Judul Buku: Diskursus Demokrasi Deliberatif di Indonesia
Penulis: Fahrul Muzaqqi
Penerbit: Airlangga University Press
Tebal Buku: xvii+233 Halaman
Tahun Terbit: 2019
ISBN: 9786024730482
Demokrasi adalah pembahasan sentral dalam ilmu politik, karena mengulas wacana tentang kekuasaan yang meluas, yang berada di tangan rakyat. Kekuasaan semacam itu, begitu ideal dan imajinatifnya sehingga membutuhkan berbagai interpretasi dari ilmuwan politik, sehingga memunculkan berbagai istilah berkaitan dengan demokrasi, ada demokrasi prosedural, ada demokrasi esensial, demokrasi liberalis, demokrasi republikanisme hingga demokrasi deliberatif yang dibahas dalam buku ini.
Jenis-jenis demokrasi di atas ialah modifikasi ilmuwan politik terhadap praktik demokrasi di daerahnya masing-masing. Bisa juga varian demokrasi tersebut adalah interpretasi para pengamat politik terhadap realitas sosial-politik di negaranya. Demokrasi pun tidak terlepas dari hubungan antara elit dan massa dalam praktik politik, adanya sirkulasi elit menandakan bahwa ada perebutan kekuasaan dan adanya demokrasi, karena tanpa demokrasi tidak mungkin ada perubahan wajah penguasa (kecuali ketika elit yang baru berkuasa justru menjadi diktator).
Buku ini merupakan pembahasan salah satu bentuk demokrasi, yakni demokrasi deliberatif yang merupakan skripsi dari Fahrul Muzaqqi. Penulis sendiri adalah dosen Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga yang mengampu mata ajar “Demokrasi dan Demokratisasi.” Fahrul juga aktif di Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) dan Center for Security and Welfare Studies (CSWS).
Penulis memulai buku ini dengan membeberkan sejajaran nama ilmuwan politik yang mengulas tentang demokrasi deliberatif atau konsep demokrasi yang mendekati demokrasi deliberatif, di antaranya adalah Jürgen Habermas, Joshua Cohen, Jon Elster, John Rawls, sampai Anthony Giddens. Pemikiran-pemikiran mereka dielaborasi sedemikian rupa guna memberikan gambaran umum tentang teori demokrasi deliberatif. Bagian ini mengajak kita untuk tidak bertumpu pada definisi tunggal terhadap arti demokrasi deliberatif melainkan proses pemahaman terhadap istilah tersebut. Penggunaan istilah deliberatif sendiri pertama kali digunakan oleh Joseph Bessette yang nantinya akan dikembangkan oleh pemikir-pemikir yang telah disebutkan sebelumnya, namun istilah deliberatif atau deliberatio sendiri sudah dikenal semenjak zaman Pericles di era Yunani Kuno.
Fahrul mengutarakan dalam Bab 1 bahwa demokrasi deliberatif mengandaikan legislasi secara nasional, partisipasi politik dan pemerintahan sipil berbasis komunikasi yang bebas dominasi di antara tarik menarik kuat dari civil society, kelompok kepentingan, negara, dan pasar. Dalam istilah demokrasi deliberatif, aktivitas politik secara normatif digerakkan oleh rasio komunikatif yang berlawanan dengan pasar yang cenderung bergerak dengan rasio instrumental-strategis.
Selanjutnya, penulis menguraikan bahwa wacana demokrasi deliberatif tidak dapat dilepaskan dari elemen pentingnya, yaitu teori etika diskursus yang merupakan teori komunikasi politik yang berusaha mentematisasi permasalahan politik tertentu secara reflektif yang hendak memahami tingkatan-tingkatan komunikasi untuk mengubah segala aspirasi masyarakat sipil ke dalam bahasa sistem sehingga dapat diakomodasi dan dipahami oleh sistem politik. Demokrasi deliberatif juga tidak bisa dilepaskan dari rasionalitas komunikatif yang merupakan rasionalitas dialogis-intersubjektif di mana interaksi manusia digerakkan oleh tindakan komunikatif untuk mencapai saling pemahaman antar manusia yang bebas dan sederajat.
Demokrasi deliberatif turut menyentuh pemikiran Hannah Arendt tentang kekuasaan komunikatif yang artinya adalah kekuasaan bukanlah milik seseorang, melainkan pluralitas pelaku yang digabung untuk satu tujuan politik bersama. Kekuasaan ini tidaklah alamiah melainkan kreasi manusia berbentuk tindakan. Karena adanya pluralitas maka kekuasaan berkaitan erat dengan ruang publik, di mana aktor berkumpul dan bertindak untuk mencapai kepentingan publik, untuk itu, legitimasi politik bergantung pada kekuasaan yang terbentuk dalam dukungan dan persetujuan rakyat.
Perdebatan teoritik dalam buku ini sangat banyak dan kaya literatur namun di sisi lain dapat membuat bingung pembacanya, terutama orang awam yang tidak begitu terbiasa dengan istilah-istilah akademis dalam ilmu politik. Penggunaan bahasa, seperti linguistifikasi, deliberatif, dan sejenisnya mungkin ke depan perlu lebih disederhanakan. Adapun perlu diberi porsi yang lebih terkait dengan relevansinya di Indonesia.
Terkait relevansi demokrasi deliberatif di Indonesia, Fahrul memberikan beberapa contoh, termasuk munculnya Forum Warga. Adapun usaha beberapa pemerintah daerah yang membuka kantornya langsung untuk keluhan dari masyarakat juga dapat dilihat sebagai proses deliberasi di mana ada komunikasi, bahkan perdebatan antara masyarakat dan pejabat, hingga dampaknya adalah pembentukan ruang publik sebagai platform untuk melaksanakan demokrasi deliberatif. Kemunculan Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan (Musrenbang) juga merupakan usaha untuk mendemokratisasi kehidupan birokrasi di Indonesia, di mana kebutuhan masyarakat di daerah bisa langsung didengar oleh pejabat terpilih maupun pejabat birokrasi.
Namun, Indonesia juga sudah mengenal secara tersirat demokrasi deliberatif dalam bentuk musyawarah mufakat yang acap kali digunakan untuk menyelesaikan permasalahan. Dalam perkembangannya, kata musyawarah untuk mencapai mufakat menjadi landasan mayoritas warga Indonesia dalam menuntaskan permasalahan dengan jalan non-litigasi (tidak melalui meja hijau biasanya dalam bentuk mediasi biasanya). Adat di Indonesia sudah membiasakan masyarakat kita untuk menyelesaikan masalahnya dengan istilah “kekeluargaan”. (rez)