Judul Buku: Sneevliet
Penulis: Kalam Jauhari
Penerbit: Octopus
Tebal Buku: xiv+300 Halaman
Tahun Terbit: 2018
ISBN: -
Bagi mereka yang berkisah, bercerita, meneliti, mendalami, membahas, mengulas, menelisik, mengkaji, maupun menuliskan kajian mengenai komunisme di Indonesia rasanya tidak pantas jika tidak menyebutkan nama Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet (H.J.F.M. Sneevliet) yang kerap disebut Henk Sneevliet atau Sneevliet. Ia merupakan “sesepuh” pergerakan pemikiran sosialis-radikal, marxisme, dan komunisme di Indonesia, bahkan ketika masih disebut Hindia-Belanda. Banyak didikannya menjadi pemimpin awal dari Partai Komunis Indonesia.
Henk Sneevliet ketika menjadi sekretaris pada Semarangsche Handelvereeniging, 1917. Foto: dok. IISG via Historia.id
Di bawah bimbingannya, Vereniging voor Spoor en-Tramwegpersoneel (VSTP) juga berkembang. Ia pula yang menginisiasi munculnya Indische Social-Demokratische Vereeniging (ISDV) yang menjadi cikal-bakal PKI. Dengan begitu banyaknya “prestasi” organisasinya, terasa aneh baru 2018 muncul buku mengenai dirinya. Hal ini tak lain karena phobia bangsa Indonesia terhadap komunisme/marxisme-leninisme. Buku ini, bagi saya, adalah biografi politik Sneevliet pertama yang patut dibaca untuk mereka yang belajar tentang kelahiran dan perkembangan kiri di Indonesia.
Komunisme yang menjadi momok pemerintah Orde Baru di bawah Soeharto dibawa ke Indonesia bukan oleh orang Indonesia sendiri, melainkan orang Belanda yang namanya sudah tertera dalam judul buku ini. Nampaknya kemiskinan sudah menjadi pembuka yang tepat terkait kehidupan awal Sneevliet sebelum menjadi sosialis-radikal hingga menjadi komunis. Ia bukanlah anak keluarga kaya seperti Ulrike Meinhof, namun lahir dari keluarga miskin di Belanda. Dia juga hanya menamatkan pendidikannya pada tingkat sekolah menengah negeri (HBS) dengan beasiswa yang diselesaikannya pada tahun 1900.
Pekerjaannya pun bukan diawali sebagai politisi atau pebisnis, melainkan pekerja di perusahaan kereta api Belanda di Zutphen. Di sanalah Sneevliet berkenalan dengan Perhimpunan Buruh Kereta Api dan Tram Belanda (NV) sekaligus Partai Pekerja Sosial Demokrat (SDAP). Inilah awal mula karir politiknya. Penulis menggambarkan Sneevliet sebagai seorang yang memiliki kehandalan dalam bidang agitasi dan propaganda, dalam berorasi dan menulis di media massa (yang pada saat itu didominasi oleh koran/surat kabar). Meskipun SDAP adalah partai sosialis demokrat yang berhaluan evolusioner (perubahan secara berkala dan bertahap), namun Sneevliet terbukti menjadi orang yang revolusioner dan menjadi pihak radikal dalam SDAP.
Henk Sneevliet (tiga dari kanan). Foto: via Histomil.com
Nampaknya Belanda tidak begitu membuat tertarik Sneevliet sehingga ia memutuskan untuk berangkat ke Hindia-Belanda dan sampai di tanah yang saat itu sedang dirundung eksploitasi pada 23 Maret 1913. Mungkin Sneevliet merasa bahwa perjuangan dan pemikirannya akan lebih bisa berkembang dan diterima di Hindia-Belanda, di mana eksploitasi telah dilakukan sehari-hari layaknya kebiasaan/tradisi. Ia pun memiliki koneksi yang luas sehingga ketika sampai di Indonesia, ia mendapatkan pekerjaan dengan cepat, lalu membangun sel-sel radikal-revolusioner dari sosialisme.
Kenapa istilah komunisme belum tampak dominan dalam awal buku ini? Dikarenakan 1913-1916 ialah posisi dimana Russia masih berbentuk kerajaan dan Uni Soviet masih belum ada. Masih belum terlaksana Revolusi Oktober 1917, sehingga istilah yang dipakai adalah sosialisme, bukan komunisme. Sneevliet pun mengembangkan sosialisme, belum menggunakan istilah komunisme pada awal kedatangannya di Indonesia.
Di Indonesia pun, Sneevliet juga bergumul dengan kelompok sosialis, meskipun ada yang berhaluan evolusioner seperti SDAP di Belanda. Namun perbedaan strategi evolusi maupun revolusi tidak menghalangi Sneevliet untuk membentuk kelompok yang bernama ISDV, perkumpulan sosial-demokrat yang menjadi asal-muasal PKI. ISDV sendiri diisi pula oleh sosialis evolusioner yang mayoritas berada di Batavia (Jakarta).
Awalnya ISDV mayoritas berisikan orang-orang Eropa di Indonesia, ada Sneevliet dan Baars dari golongan revolusioner, Westerveld dan Schotman mewakili kelompok evolusioner. Adanya dua kubu dalam ISDV ini membuat perkumpulan ini tidak bisa solid sekali, bahkan terkadang ada cekcok antara satu kubu dengan lainnya. Pada akhirnya kedua kelompok ini pecah, para pengikut sosialisme evolusioner membentuk SDAP Cabang Hindia-Belanda dan ISDV sepenuhnya dipegang oleh kubu Sneevliet.
Henk Sneevliet (tengah). Foto: via Historia.id
Perpecahan ini menguntungkan Sneevliet yang segera memegang kendali dan mengisi pos-pos yang ditinggalkan Westerveld dan kawan-kawannya dengan pribumi. ISDV juga sempat memiliki hubungan yang baik dan berkolaborasi dengan Sarekat Islam maupun Insulinde. Namun untuk bagian SI, ISDV lebih seperti melakukan penyusupan dan penyebaran pemikiran kiri dalam SI, terutama cabang Semarang di bawah kendali Semaun. Pertarungan pun dimulai dalam tubuh SI sehingga memunculkan SI-Merah dan SI-Putih, lalu disiplin organisasi dilaksanakan (tidak boleh ada keanggotaan ganda) sehingga seluruh anggota SI yang juga tergabung dalam ISDV (kelak PKI) terpental. Dari SI lah Sneevliet mendapatkan basis massa pribuminya.
Perkara dengan Insulinde, Sneevliet dan Douwes Dekker memiliki kesamaan untuk melepaskan Indonesia dari cengkraman Belanda tapi keduanya memiliki ideologi yang berbeda, di satu sisi Sneevliet adalah sosialis radikal, di sisi lain, Douwes Dekker adalah nasionalis yang tidak kalah radikal. Pada momen tertentu Insulinde (yang diisi oleh bekas anggota Indische Partij yang bubar) bersama-sama dengan ISDV menentang pemerintah kolonial, seperti dalam kasus Indie Weerbaar (semacam milisi pribumi Indonesia) yang dianggap akan digunakan untuk kepentingan kapitalis dan pemerintah kolonial saja. ISDV menganggap bahwa Indie Weerbaar adalah buruh yang berseragam, tidak lebih dan tidak akan menjadi sebuah angkatan perang untuk Indonesia.
Ada suatu kisah menarik antara Sneevliet dengan pemerintah kolonial yang sebetulnya juga menjadi pelajaran sejarah bagi pemerintah sekarang maupun masyarakatnya. Hal ini diawali dengan jatuhnya kekaisaran Rusia pada Maret 1917. Sneevliet dengan segera menuliskan artikel berjudul Zegepraal (Kemenangan) dalam surat kabar De Indier. Artikel ini bernada kritis terhadap pemerintah dan dianggap mencelanya sehingga Sneevliet disidang karena tulisan tersebut. Ia dipermasalahkan atas dasar hasutan kebencian terhadap pemerintah kolonial. Namun, Sneevliet kembali bertanya mengenai batasan dalam menghina pemerintah yang dijawab oleh hakim bahwa seseorang harus tau sejauh mana ia dapat mencela pemerintah. Selanjutnya Sneevliet berujar bahwa apa yang disampaikan hakim bukanlah keadilan. Dari sini kita bisa mempelajari bahwa permasalahan peraturan perundangan berkaitan dengan penghinaan terhadap otoritas selalu multi-tafsir dan bisa menjadi peraturan untuk menghantam musuh pemerintah (bersifat politis). Hal ini nampaknya diulangi kembali dalam pemerintahan sekarang namun dengan kadar yang lebih dikurangi.
Henk Sneevliet di Indonesia dengan ISDV. Foto: via Histomil.com
Selain dengan kalangan pergerakan Indonesia, Sneevliet juga membangun koneksi, meskipun lemah, dengan Angkatan Laut Belanda di Indonesia saat itu. Angkatan Laut Belanda terkenal dengan pandangan tentaranya yang dekat dengan sosialisme, bahkan tidak jarang mereka melakukan pemogokan yang kerap mengganggu atasan mereka dalam hirarki ketentaraan.
Unsur tentara memang penting dalam kelompok sosialis-radikal maupun komunis guna membangun tentara merah yang dekat dengan masyarakat. Tentara merah lah yang akan menjadi cikal-bakal tentara nasional apabila revolusi kelompok kiri berhasil di sebuah negara. Menghasut masyarakat sipil adalah satu urusan penting yang tidak genting, akan tetapi menghasut tentara sangatlah berbahaya bagi pemerintah kolonial. Inilah yang menjadi alasan usaha pengeluaran Sneevliet dari Indonesia pada saat itu. Perjuangan politik beliau berhenti pada tahun 1918. Meskipun ia hengkang dari Indonesia pada 1918, namun Sneevliet masih berjuang dalam politik di Tiongkok dan menjadi bagian Komintern (Komunis Internasional) sampai kematiannya di tangan Nazi Jerman pada tahun 1942. (rez)