Pemimpin Sebagai Subyek, Memaknai Kata Parresia

Judul Buku: Foucault on Leadership

Penulis: Nathan W. Harter

Penerbit: Routledge

Tebal Buku: 119 halaman

Tahun Terbit: 2016

Sudah beberapa bulan yang lalu, sejak saya meresensi buku yang berkaitan dengan filsuf terbesar Perancis, Michel Foucault. Kali ini saya akan mengambil salah satu penerbit yang terbiasa memilih sampul buku yang membosankan, Routledge. Terlepas dari sampulnya yang buruk rupa, penerbit ini merupakan referensi unggulan bagi para ilmuan sosial dan politik sama halnya seperti Sage Publication. Penulis dari buku ini bernama Nathan W. Harter, seorang pakar kepemimpinan yang sedang naik daun. Meskipun tidak begitu tenar namanya, namun bukunya seringkali digunakan sebagai rujukan jurnal-jurnal ilmiah se-level Index Scopus yang ditakuti. Untuk menggambarkan secara singkat diawal paragraf ini, buku karya Harter ini bisa dibilang more than meets the eye. Kenapa begitu? Silakan simak resensi singkatnya sebagai berikut.

Saya pribadi sangat sepakat dengan apa yang diutarakan Pak Harter dalam bukunya. Ia menyampaikan bahwa karya Foucault bukanlah bacaan yang mudah, jika ada yang dapat memaknai dengan cepat, maka orang itu belum membaca secara mendalam. Dalam menuliskan karyanya sendiri, Foucault bergaya layaknya sastrawan yang hasil tulisannya adalah prosa. Memang benar, acapkali bukunya Foucault serasa seperti sebuah kisah ilmiah. Itulah kelebihan Foucault. Karakteristik yang mengilustrasikan Foucault adalah kompleksitas, ia selalu membahas permasalahan sederhana yang ternyata didalamnya jauh lebih kompleks daripada apa yang kita ketahui, seperti salah satu perkuliahan yang pernah saya ikuti, sang dosen membahas Foucault hanya mengenai “gelas”. Entah yang terlalu rumit Foucaultnya atau terlalu dangkal pembacaan dosennya saya tidak berani menilai.

Cukup kiranya menjelaskan Foucault sebagai individu di paragraf atas, sekarang saya mencoba menguak karya yang menghubungkan Foucault dengan teori kepemimpinan. Pertama, ada sedikit perbedaan dalam kata kekuasaan dan kepemimpinan, jika kita membaca bukunya Foucault, Beliau memang jarang mengutarakan leadership, ia lebih cocok menggunakan power, namun bukan berarti ia bicara mengenai perebutan kekuasaan (pemilu), akan tetapi mengenai penggunaan kekuasaan. Penggunaan kekuasaan inilah yang nantinya akan disebut sebagai the practice of government (praktek pemerintahan).

Buku ini merupakan usaha dari Pak Harter dalam memaknai, menginterpretasikan dan menafsirkan dari perkuliahan-perkuliahan yang diberikan oleh Michel Foucault, bukan menuliskan biografi kehidupannya. Perkuliahan yang dimaksud adalah di College de France dan difokuskan pada pembahasan governmentality. Jika mencari secara langsung tanpa dengan giat membaca bukunya Foucault, para pembacanya tidak akan paham mengenai tulisan. Ke-instan-an bukanlah gaya menulis ala Foucault yang kompleks. Karena itu, kita harus bersabar dan teliti juga cermat dalam memahami setiap paragraf dalam karya tulis pemikir Perancis ini.

Bagian yang cukup banyak diulas dalam buku ini ialah Yunani dan para pemikirnya. Socrates, Plato dan Homer sering disebutkan oleh Foucault dalam perkuliahannya ditahun 1980-1983 di College de France. Terutama mengenai Parresia yang dituliskan dalam buku On The Government of Self and Others. Menurut Foucault yang dijelaskan dalam bukunya Pak Harter ini, ia melihat bahwa justru manusia adalah obyek dari pengetahuan yang mereka ciptakan. Manusia mempelajari diri mereka sendiri. Menariknya, manusia melakukan diskursus mengenai mereka sendiri. Pembahasan Parresia politik sendiri melingkupi tiga bagian yakni: pengetahuan (mencari kebenaran yang disebut alithea), kekuasaan atau teknik governmentality (pembahasan struktur yang disebut polithea) dan bentuk dan praktek dalam mengatur diri sendiri yang disebut sebagai etika.

Tiga hal tersebut juga dihubungkan menjadi Parresia yang didalamnya ada empat elemen: berbicara secara bebas, berbicara atas namanya sendiri (tanpa representasi atau delegasi), menyampaikan kebenaran juga tidak berbicara hal-hal yang tidak masuk akal dan yang terakhir, semua pembicaraan ini beresiko untuk sang pembicara. Perkembangan ilmu kepemimpinan juga didasarkan pada empat elemen Parresia tersebut. Pada posisi ini, pemimpin menjadi subjek, tidak lagi sebuah objek. Namun, Parresia ini membutuhkan pendengar yang baik, kalau tidak, maka segala hal yang diucapkan oleh pemimpin tidak akan berguna, begitupula sebaliknya, segala macam keluhan dan saran kepada pemimpin juga tidak akan didengarkan (jika menggunakan logika terbalik, yang mendengarkan bukan hanya masyarakatnya namun juga pemimpinnya).

Parresia biasanya menjadi subjek utama, sehingga yang memiliki peran sebagai penasehat tidak dianggap sebagai Parresia. Penasehat ini berbeda-beda jenisnya tergantung pada usaha mereka dalam menyampaikan kebenaran menggunakan berbagai macam metode. Seseorang yang dianggap mampu melihat masa depan dan mampu mendengarkan wahyu dari para dewa acapkali disebut sebagai nabi atau peramal. Jika seseorang didengarkan nasehatnya karena kebijaksanaan dan pengalaman hidupnya yang sudah lama, maka seseorang tersebut biasanya dipanggi Sage (orang bijaksana atau sejenis filsuf). Sedangkan mereka yang memberikan nasehat dalam permasahalahan teknis dan penyelesaiannya pun teknis, maka mereka dianggap sebagai seorang trainer (pelatih) seperti Jenderal. Parresia lah yang menjadi seseorang yang diberi saran.

Namun, Parresia bukanlah sebuah mahluk, melainkan hak khusus yang diberikan kepada seseorang guna melayani kebutuhan masyarakat di sebuah kota (polis). Kebebasan berbicara dan keharusan menyampaikan kebenaran menjadi permasalahan akut yang dihadapi dalam sebuah kota. Pastinya kita tidak akan enak secara terbuka saling menghina antara satu sama lain, begitupun menyindir. Adapun manusia lebih menyukai berbicara kepada orang yang memberi pujian kepada diri mereka. Manusia tidak mampu memahami mana yang patut didengar dan mana yang patut dipahami, yang berdampak pada kerancuan pikiran dalam berpolitik. Maka terkadang, Parresia memang digambarkan sebagai pemuda yang seringkali berkonsultasi kepada “mereka yang menyampaikan kebenaran”. Tidak hanya mendengarkan puji-pujian. Dari hal ini, kita akan memahami apa yang dimaksud Foucault sebelumnya (dalam kuliah On The Government of The Living) sebagai rezim kebenaran.

Meskipun terlihat tipis, hanya 119 halaman, namun hampir setiap kata dalam buku ini layak dibahas dan benar-benar mengejewantahkan pemikiran Foucault mengenai Parresia dengan gamblang. Apa yang saya ulas hanyalah sebagian kecil dari wawasan yang begitu akbar. Kehebatan Foucault ialah ilmu pengetahuan dan metode berpikir yang ia miliki relevan digunakan hampir di segala bidang keilmuan masa kini. Saya sendiri masih sangat terbatas dalam memahami Foucault secara menyeluruh. Selain dia adalah seorang filsuf, pengajar, aktivis, sejarawan, psikolog, arkeolog dan peneliti yang sangat disanjung selama dua abad terakhir ini. Jika para pembaca bingung dalam memahami Foucault, jangan menyerah, pasti bisa. Eh bien, c’est la vie. (rez)