! (jika alam tidak adil, ubahlah alam!)
Pada titik peniadaan gender (gender abolitionism), xenofeminisme melihat bahwa klaim rasionalitas yang dalam ‘sifat alamiahnya ‘ merupakan patriarki berarti mengakui kekalahan. Sejarah didominasi oleh tangan-tangan lelaki, ini faktanya. Tapi apa yang mau kita lakukan sekarang? Pikiran kita telah terbuka, tinggalkan pemikiran patriarki tersebut dan jadilah rasional. Ilmu pengetahuan itu bukanlah ekspresi dari gender, tapi penangguhan gender. Jika hari ini kita masih berbicara tentang dominasi ego maskulin, maka kita tidak akan pernah terangkat dari kondisi yang tidak setara. Xenofemenisme begita menolak penggunaan istilah patriarki sebagai alasan kita harus berjuang demi mendobrak ketidakadilan gender. Laboria Cuboniks tidak hanya ingin membongkar gender, tapi juga struktur lain yang menjadi dasar penindasan (ras, kelas, ketidakcacatan tubuh, dan lain-lain). Peniadaan gender ini, singkatnya, adalah ambisi untuk membangun masyarakat dimana sifat-sifat yang saat ini dirakit dibawah rubrik gender tidak lagi menyediakan kisi-kisi untuk operasi kekuasaan yang asimetris. Hal ini harus lebih dari menuntut pengakuan untuk kategori identitas yang lebih luas—dimana memungkinkan adanya pengkategorian diri (self-categorizing). Pengakuan adanya gender yang tak terkira banyaknya hanyalah langkah pertama dalam menolak gender apapun sebagai dasar dari penanda yang tetap.
Xenofeminisme diinvestasikan dalam membangun masa depan yang asing. Yang perlu dilakukan adalah menentang gambaran umum mengenai masa depan—yaitu yang umumnya memandang masa depan tidak jauh berbeda dari sekarang dalam hal nilai atau mungkin masa depan sudah tidak ada karena bencana iklim. Dalam buku ini, Helen Hester hendak menunjukkan bahwa gagasan yang dibawa oleh xenofeminisme membuat kita memikirkan ulang tujuan penggunaan teknologi demi tujuan reproduksi, dan tentu saja, esensi reproduksi itu sendiri. (ich)