Judul Buku: The Long Revolution of the Global South
Penulis: Samir Amin
Penerbit: Monthly Review Press
Tebal Buku: 480 Halaman
Tahun Terbit: 2019
ISBN: 9781583677759
Sebuah buku telah diterbitkan pada tahun 2019 dengan nama Samir Amin sebagai penulisnya, padahal beliau wafat pada tahun 2018. Inilah hebatnya karya hasil pemikiran seseorang, bahkan setelah di liang lahat pun masih menghasilkan naskah (jangan dimaknai secara harfiah). Samir Amin, seorang penulis berhaluan Marxis dengan sudut pandang teori sistem dunia dan teori ketergantungan menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 12 Agustus 2018, akan tetapi keberhasilan seorang penulis dan pemikir adalah produk tulisan dapat berupa artikel, esai, sampai dengan buku, dan Samir Amin merupakan salah satu yang paling produktif dan paling berhasil.
Saya cukup terkejut mendapati buku ini setebal 480 halaman. Cukup tebal untuk hitungan karya tulis yang diterbitkan secara posthumous (setelah wafat). Tak mengejutkan juga ketika melihat daftar isi bahwa buku ini dibagi secara tematik regional yang membahas keadaan beberapa wilayah seperti: jazirah Arab, Afrika, Asia, Amerika Selatan, Eropa Timur, Uni Soviet/Rusia, China, Vietnam dan Kuba. Negara-negara yang disebutkan pun kebanyakan menggunakan Sosialisme sebagai haluan politik / ideologinya. Memang penulis memiliki ketertarikan tersendiri untuk melihat negara-negara sosialis seperti apa yang ia sampaikan dalam bukunya A World We Wish to See atau dalam terjemahan Bahasa Indonesianya, “Dunia yang Hendak Kita Wujudkan”, dimana pada halaman 6 - 10 menjelaskan tentang pembangunan cita-cita Sosialisme melalui Internasionale pertama hingga keempat (meskipun pandangan beliau cukup negatif terkait Internasionale Keempat yang disebutnya sebagai “sama sekali tidak menghasilkan inovasi”).
Akan tetapi, sudut pandang Samir cukup positif dalam melihat Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika (KTT Asia-Afrika) yang dilaksanakan di Bandung pada tahun 1955, lokasi pelaksanaan KTT membuat Amin kerap kali menyebutnya sebagai Konferensi Bandung yang dianggap berhasil karena menciptakan “satu lompatan besar bagi rakyat di Negara-Negara Selatan” dalam berbagai bidang (Amin: 2010, 10). Kata “Negara Selatan” merupakan ciri khas Amir, yang menurut saya, kerap digunakan Amir untuk menyebut negara-negara yang dianggap berkembang dan terbelakang dibanding negara-negara Utara atau Barat yang lebih superior dalam segala hal. Pemisahan antara Selatan dan Barat ini merupakan ciri khas Samir Amin, dimana koleganya (Andre Gunder Frank & Immanuel Wallerstein) juga melakukan hal yang sama dengan pemisahan menggunakan istilah: metropolis dan satelit (A. Gunder Frank) dan pusat serta periferi (Immanuel Wallerstein).
Samir Amin, dalam bukunya The Implosion of Contemporary Capitalism di halaman 43, menyampaikan istilah emergence berkaitan dengan the south (negara-negara Selatan) karena negara Selatan sedang mendapati dirinya sedang naik daun pertumbuhan industrinya secara berkelanjutan (sustainable) dan sedang memperkuat kapasitas industrinya untuk persaingan global. Salah satu contoh yang dianggap Samir Amin sebagai Emerging Countries adalah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang menempuh jalur kapitalisme agar terintegrasi lebih cepat dalam Pasar Global, bahkan Amin menyebut kapitalisme RRT sebagai Kapitalisme Negara. Guna menjelaskan kapitalisme negara dari RRT, Amin (2013, 72) mengutarakan tujuan-tujuannya: untuk membentuk sistem industrial modern berdaulat dan terintegrasi, mengelola industri produksi kecil di perkotaan, dan mengontrol integrasi RRT ke dalam sistem dunia yang didominasi oleh kekuatan The Triad (Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang). Kemajuan, menurut saya, merupakan hasil dari pergolakan yang dibentuk sejak Mao Zedong hingga Deng Xiaoping berkuasa yang selalu bergerak memasukkan RRT ke dalam sistem dunia.
Apabila di RRT terbentuk kapitalisme negara karena adanya Maoisme (komunisme ala China), negara-negara Arab juga menghadapi gejolak revolusi bernama Tentara Arab Springs. Jika pergolakan di RRT untuk membentuk negara sosialis modern dimulai semenjak 1911 dengan berkembangnya ideologi nasionalisme yang digawangi oleh Dr. Sun Yat Sen, daerah Jazirah Arab memulai pergolakannya semenjak 1960-an dengan kemunculan-kemunculan Negara-Bangsa yang “tidak begitu demokratis” seperti Aljazair di bawah Boumediene, Mesir di bawah Gamal Abdul Nasser, dan rezim Baath di Irak dan Suriah. Mereka mendapatkan dukungan masyarakat karena program edukasi, kesehatan dan pelayanan publik lain yang masif, industrialisasi, garansi untuk mendapatkan pekerjaan dan mobilitas sosial (Amin: 2016, 6). Kegamangan akibat buruknya demokrasi di Jazirah Arab ini akan memunculkan Arab Spring yang dimulai pada tahun 2011. Kedua kejadian di atas terjadi di negara-negara Selatan untuk membentuk suatu Negara-Bangsa baru terlepas memiliki hasil-hasil yang berbeda.
Masuk kepada buku terbitan tahun 2019. Buku ini dimulai dengan Bab mengenai Jazirah Arab. Pada halaman 51, Samir Amin berusaha memprediksi masa depan Jazirah Arab menjadi tiga: modernisme borjuis, politik Islam reaksioner dan Arab revolusioner yang universalis. Pergerakan modern di Jazirah Arab disampaikan dalam buku ini sama dengan di buku The Reawakening of the Arab World, yang ditandai dengan munculnya Mesir di bawah Nasser, Baath di Irak dan Suriah, dan Aljazair di bawah Boumediene.
Akar pergolakan di Jazirah Arab ini dimulai dengan sebutan yang sama seperti Renaisans, yakni Nahdah, artinya kebangkitan. Nahdah sendiri mulai muncul pada abad kesembilan belas. Nahda dalam konteks Arab merupakan reaksi atas keterkejutan. Istilah ini tidak menghasilkan suatu kemodernan dan sekularisme yang menjadi prakondisi untuk demokrasi yang menjadikan politik sebagai sebuah domain untuk inovasi yang bebas (Amin: 2019, 54). Maka dari itu, meskipun digunakan untuk pembaharuan, namun Nahdah berbeda dengan Renaisans yang membawa semangat sekularisme dan demokrasi, sedangkan Nahdah merupakan gerakan pembaharuan untuk interpretasi ulang terhadap agama guna menghindarkan Arab dari dampak yang tidak jelas atau kabur (obscurantist). Gerakan politik Islam nantinya juga dibentuk untuk mematuhi kepentingan kelas komprador dan kapitalis (Amin; 2019, 58). Hal ini dapat ditunjukkan dengan bagaimana Saudi Arabia menjadi negara yang stabil di Jazirah Arab yang tidak terlepas dari kerjasamanya dengan Amerika Serikat, terutama permasalahan minyak.
Daerah yang juga menjadi kajian Samir Amin dalam buku ini adalah Afrika. Mayoritas dari negara-negara Afrika adalah hasil dari kolonialisme dan kemunculan negara-bangsa yang tidak terlepas dari Konferensi Bandung dan Gerakan Non-Blok. Afrika dianggap rentan oleh Amin karena kebanyakan merupakan bekas daerah jajahan dan belum masyarakatnya masih belum “matang”. Kelompok komprador memanfaatkan kekosongan pemerintahan yang digunakan untuk keuntungan kaum komprador, hal ini merupakan akibat dari dekolonisasi yang terlalu cepat (Amin: 2019, 106). Kenyataan ini ditangkap oleh Samir Amin karena keadaan yang tidak stabil di negara-negara Afrika dan menjamurnya pemberontakan dengan berbagai macam ideologi. Dengan menghubungkan pernyataan Amin bahwa kelompok Islam politik patuh terhadap kepentingan kelompok kapitalis, maka di Afrika pun ada pemberontakan dengan Islam sebagai dasarnya seperti Al-Shabaab di Somalia dan Boko Haram di Nigeria. Selain itu ada Lord’s Resistance Army yang menggunakan Nasrani sebagai pedomannya dan diduga berlokasi di Sudan Selatan juga merupakan pemberontakan yang cukup terkenal.
Banyaknya pemberontak di Afrika menandakan ketidakmampuan pemerintahan negara-negara Afrika dalam menyelesaikan konflik pasca dekolonisasi. Beberapa negara dari benua Afrika yang dicontohkan penulis dalam buku ini adalah Ghana, Congo, Burkina Faso, Benin, Tanzania, Madagaskar, dan Ethiopia. Adapun Samir juga berdiskusi dengan pemikir ternama dari Afrika, Amilcar Cabral mengenai bunuh diri kelas dari borjuis kecil. Kata bunuh diri kelas berasal dari pemikiran Amilcar yang merupakan hasil observasinya terkait bagaimana para borjuis kecil berhubungan dengan para petani yang tercipta dari situasi yang terbentuk oleh peperangan, bagi Amilcar, perjuangan untuk sosialisme adalah proses jangka panjang (Amin: 2019, 139).
Samir Amin sebagai salah satu pemikir dengan haluan sistem dunia (melihat akumulasi kapital dalam skala dunia) sekelompok dengan Immanuel Wallerstein, Andre Gunder Frank dan Giovanni Arrighi. Maka dari itu fokus beliau adalah melihat fenomena-fenomena yang berkembang di negara-negara Selatan. Indonesia sebagai salah satu “negara berkembang” di Asia Tenggara juga tidak luput dari pembahasan Samir Amin. Ia mengutarakan bahwa semenjak 1966, Indonesia telah menjadi off limit bagi orang seperti beliau, ia juga menyampaikan bahwa ia mengenal pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mendengar fungsionaris pemerintah Sukarno ketika membahas tentang Gerakan Non-Blok. Menariknya, Samir Amin pada buku ini halaman 251 menyampaikan bahwa Sukarno sama dengan Gamal Abdul Nasser di Mesir, dimana secara mendasar keduanya anti-komunis dan kekuatannya didasarkan kepada kekuatan borjuis kecil, akan tetapi, perbedaannya terletak pada kekuatan PKI yang lebih besar ketimbang partai komunis Mesir, sehingga Sukarno harus menerimanya sebagai kawan. Begitu kuatnya PKI sehingga diberantas oleh pemerintahan Suharto.
Ia juga menyampaikan bahwa ia berusaha dan berhasil menghubungi orang yang menolak untuk mendukung Rezim Suharto, yakni Adi Sasono yang disebut sebagai pejuang demokrasi dan keadilan sosial, juga pengkritik dari strategi pembangunan kapitalis yang didukung oleh Amerika Serikat dan Bank Dunia. Akan tetapi terlihat seperti ada kekecewaan dalam pandangan Amin ketika mengutarakan bahwa pada akhirnya Adi Sasono mendekat kepada B. J. Habibie. Amin sempat berlibur ke Bali pada 1973 dan belajar sedikit mengenai sejarah Indonesia dimana ia menyimpulkan bahwa stabilitas Indonesia bukanlah tujuan dari negara kapitalis seperti Amerika Serikat agar negara tersebut tetap dibawah hegemoninya. Tulisannya terkait Indonesia dihubungkan dengan Timor Leste juga. Selain Indonesia, negara Asia lainnya yang turut dibahas adalah Thailand, Malaysia, Korea, dan masih banyak jajaran negara “Selatan” lainnya.
Masih banyak negara-negara lain yang turut diulas oleh Samir Amin, namun Indonesia memang punya bagian tersendiri bagi beliau karena menjadi promotor dan tuan rumah dari Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika di Bandung, dimana negara-negara Barat atau Utara menganggap bahwa para underdog tidak mungkin bisa menghimpun kekuatan, menjadi terbantahkan. Samir Amin mendedikasikan hidupnya hingga meninggal pada 12 Agustus 2018 untuk mengulas bagaimana kekuatan imperialis komprador seperti Amerika Serikat, Eropa dan Jepang (The Triad) untuk men-subjugasi negara-negara Selatan agar mereka tetap bergantung pada negara-negara Utara. (rez)