Judul Buku: The Liberal Virus
Penulis: Samir Amin
Penerbit: Monthly Review Press
Tebal Buku: 125 halaman
Tahun Terbit: 2004
Monthly Review Press (MRP) memanglah salah satu penerbit garda depan yang menuliskan mengenai teori sosial kritis dan bersifat independen. MRP selalu memiliki ciri khas yang dimana penerbit lainnya tidak punya, yakni kentalnya pembahasan mengenai ideologi dan kelas. Acapkali pembahasan ini merambah kepada salah satu mata kuliah atau mata pelajaran yang paling menarik, Ekonomi, namun juga tidak terlepas dari Sosiologi dan Antropologi, juga Politik yang biasanya disandingkan dengan “current events”. Dari semua penulis yang pernah menerbitkan naskahnya di MPR, salah satu yang paling sering adalah Samir Amin. Pak Amin disini seringkali membahas mengenai teori sistem dunia dan idelogi (hal-hal yang sifatnya suprastruktur), dan buku yang satu ini adalah salah satu buku yang mengulas secara fokus mengenai ideologi kesayangan dunia, Liberalisme.
Patut kita pahami bahwa liberalisme muncul dengan bangkitnya modernitas dan berkembang bersamaan dengan kapitalisme. Semua dicetuskan di Eropa selama tiga abad sejak zaman Renaissance sampai pada Era Revolusi Perancis. Modernitas muncul sebagai permintaan manusia akan emansipasi, melalui pembebasan dari tradisi-tradisi feodal masyarakat zaman dahulu. Pembebasan mewajibkan penghilangan bentuk dominan dari legitimasi kekuasaan (dalam keluarga, masyarakat dan pemerintahan). Modernisasi memanggil apa yang kita sebut dengan Sekularisasi dimana negara dan agam secara mendasar dipisahkan, yang menjadi dasar atas politik di era modern ini. Modernitas membuka kemungkinan akan demokrasi dan emansipasi.
Namun, secara bersamaan, kapitalisme ikut berkembang bersama modernitas yang dibawa oleh liberalisme dimana pikiran mengenai kebebasan tidak hanya merambah kepada kehidupan sosial dan politik, tetapi juga kehidupan ekonomi. Orang zaman sekarang dihadapkan pada tantangan yang sedang berkembang dan bertambah kuat: kapitalisme. Diskursus yang dihasilkan oleh keberadaan liberalisme dan modernitas ialah kebebasan individu. Dalam konteks kapitalisme, kebebasan disini dapat bermakna bahwa yang kuat (baca: kaya) bisa menenkankan peraturannya kepada orang lain karena kebebasan dan kemampuan (modal) yang ia miliki dan masalah ini menyerang langsung kepada aspirasi yang meminta kesetaraan didasarkan pada demokrasi. Untuk mayoritas masyarakat, kemodernan adalah hal yang munafik karena praktik standar ganda atas azas kebebasan yang diterapkan.
Salah satu contoh yang diambil Amin adalah Amerika. Ia menyebutkan bahwa kebebasan di Amerika menolak kesetaraan, bahkan masyarakat Amerika membenci kesetaraan. Ketidaksetaraan yang ekstrim tidak hanya ditoleransi tapi juga dijadikan simbol kesuksesan yang dijanjikan oleh kebebasan. Maka dari itu, kebebasan tanpa kesetaraan sejatinya ialah kebiadaban. Terkadang kebebasan yang dimaknai di Amerika Serikat yakni kebebasan hingga titik bisa menindas orang lain selama memiliki kapital maka seorang pengusaha akan menguasai manusia lainnya.
Ideologi ini awalnya mempromosikan keharmonisan pasca Revolusi Perancis dalam slogannya “Liberte, Egalite, Fraternite”. Namun interpretasi yang seringkali menghilangkan egalite dan fraternite malah membuat liberty dan liberalism menjadi ideologi ganas bersama kapitalisme yang hendak mengkonsumsi golongan bawah. Sekarang, Liberalisme menjadi tantangan untuk kemanusiaan. Liberalisme Global makin menjadi dominasi Amerika Serikat terhadap negara lain karena interpretasi AS yang berbeda dengan Eropa. Adapun negara-negara Eropa berusaha untuk memaknai ulang liberalisme.
Semua hal ini terjadi karena modernitas berkembang dibawah kapitalisme yang menghasilkan janji-janji tanpa tujuan yang jelas. Padahal janji akan demokrasi mampu membuat yang tertindas, yang miskin dan yang kelaparan dapat bergulat untuk melawan tekanan dari kekatan kapitalis yang dominan (hipotesa liberal selalu melukiskan bahwa semua orang bisa menjadi kaya seperti Rockefeller, tapi itu semua hanyalah khayalan). Bagi Samir Amin, liberalisme hanyalah gagasan usang yang sudah menuju pada titik kehancurannya, banyak orang sudah menganggap liberalisme hanya membawa kesengsaraan karena selalu ditunggangi oleh konglomerasi perusahaan. Liberalisme sudah gagal mensejahterakan masyarakat dunia. (rez)