Judul Buku: Culture and Politics in Indonesia
Penyunting: Claire Holt
Penulis: James Siegel, Lionel Landry, Benedict R. O’G. Anderson, Sartono Kartodirdjo, R. William Liddle, Taufik Abdullah, Daniel S. Lev, Clifford Geertz
Penerbit: Cornell University Press
Tebal Buku: xiv+348 Halaman
Tahun Terbit: 1972
ISBN: 08140665X
Buku ini berisi beberapa artikel yang ditulis oleh para sarjana ahli di bidang sosial kebudayaan baik dari dalam maupun luar negeri. Diterbitkan oleh salah satu penerbit yang punya kepedulian terhadap sejarah Indonesia, sebuah penerbit universitas di Amerika yang punya program penelitian mengenai Indonesia berjudul Cornell Modern Indonesia Project. Nama-nama dalam buku ini adalah nama terkenal yang tulisannya sudah terbukti membuka khazanah baru nan menarik mengenai negeri khatulistiwa ini. Resensi ini mengungkap salah satu bagian yang ditulis oleh Benedict Anderson yang berjudul The Idea of Power in Javanese Culture.
Konsep Politik dan Kekuasaan di Jawa
Diawali dengan kajian mengenai konsepsi politik Jawa yang berlawanan dengan konsepsi politik modern di Barat. Kajian ini ditulis oleh Ben Anderson, ia menyuguhkan isi dari tradisi politik Jawa ini: Pertama, kekuasaan itu nyata atau konkrit, kekuasaan berada terpisah secara independen dari penggunanya, ia bukanlah dalil teoritis melainkan kenyataan eksistensial, kekuasaan yang tidak terlihat, misterius dan berbentuk energi keilahian yang membentuk semesta, kekuasaan itu termanifestasikan dalam semua bagian dari semesta seperti proses generasi dan regenerasi, semuanya dikelola oleh kekuasaan yang tak kasat mata.
Kedua, kekuasaan itu homogen, yang mana kekuasaan di tangan seseorang sama dengan kekuasaan di tangan orang lainnya. Ketiga, kuantum kekuasaan di alam semesta ialah berkelanjutan atau konstan, ia ada dan bukan merupakan produk dari organisasi atau individu, mendahului semuanya dan membuat semuanya yang ada, kuantitas totalnya tetap, meski distribusinya bisa berbeda. Keempat, kekuasaan tidak memunculkan pertanyaan mengenai legitimasi, kekuasaan bukanlah masalah legitimasi, kekuasaan adalah kekuasaan.
Dalam tradisi ortodoks, pencarian atas kekuasaan dilakukan melalui praktik ala yoga dan asketis ekstrim, biasanya dikenal dengan istilah bertapa atau semedi. Semuanya dirancang untuk mengkonsentrasikan dan memfokuskan esensi primordial. Salah satu kisahnya adalah para empu pembuat keris yang mampu membuat senjata dengan mengkonsentrasikan panas dalam tubuhnya ke bagian jempol tangannya. Konsep mengenai konsentrasi yang mendasari praktik asketisme berkaitan erat dengan gagasan mengenai kemurnian, sedangkan gagasan ketidakmurnian berkaitan dengan difusi (penyebaran) atau disintegrasi.
Para penguasa di Jawa adalah mereka yang mampu mengkonsentrasikan dirinya sehingga membawanya kepada kemurnian individu. Bahkan dalam tradisi Jawa, seorang penguasa harus mengkonsentrasikan di sekitar dirinya segala objek atau orang yang memiliki atau memuat kekuasaan yang tidak umum. Mereka punya pusaka, keris, tombak, instrumen musik sakral dan lain sebagainya, juga berbagai jenis manusia yang aneh seperti albino, badut, peramal, dan orang kontet. Mereka yang ada di istana akan diserap kekuasaannya oleh sang penguasa.
Tradisi pemikiran politik orang Jawa menekankan konsentrasi sebagai pertanda dari kekuasaan, bukan penggunaan dari kekuasaan tersebut. Pertanda paling jelas dari kekuasaan seseorang adalah kemampuannya untuk berkonsentrasi: untuk memfokuskan kekuasaan personalnya, untuk menyerap kekuasaan dari luar, dan untuk mengkonsentrasikan di dalam dirinya pertentangan dari yang berlawanan.
Salah satu gambaran umum yang berkaitan dengan tipe penyerapan ini terhadap konsentrasi dari yang berlawanan, adalah pertarungan antara pahlawan dan musuhnya, di mana musuhnya yang kalah dan mati masuk ke dalam tubuh sang pahlawan, menambah kekuatannya. Seorang yang berkuasa ialah maskulin sekaligus feminim, berisi kedua elemen yang saling berkonflik tersebut dan menjaganya dalam keseimbangan. Jika kemampuan untuk menyerap kekuatan musuhnya adalah klaim yang penting dalam memiliki kekuasaan, maka pertanda publiknya adalah “mendapatkan wahyu, andaru, atau pulung.”
Pertanda sosial dari konsentrasi kekuasaan adalah kesuburan, kesejahteraan, kestabilan, dan kedigdayaan. Kesuburan ini berkaitan dengan hal-hal seksual, melemahnya aktivitas seksual dapat dilihat sebagai berkurangnya kekuasaan. Kekuasaan adalah kemampuan untuk memberi hidup. Menariknya, tradisi politik Jawa juga mengenal keberadaan mesias, tapi bukan sebagai pertanda akhir zaman. Mesias akan selalu muncul pada zamannya sendiri-sendiri.
Seorang penguasa dalam tradisi Jawa memiliki dua cara dalam naik ke tampuk kekuasaan: jikalau ia adalah pemimpin pertama dari sebuah dinasti, ia muncul sebagai orang yang dipercaya mendapatkan wahyu, sedangkan mereka yang melanjutkan sebuah dinasti selalu didasarkan klaim keturunan atau kepemilikan pusaka dan sejenisnya yang berkaitan dengan penguasa sebuah negara. Satu hal yang tidak berbeda cukup jauh dengan politik manapun adalah basis kewilayahan dalam politik, karena itu, musuh utama dari seorang penguasa adalah penguasa negara tetangganya kekuasaan semakin melemah ketika posisinya semakin jauh dari pusat.
Untuk menjaga kekuasaan agar tidak ditarik oleh musuhnya maka harus menyerap kekuasaan dari tetangganya. Penyerapan di sini dilihat sebagai penerimaan dari negara tetangga terhadap kekuasaan dari seorang penguasa. Kekuasaan dari penguasa diukur dari jumlah populasi yang dikuasainya, begitu pula petugas bawahannya akan memiliki jenis kekuasaan yang didasarkan pada hal yang sama.
Kualitas Kepribadian Penguasa di Jawa
Kualitas yang biasanya ditekankan oleh para priyayi yang membedakan diri mereka dari orang biasa adalah halus. Kehalusan dari jiwa berarti dapat mengendalikan diri, kehalusan dari tampilan adalah kecantikan dan keeleganan, kehalusan dari perilaku berarti kesopanan dan kesantunan. Biasanya kualitas ini dikaitkan dengan istilah satria. Kehalusan sendiri adalah pertanda kekuasaan, karena kehalusan hanya dapat dicapai melalui konsentrasi energi. Sehingga lawan dari seorang satria adalah pamrih yang mana melakukan sesuatu karena ada keinginan dari pribadinya, kekuasaan dikaitkan dengan peribahasa Jawa: sepi ing pamrih, rame ing gawe.
Adapun yang dikenal sebagai perintah halus yang berarti memberikan perintah dengan cara yang sopan dan tidak langsung yang terkadang terdengar seperti permintaan, tapi baik pemberi perintah dan penerimanya tahu bahwa itu perintah bukan permintaan. Orang dengan kekuasaan yang sebenarnya tidak perlu menggunakan intonasi tinggi untuk mengeluarkan perintah, kehalusan dari perintah adalah ungkapan eksternal dari kewenangannya.
Kehalusan adalah manifestasi dari kekuasaan, ia bisa didapat melalui jalur asketisme tradisional dan kedisiplinan spiritual. Namun kedisiplinan spiritual ini tidak dapat dicapai dengan cara yang buruk, mencapainya hanya dimungkinkan melalui pendidikan dalam bentuk tertentu dari pengetahuan. Pengetahuan menjadi kunci dari kekuasaan. Dalam periode penting dalam kehidupan seorang satria adalah periode dimana ia mengasingkan diri dan berada dibawah pengajaran dari seorang pertapa yang ia menjalani jalur untuk mendapatkan pengetahuan esoterik.
Melek huruf dari kelas penguasa menjadi simbol kekuasaan karena kemampuan untuk melakukan lompatan kualitatif dari kondisi buta huruf. Kekuasaan mereka tidak didapatkan melalui pembentukan konsep baru melalui masyarakat (penemuan ilmu atau istilah-istilah pengetahuan baru layaknya cendekiawan atau sarjana masa kini), tapi melalui kemampuan untuk menembus dan menjaga pengetahuan lama dan rahasia.
Kekayaan seharusnya mengalir kepada pemilik kekuasaan, sebagai konsekuensi dari kekuasaan. Sama seperti pusaka, populasi negara tetangga dan lainnya tertarik kepada pusat dari kekuasaan. Kekayaan yang amat sangat yang dimiliki oleh penguasa hebat di Jawa adalah atribut dari kekuasaan, bukan cara untuk mendapatkan kekuasaan. Maka dalam tradisi politik Jawa, kekayaan mengikuti kekuasaan, bukan sebaliknya.
Dari penjelasan kekuasaan di atas bukan berarti penguasa tidak memiliki kewajiban, kesejahteraan masyarakat bergantung pada kemampuan mengkonsentrasikan kekuasaan dari penguasanya, pertanda eksternal dari penurunan kekuasaan adalah pembusukan dan gangguan yang ada dalam masyarakat. Kesejahteraan dari masyarakat tidak bergantung pada aktivitas komponen individunya tapi kepada energi yang terkonsentrasi dalam pusatnya. Kewajiban mendasar pusat adalah kepada dirinya. Jika kewajiban itu terpenuhi maka kesejahteraan masyarakat akan pasti ada. Penguasa harus berperilaku dengan baik atau kekuasaannya akan berkurang dan menghilang dan bersamanya turut hilang tatanan dan kehalusan dalam sistem sosial.
Peranan Kritik dalam Kekuasaan di Jawa
Meskipun kekuasaan memiliki kebijaksanaan dalam tradisi politik Jawa, namun tetap ada individu yang memiliki peran sebagai kritikus kekuasaan, atau lebih halusnya “pengingat” dari yang berkuasa. Kelompok ini diwakili oleh resi, begawan atau adjar (dalam tradisi Islam Jawa diganti menjadi Kyai) yang biasanya berada di wilayah terasing jauh dari masyarakat. Keterasingan fisik mereka menandakan pemisahan dari saling ketergantungan terhadap kehidupan di masyarakat, mereka swadaya dan berada di luar tatanan politik. Mereka menarik diri dari masyarakat untuk mencari kewaskitaan, mempelajari rahasia semesta dan mempersiapkan diri untuk kematian. Peran umum dari seorang “intelektual” semacam ini adalah untuk mendiagnosis kebusukan dalam sebuah negara dan memperingatkan kejatuhan dari sebuah dinasti.
Saat mereka memperingatkan seorang penguasa, reaksi umumnya adalah kekerasan yang mereka dapatkan dari penguasa: dipukuli, disiksa bahkan dibunuh. Tapi kekerasan yang dilakukan ialah pertanda bahwa ramalan si “intelektual” sedang berjalan dan akan terjadi. Kekerasan yang dilakukan seorang penguasa terhadapnya menunjukkan bahwa sang penguasa dipenuhi dengan keinginan pribadi, sedangkan, karena si “intelektual” sudah terpisah dari masyarakat, tidak bisa dipertanyakan lagi bahwa tujuannya ialah tanpa pamrih. Dengan melakukan kekerasan terhadap para kritikusnya, rezim justru membenarkan kritik yang ditujukan padanya dan memperkuat otoritas dari prediksi yang dilakukan oleh kritikusnya.
Kritik terhadap Artikel Benedict Anderson Ini
Konsepsi politik dan kekuasaan dalam tradisi Jawa ini memang sangat menarik dan menantang konsepsi umum dari konsep politik dan kekuasaan dari tradisi intelektual Barat pada umumnya. Kajian Benedict Anderson ini memang hanya berfokus pada Jawa dan tidak bisa menjadi sebuah pegangan umum dalam melihat konstelasi politik Indonesia di wilayah lainnya secara keseluruhan, namun cukup menggambarkan kekuasaan “pusat” Indonesia karena Jawa sebagai pusat dari kekuasaan dan politik di Indonesia, dua presiden pertama Indonesia pun menggunakan gaya kekuasaan dan politik Jawa dalam kepemimpinan mereka yang berhasil membuat mereka berkuasa dalam jangka waktu yang lama (Soekarno dan Soeharto) namun juga membawa keduanya jatuh dengan cara yang cukup tidak menyenangkan.
Bagi para pembaca yang sangat mendalami dan sangat tertarik pada konsepsi dan teori politik dan kekuasaan ala Barat, maka artikel ini bisa jadi pembanding terhadap konsepsi dan teori tersebut, karena menggambarkan sesuatu yang sepenuhnya berbeda dengan Barat, namun konsepsi politik Jawa ini dipenuhi mistisisme yang akan ditolak mentah-mentah oleh para pendukung pemikiran politik Barat yang sangat pro terhadap ke-masuk-akal-an. Beberapa di antaranya akan dianggap tidak masuk akal dan kurang lengkap penjelasan yang diberikan oleh Ben Anderson.
Kajian ini sebenarnya akan lebih komprehensif jika ada sarjana, akademisi, pemikir, teoritisi, intelektual, intelegensia, elit modern, kaum terpelajar (dan istilah apapun yang menggambarkan orang pintar) yang melanjutkan studi ini dengan membedah satu per satu konsepsi politik yang ditawarkan Ben dalam artikel ini.
Secara keseluruhan artikel ini hanyalah sebagai suatu pengantar guna memahami cara berpikir orang Jawa mengenai kekuasaan dan politik, bukan membentuk teori dan konsep politik yang terpisah dari Barat, karena masih banyak istilah yang dihubungkan kepada konsepsi dan teori politik Barat. Tapi setidaknya kita harus mengacungi jempol usaha Benedict Anderson dalam memperkenalkan Indonesia di mata pembaca internasional, apalagi artikel ini ditulis dengan bahasa Inggris yang mudah dipahami. (rez)