Judul Buku: On Populist Reason
Penulis: Ernesto Laclau
Penerbit: Verso
Tebal Buku: xii+276 halaman
Tahun Terbit: 2005
Semenjak gerakan 212 pada tahun 2016 lalu, ada satu teori yang gempar dibicarakan dimana-mana, bahkan sering digunakan sebagai bingkai teoritis, yakni populisme. Pakar-pakar ilmu politik semacam profesor Vedi Hadiz menyandingkan teori itu dengan Islam, sehingga tercipta populisme Islam, yang katanya ditunggangi oleh oligarki tertentu. Banyak pro dan kontra terkait pandangan Tuan Vedi, tudingan dilayangkan karena ia sendiri tidak berada ditempat saat aksi 212 terjadi di Jakarta. Namun bukan itu yang penting, tapi populismenya. Orang banyak membahas populisme ini mengacu kepada Om Vedi, kenapa tidak ditelisik langsung dari sumbernya? Simak resensi berikut ini.
Populi jika dipahami secara etimologis berasal dari bahasa latin yang artinya rakyat. Atau terkadang ada yang mengartikannya sebagai populasi. Menurut Laclau sendiri, populism adalah sebuah analisa politik yang memang kerap digunakan untuk mendeskripsikan berbagai pandangan mengenai sebuah gerakan politik. Dalam populisme sudah menolak dikotomi kanan atau kiri, ia merupakan pergerakan lintas kelas. Laclau sendiri mengutip Margaret Canovan untuk menolong dia mendefinisikan populisme sebagai sosialisme dari negara terbelakang yang menghadapi permasalahan modernisasi. Populisme sendiri memproklamirkan bahwa keinginan dari masyarakat berada diatas dari keinginan apapun. Dua fitur utama dari populisme Canovan ialah sebuah seruan terhadap masyarakat dan anti-elitisme.
Laclau juga meminjam pemaknaan Kenneth Minnogue mengenai populisme baik sebagai retorika yang acapkali diplagiat untuk jargon sebuah pergerakan dan juga ideologi. Ciri khas populisme adalah hilangnya pergerakan tersebut pasca kondisi telah berubah. Namun hal diatas apabila populisme terjadi di negara-negara semacam AS, adapun populisme di negara berkembang adalah sebuah bentuk gerakan yang hanya dapat ditemukan di daerah terpinggirkan dari sebuah sistem industrial. Populisme juga dapat dimaknai sebagai tindakan performatif yang memiliki rasionalitasnya tersendiri.
Dalam memaknai populisme, bagi Laclau dibutuhkan juga pemahaman mengenai psikologi massa, maka di buku ini terkadang mengacu kepada Gustave Le Bon jika bicara relasi antara populisme dengan psikologi. Situasi dari gerakan populis pun sifatnya ambigu dan berada pada batas-batas kelembagaan (mereka terkadang berada diluar kelembagaan yang akan dilawan), melawan sebuah sistem tapi memiliki agen didalam sistem yang ditolak, maka perlawanan berasal dari luar sistem dan berusaha dengan sekuat tenaga untuk memenuhi keinginan mereka melalui pergerakan massa tersebut. Populisme dapat menjadi pondasi subversif melawan sebuah rezim dan juga pondasi untuk membangun tatanan yang baru disaat pondasi rezim lama sudah mulai goyah. Populisme sendiri merupakan sebuah sistem struktural yang dibuat oleh penggagas gerakan itu sendiri dan memiliki kebiasaan untuk melawan sebuah lembaga, meskipun ada agen mereka didalam lembaga terkait. Dari populisme kita belajar memahami bedanya melawan dan menolak.
Acapkali populisme berhadapan dengan oligarki karena sikap populisme yang menolak elitisme. Banyak gerakan yang terjadi di seluruh belahan dunia dalam bentuk demonstrasi dan sejenisnya merupakan gerakan populisme yang sadar maupun tidak sadar. Adapun dalam populisme pastinya dibutuhkan kemampuan beretorika yang kuat, jika tidak, maka gerakan yang dibuat akan cepat hancur sebelum permintaan yang diajukan dikabulkan, seperti BEM SI. Merancang populisme, jika tidak memiliki landasan yang kuat tidak akan bertahan lama, memang pada beberapa titik, populisme sebenarnya jalur kekuatan masyarakat, yang didalamnya dapat berisi kan kekuatan ideologi lainnya. Jika kita melihat populisme yang ada di 212, yang menjadi pondasi kuat dalam gerakan ini adalah agama yang menjadi pemersatu mereka, sehingga gerakan 212 tidak hanya menjadi “populisme” belaka, namun dapat menjadi pressure group bagi pemerintah. Namun populisme digambarkan oleh Laclau, pada satu kaki berada dalam sistem, kakinya yang lain berada diluar sistem.
Guna memahami populisme, maka kita harus dapat melihat contohnya di dekat kita. 212 telah menjadi contoh yang konkrit dalam populisme di Indonesia, Islam adalah muatan lain, namun yang utama adalah populismenya. Mengenai tudingan keberadaan beberapa oligarki yang ada dalam gerakan populisme Islam, itu hanyalah mitos yang ditujukan kepada gerakan 212, bagaimana gerakan anti-elitisme malah merawat oligarki didalamnya. Tudingan semacam itu hanyalah sebuah kebetulan saja dan bersifat interpretatif, maklum, terkadang beberapa orang melihat dunia ini dengan cara yang terlalu rumit, padahal sebenarnya sangatlah sederhana. Penulis tidak mendukung gerakan 212, hanya mencoba untuk melihat dengan lebih obyektif melalui pandangan asli populisme, tidak melalui kacamata orang lain. (rez)