Nuruddin Zanki dan Bab Sejarah Dinasti Islam yang Hilang

Judul buku: Nuruddin Zanki dan Perang Salib

Penulis: Alwi Alatas

Penerbit: Zikrul

Tebal buku: 448 halaman

Tahun terbit: 2012

ISBN: 9789790637351

Nama lengkapnya adalah Al-Malik Al-Adil Abul Qasim Nuruddin Mahmud bin Imaduddin Zanki bin As-Sunqur, nama aslinya adalah Mahmud, sedangkan Al-Malik Al-Adil Abul Qasim Nuruddin adalah julukan yang disertakan kepadanya, karena jasa-jasanya demi peradaban Islam di Mosul dan Suriah. Ia adalah cucu dari As-Sunqur, salah satu pejabat mulia dari dinasti Bani Seljuk Turki dan anak dari Imaduddin Zanki, atabeg dari Mosul. Nama keluarga Zanki (dinasti Zankiyah) tidak setenar Utsmaniyah atau Ayyubiyah karena tidak melakukan penaklukan heboh seperti pembebasan Al-Quds dan penaklukan Konstantinopel, tapi Zanki lah yang memberi jalan Shalahuddin Yusuf Al-Ayyubi membebaskan Al-Quds, bisa jadi tanpa Nuruddin Zanki, tidak ada pembebasan Al-Quds dari pasukan Salib.

Nuruddin adalah anak kedua, di mana kakaknya adalah Saifuddin Ghazi. Ketika ayahnya wafat karena dibunuh, kekuasaan atas Aleppo dan Mosul dibagi kepada dua anak pertamanya, Saifuddin mendapatkan Mosul dan Nuruddin mengelola Aleppo. Pada saat berkuasa atas Aleppo, Nuruddin masih berumur 28 tahun, umur yang masih muda tapi matang dalam memimpin sebuah wilayah. Dalam buku ini dikatakan bahwa Nuruddin Zanki tidak sekeras ayahnya dalam berkuasa, dan hal itu memberi jalan untuk kejayaan yang dibangun oleh Nuruddin.

Buku ini dibuka dengan kisah mengenai pasukan salib yang mulai terbentuk karena kekalahan kekaisaran Bizantium di Manzikert pada tahun 1071 oleh dinasti Seljuk di bawah Muhammad bin Dawud Chagri Beg (Alp Arslan). Sang sultan Seljuk membebaskan kaisar Bizantium yang tertangkap karena kekalahan di Manzikert, hal inilah yang menjadi pemicu terjadinya Perang Salib, karena nantinya Bizantium akan meminta kerajaan-kerajaan di Eropa Barat untuk membantu merebut kembali wilayah kekuasaannya, Perang Salib I digawangi oleh Paus Urbanus II.

Pasukan Salib pertama didominasi oleh rakyat jelata (sehingga mendapatkan julukan people’s crusade) dan bangsawan muda yang ingin mencari kejayaan. Di antara para bangsawan tersebut ada Bohemond yang nantinya menjadi penguasa Antakya, Baldwin I yang awalnya menjadi penguasa Edessa setelah menaklukkan kota tersebut dan selanjutnya ia terpilih menjadi Raja Kerajaan Latin Yerusalem ketika kota tersebut jatuh ke tangan pasukan salib, Godfrey I yang awalnya menjadi penguasa Yerusalem dari pasukan salib I namun ia tidak menggunakan gelar raja saat berkuasa atas kota tersebut, Raymond dari Saint-Gilles adalah penguasa Tripoli yang menjadi salah satu provinsi Kerajaan Latin Yerusalem (empat wilayah kerajaan ini adalah: Yerusalem, Antakya, Edessa dan Tripoli).

Perang salib pertama berakhir dengan kemenangan pasukan salib dan kekaisaran Bizantium yang dapat merebut beberapa wilayah kekuasaannya yang telah ditaklukkan oleh pasukan dinasti Turki Seljuk. Menurut Alwi Alatas, kegagalan pasukan Muslim dalam menghadang laju pasukan salib dikarenakan para amir berseteru antara satu dengan yang lain, bahkan Arsuf dan Damaskus berdamai dengan Kerajaan Latin Yerusalem. Perpecahan di dunia Islam dengan munculnya berbagai dinasti, adanya dua kekhalifahan: Abbasiyah yang beraliran Sunni dan Fatimiyah yang beraliran Syi’ah turut menjadi faktor ketidakmampuan pasukan Muslim untuk bersatu menghadang pasukan salib, sama halnya dengan kehancuran Abbasiyah di bawah hentak laju pasukan Mongol.

Pada kondisi inilah, seorang pemimpin umat Islam yang kelak anaknya menyatukan sebagian besar wilayah Suriah dan Mosul, muncul. Ia adalah Imaduddin Zanki yang berhasil menguasai dua wilayah strategis di Timur Tengah: Mosul dan Aleppo, anaknya, Nuruddin Zanki juga berhasil menguasai Damaskus, yang menariknya adalah Nuruddin merebut Damaskus dari tangan penguasanya dengan sedikit saja pertumpahan darah. Ia lebih menekankan penggunaan taktik infiltrasi, intimidasi dan perang urat saraf untuk mendapatkan Damaskus, ditambah dengan kawannya, Najmuddin Ayyub (Ayah Shalahuddin Al-Ayyubi) yang merebut hati rakyat Damaskus agar mendukung posisi Nuruddin Zanki.

Najmuddin Ayyub dan saudaranya, Asaduddin Syirkuh adalah orang kepercayaan Zanki, bahkan Asaduddin Syirkuh adalah panglima perang dari pasukan Nuruddin Zanki. Tak pelak lagi, Zanki adalah penguasa Suriah yang sangat pantas menjadi contoh penguasa Islam, karena ia terkenal dengan upaya jihadnya yang tiada henti untuk merebut kembali wilayah-wilayah yang telah dikuasai pasukan salib, meskipun ia wafat 13 tahun sebelum melihat pembebasan Al-Quds.

Apa yang dibangun oleh Imaduddin Zanki dan Nuruddin Zanki berhasil menghajar pasukan salib kedua yang dipimpin oleh dua raja Eropa Barat: Prancis dan Jerman, bahkan mereka mengalami kekalahan pahit dan kembali dengan tangan kosong. Pemapanan Suriah di bawah Nuruddin Zanki, membuat Kerajaan Latin Yerusalem menjadi waswas karena diapit oleh dua wilayah Islam yang kuat: Kekhalifahan Fatimiyah dan Dinasti Zankiyah. Menariknya adalah Dinasti Fatimiyah ini justru lebih suka bekerjasama dengan Kerajaan Latin Yerusalem ketimbang menjalin hubungan dengan dinasti Zankiyah. Ini membuat Nuruddin Zanki geram dan mengirimkan Asaduddin Syirkuh beserta keponakannya, Shalahuddin Al-Ayyubi yang masih muda untuk menyerbu Mesir.

Fatimiyah pun meminta bantuan pasukan salib di bawah Amalric I, namun pada pertempuran di Mesir, yang muncul sebagai pemenang adalah Syawar, wazir dinasti Fatimiyah yang kalah dalam intrik politik Fatimiyah dan meminta tolong kepada Zanki untuk melakukan invasi ke Mesir. Busuknya lagi, Syawar justru meminta Asaduddin Syirkuh untuk pergi dari Kairo setelah ia kembali menjadi wazir Fatimiyah. Tidak lama kemudian, invasi kedua Mesir yang dipimpin oleh Syirkuh lagi, dimulai. Invasi kedua ini membawa Mesir di bawah kekuasaan dinasti Zankiyah, sehingga wilayah Nuruddin Zanki membentang dari Mosul, Aleppo, Damaskus hingga Kairo dan membuat Kerajaan Latin Yerusalem justru semakin terjepit. Adapun Syirkuh menjadi wazir Fatimiyah namun ia berkuasa atas nama Nuruddin Zanki, nahasnya, dua bulan setelah menjadi wazir, ia wafat dan digantikan oleh keponakannya, Shalahuddin Al-Ayyubi.

Nuruddin Zanki beberapa kali meminta Shalahuddin untuk segera menghapuskan kekhalifahan Fatimiyah, namun Shalahuddin menunggu momen yang tepat. Pada saat khalifah Al-Adid dari Fatimiyah sakit keras di tahun 1171, Shalahuddin menghilangkan pengaruh Syi’ah Ismailiyah dan secara resmi menjadikan Mesir sebagai keamiran dari Dinasti Zankiyah dengan Shalahuddin sebagai amir Mesir. Meskipun begitu, hubungan Shalahuddin dan Nuruddin tidaklah harmonis. Beberapa kali ajakan Nuruddin untuk berjihad melawan pasukan Frank ditolak oleh Shalahuddin. Nuruddin berniat memberi pelajaran kepada Shalahuddin dan ingin melakukan invasi terhadap Mesir, namun sebelum perpecahan terjadi, Nuruddin wafat pada tanggal 15 Mei 1174. Shalahuddin nantinya memapankan kekuasaannya di Mesir, Aleppo, Damaskus dan Mosul menggantikan Nuruddin dan dinastinya lalu membangun dinasti baru, Dinasti Ayyubiyah.

Apa yang dibangun oleh Nuruddin Zanki menjadi landasan dan modal Shalahuddin Al-Ayyubi untuk menghantam Kerajaan Latin Yerusalem di bawah Guy dari Lusignan dan membebaskan Al-Quds. Bisa jadi di balik kebesaran para pembebas dan penakluk, ada orang-orang yang membangun pondasi jalannya, dan orang-orang tersebutlah yang sebenarnya lebih penting. (rez)