Judul buku: Four Futures: Visions of the World After Capitalism
Penulis: Peter Frase
Penerbit: Verso
Tebal buku: 150 hlm
Tahun terbit: 2016
Apa jadinya jika pekerjaan sehari-hari kita, bahkan pekerjaan di pabrik dikerjakan oleh robot? Bagaimana jika pekerjaan seorang hakim dalam menganalisis perkara hukum dapat lebih mudah melalui otomasi dan komputerisasi? Bukan tidak mungkin lagi jika beberapa tahun ke depan semakin banyak produk-produk yang akan mempermudah pekerjaan di kantor, sekolah, institusi pemerintah, pabrik, bahkan di rumah. Semuanya berkat otak encer ilmuwan sains di berbagai belahan dunia. Para ilmuwan sosial, termasuk ekonom, akan mulai merumuskan teori-teori sosial-ekonomi baru untuk menganalisis kondisi ini. Menelaah bagaimana kiranya memaksimalkan keuntungan dan mengurangi resiko kerugian. Sedangkan para pebisnis tentu akan menyambut kemajuan ini dengan sorak gembira. Biaya pegawai bisa dipotong, proses produksi bisa lebih efektif dan efisien, lalu keuntungan perusahaan akan naik. Dengan adanya otomasi pula, mungkin orang tak perlu menghampiri toko dan pasar dapat lebih cepat merespon permintaan. Tapi benarkah otomasi dan komputerisasi adalah yang selalu kita inginkan dan kita butuhkan?
Di sisi lain, kita tidak bisa menafikkan kenyataan bahwa dibalik pembuatan mesin-mesin canggih, ada bahan baku yang tak selalu mudah didapat. Banyak di antaranya didapat dari hasil tambang, diolah melalui serangkaian proses produksi secara sedemikian rupa agar bisa digunakan untuk merancang teknologi teranyar. Pembukaan tambang pun bisa mengancam lingkungan. Tanah tambang yang telah lama digali cenderung tak bisa lagi ditanami, apalagi ditinggali. Tak banyak tentunya orang yang mau tinggal di dekat lingkungan tambang, biasanya hanya para pekerja atau penduduk asli yang tak punya uang untuk pergi ke lain tempat. Bukan hanya itu saja persoalan lingkungan yang berdampak pada menurunnya kualitas hidup. Konsentrasi global karbondioksida di atmosfer abad ini diklaim sebagai yang terparah sejak tiga juta tahun yang lalu. Sehingga diprediksi bahwa pada tahun-tahun mendatang bukit es Antartika akan semakin berkurang (meleleh), air laut semakin asam, serta meluasnya kekeringan dan meningkatnya badai.
Demikianlah dunia yang kita tinggali saat ini. Penuh dengan bencana lingkungan dan meningkatnya otomasi. Sudah terdengar cukup mengkhawatirkan?
Peter Frase berargumen bahwa dua hal tersebut, yang kini menghantui dunia kita, merupakan dua krisis yang saling berkontradiksi. Di satu sisi, ketakutan atau kekhawatiran terhadap perubahan iklim, sumber dari bencana lingkungan, ialah ketakutan tentang ‘terlalu sedikit.’ Lantaran mengantisipasi tentang kelangkaan sumber daya alam, hilangnya lahan pertanian dan lingkungan tinggal, serta yang paling mengkhawatirkan tentunya akhir dari bumi yang mampu mendukung kehidupan. Sedangkan ketakutan terhadap otomasi, anehnya, adalah ketakutan tentang ‘terlalu banyak’. Ekonomi yang sepenuhnya menggunakan robot dan memproduksi terlalu banyak barang, dengan sedikitnya kebutuhan akan pekerja manusia sehingga barangkali tidak butuh pekerja lagi.
Selama setidaknya lima tahun terakhir, kita menyaksikan berbagai pembaharuan dan kemajuan dibidang teknologi. Banyak robot dengan segudang keahlian diperkenalkan, didukung oleh kecerdasan buatan. Adanya robot dan teknologi yang semakin canggih membuat waktu bersantai kita lebih banyak, tapi juga mengakibatkan pengangguran besar-besaran dan memperkaya 1% orang terkaya. Frase mengutip Brynjolfsson dan McAfee yang menyebut era ini sebagai ‘The Second Machine Age.’ Apabila The First Machine Age merujuk pada Revolusi Industri—yang mengganti tenaga manusia dengan kekuatan mesin—maka era ini, postindustri, menggantikan kemampuan kita untuk memahami dan membentuk lingkungan kita. Tapi sesungguhnya, persoalan tentang kekhawatiran pengurangan tenaga kerja manusia akibat teknologi ialah kekhawatiran yang tak pernah berubah sepanjang sejarah kapitalisme. Namun memang, pada era ini, kita menghadapi peningkatan kemajuan teknologi secara cepat dan menghadapi kemungkinan ‘nyata’ yang secara drastis mengurangi kebutuhan akan pekerja manusia. Singkatnya, ini memang trend dari kapitalisme.
Perhatian Frase bukan pada dampak yang dalam jangka pendek telah jelas tak terelakkan: pengangguran. Tetapi ia mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kemungkinan jika di kemudian hari robot digunakan untuk kepentingan politik kelompok tertentu saja dan gembar-gembor isu pengangguran hanya akan mengalihkan kita dari dampak jangka panjang.
Selanjutnya, ada lagi krisis yang setidaknya sama pentingnya bagi masa depan kapitalisme dan umat manusia, yakni krisis ekologi. Pertanyaan pokok yang senantiasa meliputi persoalan perubahan iklim bukan ‘apakah perubahan iklim sedang terjadi’ tapi ‘siapa yang akan bertahan dari perubahan tersebut.’ Bahkan dalam suatu skenario terburuk pun, ilmuwan bukan memperdebatkan bagaimana jika Bumi tidak bisa dihuni lagi. Apa yang akan terjadi—dan yang sedang terjadi—adalah perebutan tempat dan sumber daya yang semakin meningkat ketika habitat kita semakin mengalami kemunduran.
Frase berargumen bahwa banyak buku mengenai masa depan dunia kerja, selalu menekankan bahwa kerja yang dilakukan oleh manusia (buruh manusia) akan usang di masa depan. Yang ada tinggallah otomasi sepenuhnya. Dan yang selalu ditekankan adalah bagaimana kita beradaptasi terhadap otomasi tersebut, mempersiapkan pendidikan yang menuntun pada adaptasi terhadap otomasi, bukannya bagaimana teknologi yang diciptakan menyesuaikan dengan kebutuhan kita terhadap pemerataan kesejahteraan. Teknologi akan menciptakan jurang ketidaksamarataan yang lebih lebar, itu pasti, karena tidak semua orang bisa membeli teknologi paling baru yang harganya acapkali tak murah. Menurutnya, yang hilang dari pembahasan Brynjolfsson dan McAfee serta kebanyakan penulis tentang masa depan postwork adalah politik, lebih spesifik lagi ialah perjuangan kelas.
Peter Frase melabeli cara yang digunakannya dalam usaha menjelajahi kemungkinan konflik politik di masa depan dengan menggunakan pedoman ilmu sosial dan fiksi spekulatif sebagai: social science fiction. Istilah fiksi spekulatif sebagai pedoman analisis dan krisis sosial nampaknya memang agak asing, tapi ini sebenarnya bisa kita temukan ketika membaca buku H.G. Wells – The Time Machine atau Mary Shelley – Frankenstein. Atau jika ingin menemukannya dalam karya yang lebih baru, bisa membaca The Hunger Games dan Divergent serta masih banyak lagi. Singkatnya, karya-karya inilah yang melampaui batasan-batasan zamannya untuk memandang jauh ke depan atas konsekuensi tindakan kita hari ini.
Jika otomasi adalah hal yang konstan (tidak berubah), sedangkan krisis ekologi dan kekuatan kelas adalah variabel. Pertanyaan ekologi adalah, kira-kira, seberapa buruk efek dari perubahan iklim dan kekurangan sumber daya akan mengakhiri kehidupan makhluk hidup. Frase mengajukan empat model di dunia yang menghadapi kelangkaan atau keberlimpahan, disandingkan dengan hirarki atau persamaan: komunisme (communism), sosialisme (socialism), rentisme (rentisme), dan pemusnahan (exterminism). Kira-kira begini kombinasi yang digambarkan Frase: sumber daya berlimpah – ada persamaan: komunisme, sumber daya berlimpah – ada hirarki: rentisme, sumber daya langka – ada persamaan: sosialisme, dan sumber daya langka – ada hirarki: pemusnahan.
Kini, keempat masa depan yang diajukan Frase bukan sedang menunggu untuk muncul dan meruntuhkan kapitalisme, tapi telah berlangsung melalui aktivisme-aktivisme yang dilakukan berbagai komunitas untuk tujuan lingkungan, sosial, politik, ekonomi, maupun budaya. Seperti biasa, salah satu seri dari Jacobin ini menyuguhkan pandangan-pandangan baru dengan isu-isu populer yang menarik bagi new left. (ich)