Politik, Pandemi, dan Panik: Zizek Angkat Bicara

Judul Buku: Pandemik! Covid-19 Mengguncang Dunia

Penulis: Slavoj Žiźek

Penerjemah: Khoiril Maqin

Penerbit: Penerbit Independen

Tebal Buku: 158 halaman

Tahun Terbit: 2020

Tahun 2020 ini ditandai dengan satu nama yang cukup dominan: virus corona juga disebut nCov-19 atau Covid-19. Sebuah virus yang pertama kali “viral” di Wuhan dan hanya dalam beberapa bulan menyebar ke seluruh dunia, virus ini “mengglobal”. Dalam sekejap Iran, Italia, Jerman, Indonesia pun tidak kebal terhadap virus ini, pemerintah dari tiap negara mengeluarkan kebijakannya masing-masing untuk menanggulangi penyebaran virus ini dan mengobati mereka yang terinfeksi. Seluruh dunia kebingungan untuk mencari vaksinnya.

Bahkan Trump, sebelum Johnson & Johnson mengembangkan vaksinnya sendiri, ingin membeli vaksin yang sedang dikembangkan oleh perusahaan farmasi Jerman yang bernama CureVac khusus untuk Amerika Serikat, namun Menteri Kesehatan Jerman menolaknya. Bahkan negara adidaya semacam AS pun putus asa karena alpanya vaksin untuk virus ini.

Banyak intelektual, tidak hanya di kalangan dokter dan ahli farmasi, intelektual dan filsuf pun berkomentar, termasuk salah satu yang paling terkenal dan pedas dari Eropa, Slavoj Žiźek. Bahkan belum selesai virus ini ditanggulangi di seluruh dunia, pada awal 2020 Žiźek sudah menerbitkan bukunya yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yang berjudul Pandemik! Covid-19 Mengguncang Dunia. Apa yang menarik dari buku ini? Tidakkah terlalu cepat untuk mengomentari wabah ini? Apakah ada hal tertentu yang ingin disampaikan Žiźek?

Pertama-tama yang harus kita ketahui ialah buku ini merupakan perenungan Žiźek selama virus ini merebak. Ia bahkan menyampaikan dalam bukunya bahwa anak-anaknya tidak mengunjunginya karena takut jika menginfeksinya dengan virus. Banyak hal yang akan diperkuat oleh virus ini dan mayoritas adalah hal-hal negatif seperti rasisme, namun juga ada kemungkinan dari sebuah “dunia yang baru” yang berdasarkan komunisme bukan seperti komunisme Tiongkok yang otoriter, tapi komunisme murni.

Penyebaran yang sedang berjalan dari epidemik virus corona telah memunculkan sejumlah besar epidemik virus ideologis yang tertidur dalam masyarakat kita: berita-berita palsu, teori konspirasi yang paranoid, ledakan rasisme.

Tersebar spekulasi bahwa virus corona bisa membawa kejatuhan kekuasaan Komunis di Tiongkok, dengan cara yang sama, seperti Gorbachev sendiri mengakui, bencana Chernobyl adalah peristiwa yang memicu kejatuhan komunisme Uni Soviet. Tapi ada sebuah paradoks di sini: virus corona juga akan memaksa kita untuk menemukan kembali Komunisme didasarkan kepercayaan pada masyarakat dan pada pengetahuan. Dan kita tidak hanya menghadapi ancaman-ancaman viral — bencana lain juga sedang menjulang di cakrawala atau bahkan sudah terjadi: kekeringan, gelombang panas, badai mematikan, dan sangat panjang catatannya, jawabannya bukan panik tapi kerja keras yang mendesak untuk memapankan sejenis koordinasi global yang efisien.

Bukankah ini cara kita menghadapi epidemik virus corona yang meledak pada akhir 2019? Pertama, ada penolakan (tidak ada hal serius yang terjadi, hanya individu yang tidak bertanggung jawab yang menyebar kepanikan); lalu, amarah (biasanya dalam sebuah bentuk rasis dan anti-pemerintah: ini salah orang Cina, pemerintah tidak efisien…); selanjutnya masuk tawar-menawar (OK, ada beberapa korban, tapi tidak seserius SARS, dan kita bisa membatasi kerusakannya…); jika hal ini tidak bekerja, depresi datang (mari kita tidak bergurau dengan diri kita sendiri, kita semua mampus) … tapi bagaimana tingkat terakhir penerimaan akan terjadi? Ialah fakta yang aneh bahwa epidemik ini memperlihatkan sebuah fitur yang sama dengan ronde terakhir dari protes-protes sosial seperti yang terjadi di Prancis dan Hong Kong. Mereka tidak sekedar meledak lalu menghilang, mereka bertahan, membawa ketakutan dan kerapuhan permanen dalam hidup kita.

Kita terjebak dalam tiga krisis, menurut Žiźek: kesehatan (epidemik itu sendiri), ekonomi (yang akan menghantam dengan keras apapun yang menjadi hasil epidemik) dan psikologis. Ketika pihak berwenang mengetahui sebuah perusahaan menumpuk jutaan masker, menunggu momen yang tepat untuk menjualnya, tidak perlu ada negosiasi dengan perusahaan tersebut, masker-masker itu seharusnya diambil alih.

Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa Trump telah menawarkan 1 juta dolar kepada perusahaan biofarmasi yang berkantor di Tübingen bernama CureVac guna mengamankan sebuah vaksin virus corona “hanya untuk Amerika Serikat”. Kementerian Kesehatan Jerman, Jehn Spahn mengatakan bahwa pengambilalihan CureVac oleh pemerintahan Trump bukan pilihan: CureVac hanya akan mengembangkan vaksin “untuk seluruh dunia, tidak untuk negara tertentu”. Di sini kita mendapatkan contoh pertarungan antara privatisasi/kebiadaban dan kolektifisme/peradaban. Sistem lembaga kesehatan juga harus bergantung kepada pertolongan dari komunitas lokal untuk mengurus orang tua dan orang lemah. Dan, pada sisi yang berlawanan dari timbangan sejenis kerjasama internasional yang efektif harus diorganisir untuk memproduksi dan membagi sumber daya.

Zizek rasa bermasalah untuk menggunakan istilah “perang” untuk perjuangan kita melawan virus: virus bukanlah musuh dengan rencana dan strategi untuk menghancurkan kita, ia hanyalah mekanisme bodoh yang mereplikasi dirinya sendiri.

Buku Žiźek ini muncul pada saat yang tepat ditengah-tengah wabah yang mem-paranoid-kan banyak negara ini, bahkan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman dan Inggris, namun juga membuat negara berkembang seperti Indonesia semakin menyedihkan, dan pada era semacam inilah pemerintah Indonesia akan diuji dengan cobaan yang sangat besar, pastinya kritikan akan lebih besar ketimbang apresiasi, apalagi justru organisasi masyarakatlah yang pertama kali melakukan pertolongan secara langsung kepada masyarakat, sedangkan pemerintah, pada awalnya, disibukkan dengan penolakan mereka terhadap keberadaan virus ini di negeri khatulistiwa ini.*