Judul Buku: Discourse on Colonialism
Penulis: Aimé Césaire
Penerbit: Monthly Review Press
Tebal Buku: 102 halaman
Tahun Terbit: 2000
Banyak orang belum kenal Aimé Césaire, ia adalah seorang penyair, novelis sekaligus filsuf. Pemikirannya sangat berfokus kepada kolonialisme dan permasalahan rasisme. Maklum, pemikiran keturunan dari Nigeria yang besar di Perancis memang membawa gagasan mengenai pembebasan dan pergerakan. Bisa dibilang dia adalah keturunan afrika yang revolusioner selain Walter Rodney dan Nelson Mandela. Ia juga yang mempengaruhi pemikiran Frantz Fanon sekaligus sobat karibnya, namun karena pendekatan nya yang bergaya intelektual, terkadang dia kurang digemari dan kalah populer dikalangan pemuda kiri jaman sekarang. Tetap, pemikirannya relevan dan komprehensif saat membicarakan mengenai Kolonialisme.
Dibuka dengan sedikit puisi mengenai peradaban yang seringkali justru menimbulkan masalah, buku ini bisa dibilang berbeda dibanding buku kiri pada umumnya. Baginya, peradaban yang tidak mampu menyelesaikan masalahnya akan menciptakan peradaban yang dekaden, peradaban semacam ini dihadapi oleh Benua Eropa atau “Peradaban Barat” yang dibentuk selama dua abad oleh kaum borjuis terbukti tidak mampu dalam menyelesaikan dua masalah besar: masalah mengenai proletariat dan masalah mengenai kolonialisme. Permasalahan ini membesar karena jutaan budak di negeri jajahan Eropa meminta keadilan.
Peradaban hanyalah sebuah proyeksi akan kebohongan yang dibawa oleh kolonialisasi, para penjajah ini tidak ingin membangun peradaban, menata sebuah negara, menyebarkan perkataan Tuhan, mereka adalah bajak laut, pencari emas, saudagar kaya yang untuk alasan dalam negeri ingin memperluas kompetisis skala dunia atas ekonomi yang antagonistik (ekonomi jahat).
Dalam analisanya, cesare menemukan bahwa sebuah kebohongan jika cortez datang ke meksiko untuk menegakkan keadilan, ia datang untuk membunuh dan merampok. Mereka memberikan standar mereka sendiri dalam beragama, bahwa kristen adalah peradaban sedangkan paganisme Orang Aztec adalah sebuah kebiadaban. Stigma yang dibangun memastikan kekuatan para kolonialis semacam Cortez dengan konsekuensi ras, yang tertindas selalu pribumi, orang negro, orang berkulit kuning dan orang indian.
Menurut dia, adalah hal yang baik saat peradaban saling bertemu satu sama lain, bertukar pikiran dan sudut pandang, ialah hal yang baik saat kita bisa bertemu dalam perbedaan, namun apakah kolonialisasi adalah jalur kontak antar peradaban? Tidak. Antara kolonialisasi dan peradaban terdapat jarak yang cukup jauh, ekspedisi maupun patung apapun yang didirikan dari kolonialisme tidak membawa sebuah nilai kemanusiaan didalamnya.
Kita harus memahami bahwa kolonialisasi bekerja untuk membiadabkan para penjajah, menggambarkan para penjajah sebagai orang paling brutal, rasis dan suka akan kekerasan. Banyak pribumi dari negara jajahan yang disiksa dan dibunuh untuk dibungkam oleh para penjajah, semua demi keberlangsungan kekuasaan para penjajah dimana hal ini banyak dilakukan oleh orang Eropa yang membuat Benua Eropa sejatinya terlihat sangat biadab dalam memperlakukan bangsa lain.
Kolonialisme ini sebenarnya adalah proto-nasionalisme yang akan melahirkan ideologi radikal semacam fasisme, sifat-sifat chauvinisme lahir dari patriotisme yang berlebihan dan nantinya akan menganggap bangsa lain sebagai bangsa yang inferior, salah satu kasus terbesar adalah Nazi. Nazi tidak menginginkan kesetaraan bagi bangsanya pasca perang dunia kedua, mereka menginginkan bangsa lain tunduk kepada dirinya dan menindas mereka agar menjadi budak-budak nazisme. Ini adalah ungkapan dari seorang intelektual yang menurut Cesaire, dia bernama Renan (Ernest Renan). Bagi Renan, negara dari bangsa asing harus tunduk dan menjadi negara budak untuk menyuplai buruh tani dan buruh pabrik.
Kembali kepada kolonialisme yang melahirkan fasisme, bagi bangsa yang melakukan kolonialisasi, maka sebenarnya peradaban itu sudah sakit sejak awal, peradaban yang secara moral itu sudah rusak. Kolonialisasi adalah usaha untuk membuat kebiadaban terlihat beradab. Kolonialisme selalu menindas, itu sudah menjadi sifat mereka yang menurun kepada fasisme, chauvinisme dan ultra-nasionalisme.
Buku ini ditulis dengan bahasa inggris yang bisa dibilang renyah dan mudah dipahami, penulis mengajak dialog para pembacanya dengan cara mempertanyakan banyak hal mengenai kolonialisme (meskipun pada akhirnya dia jawab sendiri). Inilah karya poskolonialisme paling komprehensif yang diterbitkan oleh Monthly Review Press.(rez)