Judul Buku: Chronicles
Penulis: Thomas Piketty
Penerbit: Viking/Penguin Books
Tebal Buku: 181 halaman
Tahun Terbit: 2016
Thomas Piketty, nama ini belum begitu kondang di Indonesia, maklum salah seorang profesor yang masih muda (46 tahun). Dia adalah salah seorang profesor dibidang ekonomi di Paris School of Economics. Namanya tidak begitu dikenal hingga ia menuliskan masterpiece-nya yang berjudul Capital in the Twenty-First Century, buku tersebut langsung melejit dan menjadi laris di seluruh belahan dunia. Sejak itulah ia dikenal sebagai salah satu akademisi berhalauan marxis. Sebuah generasi baru dari marxis abad dua satu seperti beliau, Naomi Klein, Danny Dorling dan kawan-kawan sejawatnya. Berikut ini adalah sedikit ulasan mengenai karyanya yang lain, selamat menikmati.
Buku ini merupakan kumpulan esainya yang mengisi kolom-kolom koran ataupun media mainstream lainnya. Adapun beberapa tulisan dalam buku ini pernah dibukukan sebelumnya, seperti Why Save The Bankers? Artikelnya berisi mengenai krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat. Krisis moneter tersebut membuat Bank Sentral Amerika hendak dengan cepat me-nasionalisasi sementara dari sistem finansial yang ada. Piketty berargumen bahwa usaha tersebut memang hebat, namun hanya akan membebankan para pembayar pajak. Kenapa? Karena usaha nasionalisasi membutuhkan dana, dan sebagai bagian dari pemerintah AS, Bank Sentral Amerika mendapat gelontoran dana tersebesar melalui pembayar pajak.
Beberapa minggu setelah permasalahan di AS, Piketty juga menjelaskan problematika yang muncul di Uni Eropa (UE). Mereka berusaha mendirikan bank kontinen Eropa setelah melihat AS menasionalisasi bank-bank yang ada. UE tidak melihat dampak terhadap para pembayar pajak. Adanya perbedaan antara pendapatan domestik bruto (PDB) dengan kekayaan nasional di negara-negara seperti Perancis membuat kesenjangan semakin meluas dan pada titik ini, strategi kapitalistik macam apapun tidak dapat menyelesaikannya. Apalagi Bank Dunia yang selalu bermotto mengentaskan kemiskinan nyatanya makin membuat negara maju maupun berkembang semakin banyak angka kemiskinannya.
Amerikanisasi yang terjadi di berbagai belahan dunia, memperlihatkan bahwa pemerintah mau melakukan apa saja, bahkan berhutang sekalipun untuk menyelamatkan bank. Padahal, dalam perbankan, nasabah yang memiliki segalanya. Yang dilindungi seharusnya adalah nasabahnya, bukan banknya. Perbankan tidak memiliki apa-apa, semua uang dan pemasukan dari Bank berasal dari nasabah. Nasabah ini pastinya adalah para pembayar pajak pula, maka dari itu, regulasi yang dikeluarkan pemerintah seharusnya mengamankan para nasabah, bukan bank dan bankirnya. Seharusnya ada garansi dari para pemilik saham maupun manajer bank bahwa mereka akan mengganti uang nasabahnya jika ada kesalahan dalam sistem perbankannya.
Dalam masa krisis, menurut Piketty ada beberapa perdebatan yang akan masuk dalam benak kita. Terutama mengenai upah dan profit, mana yang didahulukan? Mengambil studi kasus di Prancis, ia mengatakan bahwa kesenjangan di negara menara Eiffel tersebut semakin meluas dalam satu dekade terakhir ini (antara 1998-2005) dimana banyak orang kaya terlindungi dengan kebijakan yang mengamankan posisi mereka dari pajak. Pabrik-pabrik di Prancis mendapat untung bersih hampir setengah dari uang yang dikeluarkan untuk membayar upah pekerja. Keuntungan semacam ini membuat kesenjangan di Prancis semakin membesar, karena keuntungan sebesar itu dibagi oleh hanya beberapa pemegang saham, sedangkan dana untuk upah yang notabene “lebih” besar dibanding keuntungan bersih perusahaan, dibagi oleh pekerja yang begitu banyak.
Pasar dan Pajak merupakan inti pemikiran dari Piketty sejauh ini, banyak dari tulisannya yang kerapkali menaganalisa kebijakan dalam maupun luar negeri mengenai perpajakan dan hubungannya dengan pasar. Ia pun mengeluarkan pandangan bahwasanya negara terkadang harus berhadapan dengan pasar dalam menentukan sebuah kebijakan yang layak pakai. Di Eropa pun sekarang mulai membuat kebijakan yang bahkan melawan pasar dan melimitasi geraknya melaui regulasi-regulasi dari Uni Eropa dengan cara memberikan tagihan-tagihan pendapatan nasional kepada parlemen Eropa untuk diaudit ulang.
Semua ini berhungan dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dapat terlaksana dengan dua syarat: pertumbuhan jumlah penduduk atau pertumbuhan produktivitas pekerja yang nantinya akan berdampak pada naiknya pendapatan per kapita. Dua hal diatas ialah untuk mencapai efisiensi yang didambakan oleh para ekonom. Ahli-ahli ekonomi dewasa ini mempercayai pasar bebas dan juga perdagangan bebas karena itulah yang diajarkan kepada mereka, bahwa pelaksanaan ekonomi yang paling efisien ialah melalui pasar bebas.
Para ekonom jaman sekarang sedang berlomba-lomba mencari cara agar dapat menciptakan laba sebanyak mungkin dan menguntungkan mereka yang mempekerjakan para ahli ekonomi tersebut. Bertumpu kepada pasar bebas yang kompetitif adalah cara untuk memaksimalkan keunggulan komparatif baik perusahaan maupun negara. Akibatnya selama hampir tiga dekade terjadi liberalisasi perdagangan dimana-mana. Redistribusi pajak pun yang menjadi tujuan utama negara menjadi terbengkalai dan dinomerduakan. Pajak menjadi senjata utama negara untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dilimpahkan kepada kelas menengah-kebawah, sedangkan orang kaya mendapat keuntungan dari pemotongan pajak, padahal mereka sudah diuntungkan dengan globalisasi dan liberalisasi perdagangan. Setiap kebijakan pemerintah pastinya seperti domino, saat satu jatuh, lainnya juga ikut jatuh. Sekilas pandangan Piketty sangat lah luas namun terfokus sekali dalam mengulasnya.
Untuk beberapa artikel, Piketty membahas ekonomi dengan sangat melebar, ia kerapkali melakukan perbandingan antar negara dengan tiap kebijakan ekonomi yang diambil. Lalu memberikan gambaran umum mengenai kebijakan tersebut dan dampaknya kepada penduduk negara terkait. Penggunaan bahasa Monsieur Piketty pun sangat mudah, yang membuat sulit ialah mencari benang merah dari tulisan-tulisannya yang terlihat random ini. Tulisan beliau berdampak pada resensi kali ini yang terlihat random, dalam mencari benang merahnya, penulis kembalkan kepada para pembaca yang budiman. (rez)