Menguak Tafsir Baru Anarkisme

Judul buku: Postanarchism

Pengarang: Saul Newman

Penerbit: Polity

Tebal Buku: xiv + 160 halaman

Cetakan: Pertama, Mei 2016

Bagi orang awam, kata ‘anarkis’ selalu disamakan dengan aksi kekerasan. Bahkan kata itu juga ditujukan untuk semua aksi anti-keteraturan, melawan tatanan, sampai memicu kekacauan. Anarkis lalu dipahami sebagai perbuatan merusak, membongkar plus mengacaukan. Jika disebut kata ‘anarkis’ atau ‘anarkisme’, boleh jadi siapapun yang dengar spontan bergidik bulu kuduknya. Padahal makna kata anarki yang berasal dari bahasa Yunani ini, bisa dipecah jadi dua kata, ‘an’ yang bermakna ‘tidak’, dan ‘arkhos’ yang berarti ‘pemimpin’. Maka, ‘anarkisme’ boleh dikata sebagai paham otonom anti-kepemimpinan.

Sehingga, bagi penulis buku ini, anarkisme bukanlah kriminalitas. Ia bukan jenis kejahatan, melainkan ia adalah ekspresi politik radikal yang bertumpu pada sikap otonom individu. Sikap ogah menghamba, menolak penghambaan. Bagi Saul Newman, gerakan anarkisme di seluruh dunia selalu menawarkan gagasan orsinil membedah eksploitasi. Seorang yang berpikiran anarkis adalah sosok yang tak mau tunduk pasrah begitu saja pada hegemoni apapun. Ia selalu bersikap kritis terhadap dominasi, eksploitasi bahkan terhadap hegemoni yang halus sekalipun.

Paham anarkisme ini sudah mewabah ke seluruh jagat. Memasuki benak kaum muda di berbagai negara, kemudian membangkitkan kegairahan baru kehidupan politik kaum muda progresif. Seperti tampak pada gerakan anti-penguasa di Tunisia, Mesir (Tahrir Square) sampai aksi ‘Occupy Wall Street’ selama kurun 2011-2012. Gerakan otonom ini bersifat masif. Tidak ada pemimpin aksi, sebab semua peserta aksi berada dalam kesetaraan memahami situasi. Tidak ada pemegang komando aksi, karena seluruh anggota aksi mempunyai kesadaran yang sama melawan penguasa yang sudah merampas hak politik warga. 

Ditulis dengan gaya renyah, buku tipis ini berisi enam bab pembahasan. Sebagai guru besar teori politik Universitas London, Saul Newman tampak memahami kaum muda pembaca bukunya. Ia terlebih dulu menguraikan beda anarkisme dari Marxisme atau Leninisme. Jika kedua paham abad 20 itu merujuk ke nama para perintisnya, yakni Marx dan Lenin, maka anarkisme haram merujuk hanya pada satu nama besar seperti Bakunin. Banyak nama besar penyumbang gagasan anarkisme, namun yang terpenting tentu isi gagasannya ketimbang orangnya. Ibarat obat, anarkisme ini sejenis paham generik anti-otoritarian, emoh penindasan.     

Lagipula, revolusi yang selalu menjadi impian kaum Marxis, kini sudah usang. Selain dikarenakan revolusi yang sudah pasti memakan banyak korban jiwa, justru dalam situasi kini yang dibutuhkan masyarakat adalah bergerak minus korban. Bukan atas nama revolusi, para pengusung anarkisme lebih doyan menggunakan kata ‘insureksi’ (kebangkitan). Fenomena insureksi terjadi dimana-mana, dari negara maju sampai negara berkembang. Para warga anti-penggusuran sudah menjalar berkat kesadaran atas hak-haknya.

Ditegaskan Newman, perbedaan antara revolusi dan insureksi adalah pada hasilnya (hlm.47-67). Pengusung ide revolusi akan menekankan perlunya hirarki baru usai revolusi. Insureksi justru menekan kan pada jaringan, karena anarkis menolak segala bentuk hirarki. Alasannya, hirarki hasil revolusi akan menyebabkan pemberontakan menjadi sebuah siklus tanpa akhir.

Jaringan kaum anarkis dibentuk atas dasar persamaan hak dan kewajiban. Lalu, timbullah emansipasi dan toleransi antar pelaku, tidak ada perebutan kekuasaan. Meskipun terlihat sangat ideal dan mengada-ada, tapi banyak pemberontakan sekarang malah berbentuk insureksi, seperti Occupy Wall Street di tahun 2011. Juga demonstrasi di Seattle pada tahun 1999, kemudian demonstrasi mahasiswa Chile yang baru saja terjadi. Paham anarkisme malah mendorong hidup secara otonom dan saling toleran antara satu orang dengan lainnya. (rez)

Sebelumnya tayang di The Surabaya Review of Books