Judul Buku: The Structural Crisis of Capital
Penulis: István Mészáros
Penerbit: Monthly Review Press
Tebal Buku: 218 halaman
Tahun Terbit: 2010
Kapitalisme selalu menjadi bahan menarik untuk dibahas dan didiskusikan, banyak sudut pandang yang selalu mengupas secara mendalam mengenai ideologi ini, bahkan sejatinya, Karl Marx Sang Filsuf Abad Keduapuluh memang terobsesi mengupas secara medalam mengenai Kapital dan Kapitalisme sampai-sampai menerbitkan bukunya dalam tiga jilid (ada yang bilang empat) dibantu oleh sobat karibnya, Friedrich Engels. Pemikiran ini menurun dan mempengaruhi banyak pemikir dunia di abad keduapuluhsatu, mulai dari ekonomi, sosiolog sampai dengan filsuf-filsuf baru. Meszaros adalah salah satunya. Ia adalah kontributor dari majalah Monthly Review, baik artikel maupun bukunya diterbitkan oleh penerbit itu. Sekarang beliau adalah professor emeritus dari Universitas Sussex yang pernah menduduki Kursi Filsafat (Dekan) selama limabelas tahun.
Dalam buku ini, Meszaros membahas kapital melalui berbagai sudut pandang, namun yang paling menarik untuk dikaji sekarang adalah hubungan kapitalisme dengan ekologi dan lingkungan sekitarnya. Bisa kita cermati bahwa di Indonesia sendiri, dalam mendirikan pabrik butuh Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) terlebih dahulu. Analisa tersebut akan melihat sejauh mana pendirian pabrik tersebut akan merusak lingkungan sekitar dan bagaimana solusi dalam menjaga lingkungan terkait. Karl Marx pernah mengkritik Feuerbach dalam bukunya Ideologi Jerman bahwa: Feuerbach selalu berlindung dibalik alam terbuka dan tidak pernah melihat sesuatu secara mendalam. Dia (Feuerbach) melihat keberadaan ikan hanya sebagai ikan, sedangkan keberadaan dari sungai yang menjadi habitat ikan tidak dipandang sebagai sebuah esensi penting terhadap ikan tersebut. Belum lagi saat wilayah sungai tersebut digusur oleh industri, maka sungai beserta ikan tersebut akan kehilangan eksistensinya (keberadaannya). Adanya pabrik disini merusak habitat ikan yang ikan tersebut hanya memiliki dua pilihan: mati atau terpaksa hidup di selokan.
Keberadaan Manusia disini menekan keberadaan mahluk lain sehingga mereka terancam punah dan Marx menolak usulan bahwa pengembangan semacam itu (pabrik) mau tidak mau melekat pada keberadaan manusia, yang terpenting adalah bagaimana mengakomodasi mereka (alam) dalam kehidupan manusia atau bagaimana manusia mengakomodasi dirinya kepada mereka (alam) dalam kehidupan sehari-hari. Marx memahami bahwa penyusunan radikal dari perdangangan yang dilakukan manusia adalah sebuah kontrol yang efektif terhadap kekuatan alam yang nantinya akan hancur dengan sendirinya oleh kegiatan manusia.
Untuk mengatakan bahwa harga dari membersihkan lingkungan sekitar adalah akhir dari masyarakat atau manusia adalah sebuah alasan yang jelas-jelas sudah basi dan dalih khas yang seringkali dikeluarkan oleh para politisi yang seringkali berkhotbah tentang hal itu layaknya mereka telah menemukan batu bertuah. Yang jelas adalah produsen lah yang selalu memiliki harga tertinggi, meskipun harga dari “sesuatu” itu memang sesuai dengan uang yang dimiliki bukan berarti “sesuatu” itu harus dibeli. Dengan kemenangan dari perusahaan beserta pabriknya, kebersihan lingkungan adalah bukan “sesuatu” yang harus dibeli.
Pada titik akhirnya, mempercayai bahwa Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagai penyelesai dari masalah lingkungan ialah lebih parah ketimbang percaya pada ilmu nujum (sihir). Teknologi sekarang berkembang bukan untuk melestarikan lingkungan sekitar kita agar tidak rusak dalam jangka panjang, teknologi hanyalah dikembangkan (terutama yang untuk pabrik) untuk memaksimalkan keuntungan yang akan diperoleh, sehingga kelestarian lingkungan adalah sesuatu yang dapat dikorbankan demi keberlangsungan perusahaan beserta pabriknya. Permasalahan diatas adalah alasan munculnya lembaga yang berfokus kepada kelestarian lingkungan, tapi tetap lembaga itu akan membuat kita skeptis terhadap penyelesaian masalah lingkungan dengan pencapaian mereka yang lebih sederhana dan sedikit dibanding kemampuan mereka dalam bermain kata. (rez)