Judul Buku: Heidegger dan Mistik Keseharian
Penulis: Fransisco Budi Hardiman
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tebal Buku: xiii+214 halaman
Tahun Terbit: 2016
Filsafat merupakan sebuah mata ajar dan disiplin ilmu pengetahuan yang begitu digandrungi di Eropa. Dalam memproduksi filsuf kontemporer, ada dua negara yang selalu berlomba-lomba dalam mencetak para filsuf, yakni Jerman dan Perancis. Berbagai aliran pemikiran berkembang pesat melalui dua negara itu, belum lagi ideologi. Salah satu aliran yang paling diminati ialah eksistensialisme. Secara mainstream, kita mengenal eksistensialisme melalui pemikiran Jean-Paul Sartre, namun, bapak eksistensialisme sejati ialah Martin Heidegger, sang pendukung NAZI. Iya, dia dipinggirkan dari nama-nama filsuf tersohor karena preferensi politik yang berbeda. Buku Pak Franky ini berusaha memperkenalkan kita kepada sosok terbuang ini sebagai usaha memahami (pengantar) atas pemikiran yang selanjutnya merebah ke berbagai penjuru dunia.
Di awal buku ini, Pak Franky memang menjelaskan mengenai pribadi Heidegger semasa muda. Orang yang melakukan kritik terhadap agama, bukan lah berasal dari keluarga yang lemah imannya, akan tetapi lahir dari keluarga yang taat terhadap agamanya. Saat remaja, Heidegger bercita-cita untuk belajar di seminari (sekolah katolik), ia sempat mengenyam pendidikan itu namun keluar karena sakit dan mulai lah dunianya masuk kepada krisis kepribadian. Beliau menjadi lebih tertarik kepada pemikiran-pemikiran filosofis, terutama yang dibawa oleh Edmund Husserl (Fenomenologi). Semasa ini, Heidegger sangatlah memuja pemikiran Husserl dan membaca hampir seluruh karyanya. Buku ini menjelaskan pula bahwa karya Sein und Zeit milik Heidegger sering menggunakan fenomenologi dalam penulisannya, ia acapkali mengajak para pembaca untuk menikmati fenomena yang sedang terjadi disekitarnya secara mendalam. Yang paling menarik dari bab awal buku ini adalah penggunaan kata Sang Pelihat (Zauberer) bukan dalam pemaknaan melihat masa depan, tapi mencermati fenomena.
Cara ia melihat sebuah fenomena yang biasa saja menggunakan sudut pandang yang luar biasa, acapkali disebut sebagai Ontologi. Inilah cara pandang filsafat yang cukup tenar hingga sekarang. Ia dijuluki sebagai Raja Filsafat karena kemampuan menyerap pengetahuan dibidang filsafat yang cukup luas, dari era Yunani Kuno hingga abad pertengahan yang membahas metafisika. Namun memang kepandaian dan kesetiaan merupakan hal yang berat untuk dimiliki oleh seseorang. Kendati sangat cemerlang dalam ilmu pengetahuan, dalam kehidupan berumahtangga, ia memiliki satu istri bernama Petri, namun juga berkencan secara rahasia dengan pemikir besar asal Jerman yang saat itu masih belia, Hannah Arendt. Meskipun begitu, cinta kasih ini tak sampai di akhir hayat kedua orang tersebut, dan Heidegger tetap secara resmi bersama istrinya.
Heidegger memberikan dukungan kepada Partai Nazi pada tahun 1931 dan secara terbuka mendukung Hitler pada tahun 1933. Dari dukungannya inilah ia mendapat kursi rector di Universitas Freiburg dan secara resmi bergabung dengan Nazi sebagai salah satu intelektualnya. Dalam lingkaran intelektual Nazi inilah, Heidegger mengembangkan konsep lebensraum (ruang hidup) dan bekerja bersama Carl Schmitt (seorang yuris ternama dari Jerman yang ikut hilang namanya karena preferensi politik yang salah). Ada tiga permasalahan yang akan mengganggu pemikiran kita jika hendak mempelajari Heidegger: hubungan dengan Hannah Arendt, keberpihakan dengan Nazi dan permasalahan Heidegger dengan system agama Katolik. Memang benar mengenai tiga hal yang diutarakan dalam buku ini, tiga hal itu adalah “noda” dalam kehidupan Heidegger.
Akan tetapi, ketimbang membahas kontroversi Heidegger, ada baiknya saya kembali kepada pemikiran Heidegger yang sedikit demi sedikit dituangkan dan dirangkum di buku ini. Apa sih yang mudah dari Heidegger? Tidak ada. Namun Pak Franky mengutip Natanson mengenai Fenomenologi, bahwa istilah tersebut merupakan ilmu mengenai permulaan (sciences of beginnings), maka dari itu patut dan benar jika kita menempatkan diri kita sebagai pemula dibidang filsafat ketika membaca karya Martin Heidegger. Hal-hal alamiah yang ada disekitar kita, yang menjadi fenomena, mulailah kita amati dengan khidmat dan memahaminya dengan mendalam. Kita dudukkan diri kita seperti seorang bayi yang baru lahir dan berusaha memahami kondisi sekitar. Fenomenologi yang anti terhadap sikap alamiah memunculkan kebiasaan filsafat untuk mempertanyakan segala hal yang ada disekitar kita, mulai mencari mengenai kebenaran, memunculkan sikap kritis terhadap keberadaan benda-benda yang kita lihat. Mengutip dalam buku ini, jika melihat matahari seolah-olah baru pertama kalinya, kita tak akan percaya begitu saja bahwa benda itu ada di atas sana, diluar kesadaran kita. Mulai muncul pertanyaan akan matahari tersebut, apakah benda itu didalam pikiran kita atau justru diluar? Fenomenologi inilah yang digunakan oleh para filsuf untuk mendekatkan diri secara murni dengan fenomena yang sedang terjadi.
Buku ini bukanlah sekedar buku yang membahas kehidupan pribadi seorang Martin Heidegger, melainkan sebuah biografi intelektual yang berisi pemikiran asli dari Heidegger beserta penjelasan-penjelasan yang mudah dipahami oleh pemula dibidang filsafat. Bagi para pembaca pemula untuk filsafat, jangan hanya membaca karangan mengenai/dari Aristoteles, Plato dan Socrates, namun ada baiknya membuka bab filsafat kontemporer dengan membaca Heidegger. Dan buku ini adalah salah satu pengantar filsafat yang substansial dengan bahasa yang mudah dicerna, kita akan dapat memahami dengan sederhana istilah yang dicetuskan oleh Martin Heidegger melalui Heidegger dan Mistik Keseharian ini. (rez)