Judul Buku How to Change the World
Penulis Eric J. Hobsbawm
Penerbit Yale University Press
Tebal Buku 470 Halaman
Tahun Terbit 2011
ISBN 978-0-300-17616-2
Sudah lama saya tidak mengulas mengenai buku yang bertajuk Marxisme. Ideologi yang kerap disandingkan dengan warna merah ini memang selalu menarik untuk dibahas. Kenapa demikian? Karena banyaknya varian Marxisme yang dapat kita diskusikan. Mulai dari Inggris sampai dengan Amerika Serikat memiliki Marxis nya masing-masing dengan gaya berpikir yang berbeda, namun tetap dalam lingkup yang sama: Dialektika Materialisme.
Apa Dialektika Materialisme itu? Saya tidak akan membicarakannya dalam review saya kali ini. Jika ingin memahami istilah tersebut dengan komprehensif, silakan baca Das Kapital karya Marx sendiri. Buku ini ditulis oleh sejarawan asal Inggris, Eric Hobsbawm yang memang berkelindan mengenai Marxisme, Komunitas Fabian dan Sosial-Demokrasi di negara dengan mata uang Poundsterling tersebut.
Pertanyaan pada halaman sebelas dari buku ini menjadi pertanyaan mendasar yang patut kita tujukan kepada Marxis di era modern ini: “Apakah pemikiran Marx dapat diterapkan pada Abad Kedua puluh satu?”. Pertanyaan ini masih menjadi tanda tanya besar bagi saya sendiri. Hobsbawm mencontohkan keruntuhan pemikiran Marx salah satunya dengan jatuhnya Pemerintah Uni Soviet (Rusia).
Padahal Uni Soviet menjadi contoh pertama kekuatan Marxisme dengan ekonomi terencananya, diikuti oleh negara lain seperti Cina dan Kuba. Ekonomi terencana ini tidak dijelaskan secara eksplisit oleh Marx dalam karya-karyanya, akan tetapi diimprovisasi oleh Soviet sendiri. Ada permasalahan permanen yang dibentuk oleh Kapitalisme yang dikritik oleh Marx: pencarian profit semaksimal mungkin oleh kapitalisme.
Sebuah fakta menarik yang jarang dipahami oleh penganut Kiri di Indonesia bahwa komunisme sudah ada sebelum Karl Marx mendeklarasikan dirinya sebagai komunis di tahun 1843, bahkan Engels lebih dulu: 1842. Komunis pertama di Jerman bernama Wilhelm Weitling yang menyebut dirinya sebagai komunis pada tahun 1838.
Ada permasalahan akut dalam komunisme, yakni tidak adanya preseden (pendahulu) yang bisa menjadi contoh dari sebuah masyarakat komunis yang akan dibentuk oleh Marx dan Engels. Ide mereka hanya ditarik dari karya Thomas More (Utopia). Judul buku dari Thomas More ini menjadi istilah yang digunakan untuk menggambarkan masyarakat ideal di masa depan.
Karena berhubungan dengan masyarakat, maka Sosialisme, Komunisme dan Marxisme tidak terlepas dari politik, bahkan banyak tokoh revolusioner menekankan politik sebagai sarana utama dalam revolusi. Bentuk sebuah negara berasal dari kehidupan material dari masyarakatnya, yang didalamnya terdapat unsur ekonomi-politik. Perpindahan dari kapitalisme yang runtuh menuju komunisme terjadi akibat kontradiksi yang memang ada dalam kapitalisme itu sendiri.
Semangat revolusi berkobar dengan semakin banyaknya proletar dan kelas pekerja yang terbentuk akibat perluasan dagang dari kapitalisme. Negara berdiri sebagai alat dari para kapitalis untuk menundukkan para tenaga kerja.
Adapun buku Manifesto Partai Komunis (Communist Manifesto) dituliskan sebagai dokumen formal dari organisasi dimana Engels dan Marx merupakan anggota didalamnya: Liga Keadilan, yang berubah nama menjadi Liga Komunis.pada tahun 1847. Kelompok ini memiliki tujuan utama untuk menggulingkan kekuasaan para Borjuasi di Eropa, membangun pemerintahan Proletariat dan mengakhiri pertarungan kelas.
Liga Komunis merupakan alat menuju masyarakat tak berkelas dan hilangnya kepemilikan pribadi. Namun Liga Komunis ini ada sebelum Manifesto Partai Komunis selesai dituliskan pada tahun 1848.
Marxisme mulai naik daun semenjak menyebarnya Manifesto tersebut dan selalu dikaitkan dengan komunisme dan sosialisme di berbagai belahan dunia. Ideologi ini semakin meningkat popularitasnya semenjak keberhasilan Revolusi Oktober 1917, dimana Lenin dan Proletarnya berhasil menggulingkan rezim Tsar Nikolas Kedua dan membentuk Republik Sosialis Uni Soviet.
Setelah kemunculan Uni Soviet, Partai Komunis menjadi tren global dan muncul di berbagai negara seperti Cina, Kuba, Indonesia dan beberapa negara lainnya. Tidak jarang partai-partai oposisi memegang asas Sosialisme, Komunisme atau Marxisme. Bahkan terbentuk pula Komintern (Komunis Internasional), dimana Tan Malaka pernah menjadi anggotanya.
Perkembangan marxisme juga didukung dengan berkembangnya media cetak, dimana karya-karya Marx diterbitkan, diperbanyak dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa yang awalnya hanya dalam Bahasa Jerman dan Rusia. Marxis Ortodoks pun mulai menentukan standar internasional dari Marxisme yang kita sebut sebagai Materialisme Dialektis dan Historis. Pemikiran tersebut menjadi standar baku bagi mereka yang ingin belajar Marxisme.
Intelektual dunia semakin radikal dengan marxismenya karena melihat kegagalan kapitalisme (krisis kapitalisme) dalam Depresi Besar pada tahun 1930. Para Intelektual ini, semakin tertarik kepada Marxisme, Komunisme dan Sosialisme karena melihat ketahanan Uni Soviet bertahan ditengah-tengah krisis ekonomi, terutama kelompok Fabian dari Inggris yang dibentuk oleh Beatrice Webb dan Sidney Webb.
Pada era 1930-an, jajaran ideologi kiri mendapat tantangan dari Fasisme, salah satu ideologi yang “mengganggu”. Hobsbawm mengutarakan tiga alasan kenapa Fasis patut dilawan pada era itu: Karena mereka fasis, karena mereka menolak kebebasan, dan karena mereka selalu mengajak berperang. Alasan kedua lah yang menjadikan Fasisme berbahaya. Bagi penganut Fasisme, mereka pasti menolak pemikiran Marx, begitu pula John Stuart Mills, dan pemikir lain yang mengutamakan kebebasan dalam pondasi pemikirannya.
Kajian Marxisme untuk melawan fasisme (anti-fasis) berbeda dengan kajian marxisme pasca perang. Marxisme pada dekade 1960-an telah ditelan dalam perguruan tinggi yang membuatnya menjadi ilmiah dan terintegrasi dengan ilmu-ilmu sosial. Namun ketertarikan para ilmuan terhadap marxisme dan anti-fasisme dimulai semenjak dekade 30-an, ketika ilmuwan seperti J. Robert Oppenheimer yang membuat bom atom menjadi anti-fasis dan tertarik terhadap komunisme.
Gerakan-gerakan di Dunia Ketiga (cont: Amerika Latin) juga memiliki dampak terhadap perkembangan marxisme, karena gerakan-gerakan tersebut menjadikan sosialisme sebagai tujuannya. Model sosialisme yang dianut oleh gerakan terkait diambil dari rezim-rezim bercorak Marxisme (Uni Soviet dan Cina). Dampaknya adalah tulisan para Marxis mengenai kolonialisme pun juga semakin marak.
Seperti yang kita ketahui, kemunduran marxisme ditandai dengan melemahnya rezim-rezim komunisme dan sosialisme seperti Uni Soviet, dan kekalahan Uni Soviet dalam Perang Dingin memunculkan sentimen anti-komunisme yang kuat di berbagai belahan dunia. Apalagi semenjak 1990an, para miliarder memiliki gelar akademis mulai menjamur, bahkan menurut seorang humoris, krisis tahun 2008 disebabkan milyader cerdas ini bermain saham dan menciptakan algoritma yang lebih susah dipahami oleh para kapitalis sendiri.
Hasil dari Perang Dingin menandakan kemenangan kapitalisme demokrasi-liberal ala Barat. Akan tetapi pemikiran Marx masih bertahan hingga sekarang untuk mengingatkan bahwa Kapitalisme pun tidak menawarkan sesuatu yang bersifat pasti. Walaupun demikian, para pembaca dapat melihat bahwa marxisme masih menjadi pemikiran yang digandrungi para akademisi ilmu sosial dan pemuda di berbagai belahan dunia.
Di salah satu halaman dalam buku ini, Hobsbawm mengutarakan hanya Rasulullah Muhammad S.A.W yang mampu menandingi Karl Marx perihal cepatnya penyebaran pemikiran ke seluruh penjuru dunia. Kalimat ini menandakan bahwa Marxisme dan Islam sama cepatnya dalam perluasan dan perkembangannya. Yang menjadi pertanyaan besar ialah: Bisakah keduanya disamakan? (rez)
P.S. Resensi ini awalnya tayang di situs web Klub Seri Buku. Ilustrasi oleh Faricha.