Judul Buku: Di Bawah Tiga Bendera
Penulis: Benedict Anderson
Penerjemah: Ronny Agustinus
Penerbit: Marjin Kiri
Tebal Buku: ix+378 halaman
Tahun Terbit: Desember 2015 (Cetakan Kedua)
ISBN: 9789791260480
Sekilas Karya Benedict Anderson
Siapa tak kenal Benedict Richard O’Gorman Anderson (atau bisa dipanggil Ben Anderson)? Ia adalah seorang Indonesianis (seorang pengkaji Indonesia) asal Inggris yang menempuh pendidikan di Cornell University dan menjadi pengajar di sana. Ia adalah salah satu Indonesianis didikan George McTurnan Kahin yang menjadi pembimbing disertasi doktornya. Hingga sekarang, nama Benedict Anderson selalu disebutkan dengan penuh kekaguman oleh mereka yang membaca buku-bukunya.
Beberapa buku Ben Anderson yang terkenal adalah Kudeta 1 Oktober 1965 (ditulis bersama Ruth Thomas McVey dan membuat “geger” karena analisisnya yang berbeda dengan analisis arus utama mengenai G30S, diterjemahkan dan diterbitkan oleh LKPSM, lalu sekarang oleh Penerbit Gading), Komunitas Terbayangkan (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Pustaka Pelajar bersama Insist Press), Kuasa-Kata (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Penerbit Matabangsa), Revolusi Pemoeda (awalnya diterjemahkan dan diterbitkan oleh Sinar Harapan, dan sekarang diterbitkan oleh Marjin Kiri juga), Hantu Komparasi (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Penerbit Qalam) yang semuanya membahas mengenai kalau tidak nasionalisme yang kajan mengenai Jawa.
Namun, buku yang sedang saya resensi ini memiliki nuansa berbeda, buku ini berbau “anarkisme” seperti yang dapat kita kenali dalam bagian subjudulnya, Anarkisme Global dan Imajinasi Anti-Kolonial. Menariknya, buku ini juga tidak mengulas, baik Indonesia maupun Jawa, melainkan Eropa, Amerika Serikat dan Filipina yang berfokus pada bapak bangsa Filipina dan tokoh gerakan anarkisme di Eropa dan Amerika Serikat.
Pendahuluan
Ben sendiri dalam pendahuluan di halaman kedua buku ini menyebutkan bahwa ia berusaha melakukan “eksperimen astronomi politik dari gaya gravitasi anarkisme di antara gerakan nasionalis militan,” yang berarti melakukan perbandingan dan pertautan antara anarkisme dan nasionalisme di berbagai negara, meskipun mengulas anarkisme namun tetap ada koridor nasionalismenya sebagai fokus kajian Ben.
Pada halaman selanjutnya, diutarakan pula bahwa Hari Buruh (1 Mei) diperingati untuk para anarkis imigran (bukan Marxis) yang mendapat hukuman mati di Amerika Serikat pada tahun 1887. Tanggal ini sekarang seperti menjadi monopoli dari kelompok Marxis dengan warna merah meronanya dan dikait-kaitkan dengan perlambang marxisme, komunisme atau sosialisme radikal.
Hubungan yang erat atas kelompok-kelompok yang memperjuangkan pembebasan nasional di Kuba dan Filipina dengan para anarkis di Prancis, Spanyol, Italia, Belgia, dlsb. menjadi salah satu fokus dalam buku ini juga, fokus ini yang memperlihatkan bahwa perjuangan melampaui batas nasional, bahkan ideologis, bahwa solidaritas tidak bisa dihalangi oleh batasan-batasan yang fana.
Orang Filipina: Isabelo de Los Reyes dan Jose Rizal
Pembahasan awal yang dilakukan Ben adalah seputar kerja ilmiah yang dilakukan oleh Isabelo de los Reyes, seorang “Filipina” yang mengabdikan hidupnya untuk memperkenalkan folklor (dimaknai olehnya sebagai “Kearifan Rakyat”) kepada dunia, khususnya Spanyol. Dalam karyanya, Reyes nampaknya melakukan kritik melalui folklor-folklor yang ia kumpulkan dan tuliskan dalam bahasa Spanyol, di mana beberapa di kalimat dan kata di antara folklor tersebut tidak ia ketahui padanan katanya.
Di sana ia berusaha memperlihatkan bahwa tidak ada bahasa yang lebih superior, buktinya bahasa Spanyol tidak seluruhnya dapat mengartikan istilah-istilah yang digunakan oleh orang Ilokano (suku di Filipina di mana Reyes berasal). Ia memberikan kritik antikolonial melalui folklor Ilokano yang ia kumpulkan yang ditujukan kepada para pembaca berbahasa Spanyol yang merupakan penjajahnya kala itu. Kajian yang dilakukan Reyes ini merupakan kajian sastra poskolonial yang menjadi pelopor kajian serupa dan termasuk mutakhir pada zamannya.
Setelah mengulas mengenai si ahli folklor Ilokano, Isabelo de los Reyes, Ben bertolak kepada novelis terkemuka yang sekaligus bapak bangsa Filipina, Jose Rizal yang mana kedua karyanya, Noli me Tanggere dan El Filibusterismo merupakan fiksi asli di mana adegan di dalamnya belum pernah dikenal di Filipina. Pemikiran/karya Rizal ini yang menjadi inspirasi Ben dalam memberi salah satu judul bukunya Hantu Komparasi yang genealoginya bisa ditarik ke pemikiran Rizal.
Jose Rizal memiliki sejumlah teman di Eropa yang bisa membuatnya menetap lama di benua itu selama 10 tahun. Pengembaraannya inilah yang menghasilkan dua novel terkemukanya, di mana novel pertamanya bertajuk antikolonial, yang kedua bergaya “mendunia.” Namun semuanya didasari pada satu hal yang sama: perlawanan. Bagian kedua buku Ben ini didedikasikan untuk mengulas apa saja yang dilakukan Jose Rizal di Eropa, hingga ada analisis di mana kemungkinan besar bukunya dalam beberapa bagian memuat Homeopati, sebuah istilah yang berkaitan dengan kesehatan.
Adapun beberapa kalimat dalam bagian ini juga membahas tentang berkembangnya pemikiran mengenai homoseksualitas di Eropa melalui karya-karya beberapa sastrawan benua tersebut. Bagian ini kebanyakan menuliskan mengenai bagaimana Rizal bertautan dengan pemikiran dan karya para sastrawan Eropa yang turut membentuk gaya menulisnya. Meskipun ia membaca Max Havelaar setelah menerbitkan novelnya Noli me Tanggere, nampaknya buku tersebut dinikmati olehnya karena memiliki nuansa antikolonial, meskipun ditulis oleh seorang Belanda.
Perkembangan Anarkisme
Ben dalam buku ini memperlihatkan anarkisme sebagai fenomena lintas negara, di mana munculnya perkembangan teknologi pada abad kesembilan belas turut berkontribusi pada semakin kuatnya gerakan transnasional. Banyak yang melihat bahwa keluarnya Mikhail Bakunin dari Sidang Internasionale di Den Haag pada 1872 menandakan pelepasan anarkisme dari pemikiran komunisme, namun hingga sekarang pemikiran itu masih ada dan terus berkembang.
Bahkan di Indonesia pun mulai mewaspadai anarkisme yang semakin dipermasalahkan layaknya terorisme. Hal ini tidak lepas dari stigma buruk yang dibentuk di Indonesia melalui permainan bahasa, di mana tanpa memahami secara mendalam, anarkisme dan tindakan anarkis dan para anarko dianggap sebagai perusuh dan perusak tatanan.
Layaknya apa yang dijelaskan Jim MacLaughlin dalam bukunya, Kropotkin and The Anarchist Intellectual Tradition, anarkisme memang dimaknai sebagai “ketidakadaannya negara.” Dampak dari pemaknaan tersebut adalah setiap pemikiran dan tindakan yang melawan negara, selalu dikaitkan dengan anarkisme, entah dengan kekerasan maupun tidak.
Mungkin keterkaitan anarkisme dengan kekerasan bisa kita dapati dalam tabel yang disuguhkan Ben dalam buku ini yang memuat sejumlah “pembunuhan politik” yang dilakukan oleh para pengikut anarkisme/nihilisme dari tahun 1894-1914 yang termasuk di dalamnya adalah Presiden Amerika Serikat, McKinley. Pembunuhan-pembunuhan ini yang dijiplak oleh kelompok nasionalis selanjutnya dengan sasaran yang berbeda.
Jika kelompok nasionalis membunuh penguasa negeri mereka sendiri, kaum anarkis digerakkan oleh cita-cita mereka yang melintasi batas-batas negara. Tindakan pembunuhan ini dikarenakan doktrin anarkisme yang berkembang saat itu propaganda by the deeds (propaganda lewat tindakan). Karena tindakan ini, kaum anarkis di berbagai negara sekarang menanggung kasus-kasus yang dilakukan oleh sesepuh mereka dulu. Anarkisme memiliki makna yang peyoratif (buruk) tidak terkecuali di Indonesia. Menurut saya, bagian buku ini yang berjudul “Dalam Bayang-bayang Dunia Bismarck dan Nobel” ini yang memiliki kadar pembahasan anarkisme yang cukup mendalam, meskipun Ben memang tidak jatuh pada perdebatan filosofis dan pengartian terhadap anarkisme, melainkan berfokus pada tindakan dan tulisan mereka.
Anarkis lainnya yang disebut dalam buku ini adalah Errico Malatesta dari Italia, Francois Ravachol yang mendapatkan hukuman mati, ia dijelaskan sebagai sejenis orang suci bagi para pengikut anarkisme, terlepas dirinya pernah menjadi seorang penjahat, namun ia mengaku bahwa tindakannya didasarkan pada prinsip anarkisme dan melawan ketidakadilan. Begitu disucikannya orang yang satu ini hingga ada nyanyian untuk menghormatinya, nampaknya idolatry juga ada di kalangan anarkis. Apa yang dilakukan Ravachol ini melahirkan sebuah efek domino di berbagai belahan dunia lainnya yang turut disebutkan dalam buku ini.
Dalam El Filibusterismo, Ben menunjukkan pada bagian mana Jose Rizal mempertautkan nasionalisme antikolonial dengan “propaganda lewat aksi” ala kelompok anarkis melalui rencana pengeboman yang akan dilakukan oleh tokoh utamanya dalam novel itu. Mungkin novel ini nantinya akan dilarang di Indonesia oleh pemerintahnya karena memuat unsur pengeboman. Meskipun tidak secara terbuka atau jelas ditunjukkan bahwa Rizal terpengaruh pemikiran anarkisme, nampaknya secara tersirat Ben berusaha mengatakan bahwa IYA, memang ada bagian anarkisme dalam pemikiran Rizal, bahwa kehidupannya yang lama di Eropa membawanya untuk berhubungan dengan banyak orang yang memiliki koneksi pula dengan kalangan anarkis. Bahwa globalisasi dan semakin meningkatnya teknologi informasi di dunia turut membantu menyebarkan pemikiran anarkisme, meskipun bertautan erat dengan pembebasan nasional atau nasionalisme antikolonial.
Nampaknya memang semenjak abad kesembilan belas, anarkisme menjadi ideologi yang menarik, terlepas marxisme dianggap yang berhasil menjadi dominan di kalangan kiri. (rez)