Perpolitikan Bajingan—Campuran Antara Populisme, Nasionalisme dan Kharisma

Judul Buku The Politics of Fear

Penulis Ruth Wodak

Penerbit SAGE Publication

Tebal Buku xvi+238 halaman

Tahun Terbit 2015

ISBN 978-1-4462-4699-3

Meskipun SAGE terkenal dengan buku-buku akademis yang terkadang membosankan dibenak pembacanya, untuk The Politics of Fear ini, sudah menarik semenjak melihat sampulnya. Apalagi analisis yang tidak hanya menyuguhkan tulisan namun gambar membuat pembaca akan semakin larut dan asyik dalam membaca atau mengulasnya. Saya sangat merekomendasikan buku ini untuk masuk dalam perkuliahan ilmu politik universitas manapun di Indonesia, guna melihat gaya kampanye dan relasi elit-massa.

Dosen maupun mahasiswa Ilmu Politik di dunia pasti tidak asing dengan istilah populisme, tapi masih jarang yang mengetahui makna populisme sesungguhnya. Istilah ini sangat sering disandingkan dengan Oligarki atau hegemoni ala pemikir Marxis dan Gramscian. Namun terma ini mulai terkenal semenjak dikenalkan oleh pemikir Pos-Marxisme, Ernesto Laclau.

Populisme memang diperkenalkan dan kerap digunakan sebagai pisau analisis oleh kelompok Kiri. Berbagai pemikir kerap melihat gerakan politik yang terbentuk di negara-negara modern berhubungan dengan populisme. Laclau mengulas populisme melalui bukunya yang berjudul On Populist Reason yang diterbitkan oleh Verso. Adapun yang melihat gerakan umat Islam dan hubungannya dengan Populisme seperti dalam buku Islamic Populism in Indonesia and The Middle East yang ditulis oleh Vedi R. Hadiz.

Jika melihat di beberapa website seperti CounterPunch, Jacobin atau Monthly Review, populisme ternyata ditemukan dalam gerakan kiri maupun kanan, tidak jarang juga yang tulisannya menghujat populisme kanan seperti yang terjadi di Inggris (melalui Brexit-nya), Jerman dengan kebangkitan Neo-Nazi, dan Amerika Serikat dengan terpilihnya Donald J. Trump sebagai Presiden ke 45 yang berasal dari Partai Republik.

Lalu apa yang membedakan buku Ruth Wodak ini dengan ulasan populisme lainnya? Simak review saya di bawah ini.

Ruth Wodak sebagai Profesor Emeritus di Universitas Lancaster, Inggris, berfokus pada kajian wacana. Ia terkenal pernah menulis mengenai analisis wacana bersama punggawa studi ini, Norman Fairclough. Wodak memiliki fokus analisis wacana kritis (critical discourse analysis) dan hubungan antara penggunaan bahasa (kata dan kalimat) dalam politik praktis, yang akan diulas dalam buku ini, dengan menggunakan wacana populisme.

Penulis memulai bukunya dengan memperlihatkan naik daunnya kelompok kanan melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi di Uni Eropa, seperti Prancis (Marine Le Pen), Belanda (Geert Wilders), Jerman (Neo-Nazi), dan Inggris (Theresa May). Partai-partai kanan ini memiliki karakteristik yang sama: xenofobia, dan anti terhadap imigran.

Karakteristik yang berada di partai-partai kanan ini juga bermacam-macam: pandangan yang sama dengan kelompok fasis seperti yang terjadi di Italia dan Jerman, ketakutan dan ancaman yang dirasakan dari keberadaan umat Islam seperti yang diangkat di Belanda, permasalahan akan identitas nasional yang terjadi di Inggris Raya dan kedekatan dengan kelompok Kristen fundamentalis di Amerika Serikat yang membentuk perilaku reaksioner. Akan tetapi, dari semua isu ini memiliki satu kesamaan: semuanya adalah imajinasi politik mereka.

Dalam melempar isu, Wodak berargumen bahwa ada dua cara sebuah partai memainkan isu mereka: politics of fear (politik ketakutan) yang menggunakan kelompok minoritas sebagai kambing hitam atas banyaknya masalah dalam negeri, dan arrogance of ignorance (arogansi kebodohan), di mana partai kanan selalu mengkampanyekan sesuatu yang menarik akal sehat namun dengan gaya yang anti-intelektualitas dengan gaya berpikir pra-modernis.

Partai sayap kanan menawarkan jalan singkat untuk menjawab ketakutan-ketakutan yang telah ada di negaranya dengan membentuk kambing hitam dan musuh terhadap permasalahan dalam negeri. Membentuk kambing hitam atau musuh ini melalui penggunaan stereotip buruk yang ada dalam masyarakat dan membentuk wajah musuh dalam bayangan khalayak umum. Maka dari itu Wodak penggunaan keliyanan (others) sebagai salah satu caranya.

Buku ini juga bertujuan untuk membangun bagaimana partai-partai ini, secara berkelanjutan, membangun ketakutan yang diarahkan kepada pandangan umum terhadap kelompok-kelompok minoritas yang diantagoniskan melalui retorika (permainan kata) dan komunikasi partai kanan kepada khalayak umum.

Pertanyaan umum yang akan muncul di pemikiran para pembaca adalah: Apa sebenarnya populisme sayap kanan itu? Wodak mengejawantahkan populisme sayap kanan sebagai ideologi politik yang menolak konsensus politik yang sudah ada dan biasanya menggabungkan liberalisme dan anti-elitisme. Sayap kanan ini juga dikategorikan populisme karena menggerakkan orang-orang biasa yang menolak pandangan para elit.

Populisme memecah sebuah negeri menjadi dua kelompok: masyarakat umum dan elit. Ada antagonisme dalam pemikiran ini, dimana akan ada kawan dan lawan, musuh dan teman, kita dan mereka. Populisme diambil dari bahasa Latin yaitu populi, yang berarti masyarakat. Mengutip dari Musolff, populisme merupakan pemerintahan oleh masyarakat secara penuh. Makna ini akan berlawanan dengan pemerintahan dengan gaya elitisme dan aristokrasi yang menganggap bahwa pemerintahan hanya bisa dipegang oleh segelintir orang.

Fenomena populisme pertama kali muncul dalam bentuk gerakan agraria di Amerika Utara dan peronisme di Argentina, meskipun populisme kerap disandingkan dengan kelompok sayap kanan, sebenarnya populisme mengacu kepada demokrasi yang murni ditujukan untuk kepentingan masyarakat umum, maka dari itu populisme sebenarnya tidak mengacu kepada sayap kanan maupun kiri namun kepada kepentingan masyarakat. Para pengikut populisme menyepakati adanya representasi guna membawa kepentingan masyarakat, namun menolak keberadaan elit.

Karena kepentingan masyarakat yang dibawa oleh populisme, maka tidak jarang kelompok sayap kanan seperti Jerman di era Nazi, memperlihatkan Hitler sebagai perwakilan dari masyarakat Jerman kala itu. Permainan kata yang digunakan oleh kelompok sayap kanan itu adalah kemunculan mesiah atau juru selamat yang akan membangun ulang negerinya menuju jalan yang lebih makmur dengan mengantagoniskan kelompok-kelompok oposisi sebagai sumber masalah.

Salah satu teori yang disandingkan dengan populisme adalah politik identitas. Mengutip dari Taggart, penulis mengutarakan bahwa ada tiga konsep utama dari politik identitas populisme sayap kanan: pertama, penggunaan istilah “masyarakat” sebagai fitur utama yang masuk kedalam istilah lain yaitu tanah air, dimana posisi masyarakat adalah pusat dari tanah air; kedua, dengan munculnya konsep masyarakat maka ada konsep keliyanan (others) yang dijadikan musuh oleh kelompok populis sayap kanan; ketiga, adanya dinamika yang menjaga hubungan antagonistik antara “kita” (masyarakat), “mereka” (elit), dan “musuh” (keliyanan).

Dengan uraian diatas, maka Wodak memaknai populisme sebagai hubungan antagonistik antara “kita” dan “mereka”, istilah “mereka” dapat dimaknai sebagai elit, atau mereka yang benar-benar bukan asli dari suatu negara dimana populisme terjadi (imigran) atau mereka yang memiliki perbedaan dan jumlahnya sedikit (minoritas yang dieksklusikan).

Berhubungan dengan populisme adalah gaya berkenaan dengan komunikasi politik yang disampaikan para politisi partai sayap kanan. Komunikasi politik ini muncul dalam ranah: iklan politik, kontrol politik dan pembentukan opini publik sekaligus perilaku publik terhadap kelompok yang dieksklusikan. Pada tataran komunikasi politik inilah wacana-wacana yang diangkat para populis sayap kanan diangkat.

Wacana yang diangkat oleh populis sayap kanan pun akan diperluas lingkupnya sehingga negara atau pemerintah seakan-akan menghadapi berbagai macam ancaman akan kedaulatannya. Seperti wacana imigran di Eropa akan dimasak dan dibumbui sedemikian rupa agar dapat diarahkan kepada wacana keamanan dan kewarganegaraan.

Kasus imigran ini juga diarahkan menuju permasalahan pendidikan dan urusan luar negeri, mengenai siapa yang harus bertanggungjawab atas imigran dari Timur Tengah dan bolehkah mereka mendapatkan pendidikan di Eropa sementara kewarganegaraan mereka masih bermasalah.

Selain politik eksklusi yang dilakukan kelompok kanan terhadap minoritas, pandangan lain yang turut menunjang populisme dan politik ketakutan adalah nasionalisme. Penulis mengutarakan bahwa nasionalisme memang sudah usang pasca Perang Dunia II, namun sebagai fenomena global masa kini, nasionalisme telah bangkit kembali. Gagasan mengenai bangsa (nation) menekankan kepada inklusivitas dan solidaritas. Bersamaan dengan itu, ide mengenai kebangsaan juga diartikan dalam lingkup etnisitas sampai rasial, sehingga bisa juga digunakan untuk menendang keluar mereka yang bukan termasuk etnis atau ras tertentu.

Ada lima asumsi dasar dalam bab mengenai nasionalisme: identitas bangsa selalu dibentuk dalam konteks tertentu, pembentukan identitas ini diikuti dengan proses inklusivitas atau eksklusivitas kelompok tertentu (terbentuknya pemahaman antara “kita” dan “mereka”), identitas selalu diproduksi dan dibentuk sebagai simbol, nasionalisme partai sayap kanan selalu menggunakan gaya berpolitik yang memisah atau membatasi sudut pandang, dan karena tindakan mereka yang negatif, kebanyakan partai politik selalu berusaha mengakomodasi lebih banyak sudut pandang supaya partai sayap kanan tidak pernah menang dalam panggung perpolitikan.

Hal lain yang turut diulas Wodak adalah politik perbatasan, dimana perbatasan sekarang diartikan dengan penggunaan bahasa, etnisitas dan budaya. Dengan pendefinisian semacam ini di Eropa, maka benua tersebut bukan maju kepada sebuah persatuan yang ditandai dengan kosmopolitanisme, posnasionalisme dan globalisasi, melainkan kembali kepada zaman parokial, tradisional dari sebuah negara-bangsa yang tertutup.

Menariknya, Wodak juga mengambil pemahaman tentang kebangsaan dari Benedict Anderson, yang mengilustrasikan bangsa sebagai komunitas imajiner, sebuah konstruksi pemikiran. Kemauan masyarakat untuk mati demi bangsanya merupakan hasil dari ikatan emosional manusia dengan sebuah entitas seperti fatherland, Paman Sam, Mother Russia, dan Ibu Pertiwi (kalau di Indonesia). Keterikatan emosional ini terbentuk melalui sosialisasi terus-menerus mengenai identitas nasional simbolik.

Unsur lain yang turut membantu naik daunnya kelompok kanan di Eropa adalah politik kharismatik. Praktek politik semacam ini akan mengunggulkan individu melalui sosial media, pemberitaan, kampanye politik, pidato, dan konferensi pers yang ditujukan kepada penonton tertentu.

Anekdot menarik yang disuguhkan dalam politik kharismatik adalah pembicaraan penulis dengan seorang supir taksi menuju Bandara Manchester. Sang supir mengutarakan bahwa Nigel Farage (politisi sayap kanan di Inggris) memberikan pidato yang memukau. Pidato tersebut dapat dipahami oleh si supir sehingga ia terkesima dan berubah haluan, yang awalnya memilih Partai Buruh, namun pada pemilu Mei 2015 di Inggris, ia akan memilih partai tempat Farage berkecimpung, karena Farage dapat menyentuh hatinya melalui ujaran-ujarannya. Ia menggunakan bahasa yang “populis” untuk menarik pendengar.

Analisis Wodak memperlihatkan politisi semacam Farage mampu menggunakan bahasa yang lugas untuk memberikan kepastian kepada pendengarnya, bahwa ia berada di sisi mereka. Partai populis kanan di Uni Eropa menggunakan bahasa yang sederhana untuk memperlihatkan kepedulian mereka terhadap amarah dan kekhawatiran masyarakat mengenai permasalahan dalam negerinya. Yang membuat mereka populis adalah penggunaan kalimat yang seolah-olah melawan para elit yang sedang merusak negeri itu.

Banyak politisi Eropa yang juga menggunakan logika berbalik, dimana dalam satu kalimat ia menolak adanya kekerasan, namun dengan justifikasi bahwa kaum elit tidak mendengarkan suara rakyat, mereka justru menekankan penggunaan kekerasan terhadap kelompok yang tereksklusikan pada kalimat selanjutnya. Justifikasi atau pembenaran ini akan diarahkan untuk mempermasalahkan kelompok tertentu yang nantinya digunakan untuk mengunggulkan posisi tawar mereka di depan mata khalayak umum.

Argumentasi yang acap kali digunakan selalu mengandung unsur argumentum ed verucundiam (memperkuat logika karena kualitas kepribadian si politisi) dan argumentum ad populum (argumentasi yang diikuti karena menyentuh perasaan para pendengarnya). Mengutip dari S. Hansson, penulis juga menyertakan pandangan bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pengikut kelompok kanan akan dibenarkan dengan cara mythopoesis (meramalkan sebuah kisah apabila “tindakan” tersebut tidak dilakukan).

Karena buku ini berbicara mengenai praktek politik, maka penulis juga memberikan data-data seperti hasil pemilu, pamflet dan poster pemilu, bahkan menganalisis perkataan dari pidato para politisi sayap kanan yang berhasil menarik simpati khalayak umum. Analisis semacam ini menggunakan teknik analisis dengan pendekatan Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis) guna melihat kesesuaian data dengan gagasan yang disandingkan (populisme).

Buku ini adalah bacaan lebih lanjut dari karya Ernesto Laclau, On Populist Reason, dimana Laclau hanya mengulas populisme secara wacana dari berbagai sumber bacaan. Laclau mendirikan pondasi untuk studi tentang populisme di abad ke-21 yang disempurnakan oleh Wodak dengan sumbangan data-data kuat mengenai penggiringan wacana dalam pemilu di negara-negara Uni Eropa yang bercorak populisme kanan. Kedua buku ini sama bagusnya namun berbeda pandangan.

Bagi para pembaca yang ingin mengetahui populisme secara filosofis, karya Laclau merupakan bacaan yang tepat, apabila ingin mengetahui prakteknya di lapangan, karya Ruth Wodak ini menyuguhkan studi kasus dan telaahan yang komprehensif mengenai praktek populisme. Ditunjang dengan penggunaan bahasa yang sedikit rumit, yang dituju, baik oleh penerbit maupun penulis adalah pembaca dari kalangan akademisi.

Jika para pembaca ingin membahas konteks di Indonesia, Vedi Hadiz memberikan ulasan menarik tentang populisme yakni Islamic Populism in Indonesia and the Middle East, dengan lingkup umat Islam yang pastinya berbeda jauh dengan pandangan Wodak yang berkutat di Eropa. Keduanya memiliki lokus yang berbeda dengan pisau analisis yang berbeda. Kelebihan karya Wodak ini terletak, lagi-lagi, pada teknik analisis datanya yang masih jarang digunakan di dunia akademik. Pendekatan posmodernis sangat terlihat dalam tiap babnya. (rez)

P.S. Resensi ini awalnya dimuat di situs web Klub Seri Buku.