Judul Buku: Is There Hope For Uncle Sam ?
Penulis: Jan Nederveen Pieterse
Penerbit: Zed Books
Tebal Buku: 216 halaman
Tahun Terbit: 2008
Akhir-akhir ini sedang booming kisah mengenai kemampuan Presiden Jokowi dalam melakukan taktik smoke and mirrors yang ditulis oleh wartawan senior John McBeth di Asia Times. Kekagetan khalayak umum di Indonesia adalah penggunaan kata yang belum pernah mereka dengar dan menganggapnya sebagai tuduhan serius kepada Pak Presiden. Jikalau publik lebih bisa berpikir dengan kepala dingin, maka tulisannya bukan tuduhan, akan tetapi kritikan. Harusnya kita dapat membedakan antara tuduhan dan kritikan.
Di Amerika Serikat, kritikan merupakan hal yang biasa saja. Masyarakat sudah menjadi sangat terbuka, sehingga para wartawan maupun intelektual yang melakukan kritik terhadap pemerintah AS semacam Naomi Klein ataupun Noam Chomsky ditolerir, toh dari kritikan mereka, pemerintah AS akan paham kebijakan mana yang seharusnya mereka perbaiki. Dari jajaran para pengkritik ini, ada seorang dosen dari Universitas California di Santa Barbara yang cukup keras jika melakukan kritikan, dia adalah Profesor Jan Nederveen Pieterse.
Dalam bukunya ini, Pieterse mengkritik AS bukan dengan teori smoke and mirrors akan tetapi menggunakan kata American Bubbles dimana pemerintah AS memilih untuk menarasikan kepribadian mereka melalui media massa, para politisi, para guru, film, musik, dan novel sebagai sebuah komunitas yang terbayangkan. Kata bubbles (gelembung) disini mengilustrasikan bagaimana pemerintah AS seringkali membesar-besarkan apa yang mereka mampu lakukan. Gelembung tersebut berisikan banyak gelembung lain yang merepresentasikan keseberagaman penduduk Amerika dan berbagai macam kisah yang ada didalamnya.
Beberapa komponen gelembung yang paling ditonjolkan oleh Amerika Serikat adalah kekuatan militer mereka selaku negara adikuasa, hubungan mereka dengan Israel, pengaruh kuat dari perusahaan swasta dan masih banyak cerita lainnya. Yang paling menjadi perhatian dari Pieterse adalah absennya kekuatan sosial di masyarakat Amerika sekarang. Memang ada kelompok-kelompok sosial dan wajah-wajah yang merepresentasikan mereka, namun dalam media, mereka hanya dilukiskan, tidak diwawancarai secara langsung semisal ada permasalahan yang menyangkut hajat hidup masyarakat yang berkenaan dengan kelompok sosial terkait. Media berperan penting dalam membantu absen nya kekuatan sosial ini, karena tidak bersinggungan secara langsung.
Penjelasan berikutnya mengenai teori gelembung ini adalah kebiasaan negara-negara ekspansionis atau hegemonik mengenai kemampuan militer mereka. Amerika sendiri adalah merupakan negara hegemonik terbesar di dunia dengan kemampuan untuk mengatasi konflik yang besar. Menurut Pieterse, mereka mempromosikan kekuatan militernya lebih dari bidang lain seperti pendidikan dan kejaksaan. Hal ini ditopang pula oleh industri mainan yang memproduksi GI Joe dan juga game semacam America’s Army, belum lagi saluran TV yang bernama The Pentagon Channel tiap detiknya menyiarkan cerita mengenai tentara Amerika.
Kekuatan militer ini didukung sangat besar oleh industri perfilman di Amerika yang juga menggunakan helikopter, pesawat perang, dan tentara yang sedang tidak bertugas dengan harga yang rendah. Semuanya disetujui oleh Pentagon karena dianggap akan memberi aura positif terhadap dinas ketentaraan di AS dan menunjang rekrutmen tentara. Bahkan CIA dan FBI pun mendukung perfilman ketentaraan Amerika yang dapat membenarkan anggaran mereka yang selalu dianggap sebagai sebuah pemborosan bagi publik yang skeptis. Beberapa contoh film yang berhubungan dengan ketentaraan: Black Hawk Down(2001), Rambo vol. 1-4 (1982, 1985, 1988, 2008), 12 Strong (2018), Captain America (2011) dan masih banyak lagi contohnya yang mengangkat kisah kepahlawanan para tentara Amerika.
Salah satu kasus fabrikasi (pembuatan) kisah ketentaraan yang terlampau heroik ialah cerika serdadu Jessica Lynch yang menurut Washington Post melakukan perlawanan dengan menembakkan seluruh amunisinya hingga habis. Dan juga kisah mengenai Pat Tillman yang katanya mati karena hujan tembakan dari musuh di Afghanistan, ternyata mati ditembak oleh salah satu tentaranya sendiri. Pastinya sangat memalukan saat fabrikasi yang dilakukan oleh pemerintah AS gagal memberikan glorifikasi terhadap para tentaranya. Namun masyarakat masih memiliki kepercayaan yang cukup tinggi, sampai pada angka 79%.
Kisah-kisah dan pemberitaan yang sering kita tonton atau kita baca mengenai kemampuan tentara dan juga intelijen AS dalam berperang yang kerapkali di fabrikasi ini merupakan contoh nyata dari keberadaan American Bubble. Jika kita mempercayai dengan cepat kisah dan berita tersebut, maka kita akan membenarkan seluruh kebijakan perang AS, maka kita akan melihat invasi sebagai sebuah usaha pembebasan dan demokratisasi, Intelijen yang tidak memproduksi kepandaian sama sekali, perang yang bersifat preventif yang sebenarnya tidak preventif sama sekali, sebuah koalisi dengan Irak yang sebenarnya bukan bentuk dari sebuah koalisi (dapat ditemukan dalam film 12 Strong antara Jendral Abdul Rashid Dostum dengan salah satu tim dari kesatuan baret hijau). Pesan yang disampaikan oleh Pieterse disini ialah jangan mudah mempercayai informasi dari Amerika Serikat.(rez)