Judul Buku: Kultur, Multikultur, Postkultur
Penulis: Joel S. Kahn
Penerbit: Institute of Nation Development Studies (INDeS)
Tebal Buku: XVII + 267
Tahun Terbit: Oktober 2016
Peresensi: Dian Dwi Jayanto
Sebelumnya perlu dipaparkan, tulisan ini merupakan review (bukan resensi) dari buku yang yang ditulis oleh Joel S. Kahn yang berjudul “Kultur, Multikultur, Postkultural: Keragaman Budaya dan Imperialisme Kapitalisme Global” (2016). Penulis menjadikan review ini menjadi tiga bagian atas dua pertimbangan. Pertama, mengikuti aturan main yang telah ditetapkan oleh pihak redaksi Kedai Resensi Surabaya.
Kedua, semakin panjang sebuah artikel tulisan di internet menjadikan pembaca segera beralih dan tidak tidak akan selesai terbaca semuanya. Apalagi tulisan ini cukup berat bagi yang tidak terlalu suka membaca terkait wacana-wacana semacam multikultural, pluralisme dan sebagainya yang bukan dalam perbincangan kehidupan keberagamaan, sebagaimana secara sempit dipahami banyak orang di Indonesia.
Ketiga, efek dari tidak selesai membaca karena bosan akan mendatangkan sepenggal pemahaman yang di era media informasi internet cukup berbahaya. Sebagaimana belakangan marak terjadi pemelintiran sebagian informasi di era digital. Sehingga, penulis menyarankan untuk membaca artikel ini secara tuntas, atau tidak sama sekali.
Ok, mari kita mulai berdiskusi.
Di negara dunia ketiga yang kebanyakan merupakan wilayah-wilayah bekas imperialisme, postkolonial menjadi sebuah wacana idola. Sebab, postkolonial dianggap merupakan sebuah paradigma yang mengusung perjuangan emansipatoris, serta sebuah pandangan yang secara telanjang berani menyatakan tantangannya kepada imperialisme Barat beserta dampak-dampak bagi negara bekas jajahan yang tersisa. Selain itu, dia juga dianggap sebuah wacana yang benar-benar keluar atau menunjukkan diri sebagai gagasan berbeda dan mengingkari dominasi diskursus kebudayaan yang disusun berdasarkan pakem kolonial.
Dalam buku Kultur, Multikultur, Postkultural, Joel S. Kahn mencoba mencari jawaban dari pertanyaan kritis terhadap wacana postkolonial, benarkah postkolonial benar-benar terbebas dari muatan kolonial itu sendiri? Bagaimana pun juga, menururt Kahn, embrio dari pandangan postkolonial lahir dari rahim para tokoh-tokoh negara dunia pertama dan bukan dari daerah negara-negara yang dijajah, sebut saja Edward Said dan Talal Asad.
Meskipun di satu sisi yang ditampilkan oleh kelompok pengusung postkolonial, khususnya yang fokus pada diskursus orientalisme, terkait kritik sangat tajam terhadap universalisme, obyektivisme dan seterusnya, bisakah benar-benar kelompok tersebut benar-benar bukan merupakan bagian dari imperalisme baru juga?
Lebih jauh dari sekedar menginvestigasi gagasan postkolonial, Joel lebih-lebih mempertanyakan dan menganalisis secara kritis pluralisme dan multikulturalisme dalam cakupan pemahaman budaya yang lebih luas. Pada dasaranya, baik pluralisme maupun multikulturalisme adalah refleksi atas kesadaran dan pengakuan terhadap keberagaman budaya.
Namun perlu dicatat, pluralisme maupun multikulturalisme yang bergerak hingga tahapan ektrem, dengan asumsi setiap kebudayaan yang berbeda tidak bisa disatukan atau diharmoniskan, maka tidak terelakkan akan muncul rasisme. Rasisme dalam pengertian ini merujuk pada kondisi individu atau kelompok yang meneguhkan kebudayaan atau identititasnya sendiri dan tidak mengakui yang lain secara ekstrem dan vulgar. Fenomena seperti bagaimana congkaknya Hitler menjadi potret jelas bagaimana rasisme dengan meneguhkan identitas ras tertentu secara ekstrem yang akhirnya membedakan secara kejam rasnya dengan rasa tau kebudayaan lain.
Lantas, apa makna kebudayaan itu sendiri? Dalam mendefiniskan makna kebudayaan, Joel S. Kahn lebih memaknai kebudayaan dalam konteks antropologis, yaitu menunjuk pada “sistem tanda, makna dan pandangan dunia dari kelompok-kelompok masyarakat tertentu”. Pandangan antropologis tersebut mendasarkan diri pada pemahaman bahwa kebudayaan adalah perbincangan tentang mozaik, perbedaan kultural, ancaman terhadap kearifan lokal, subkultur dan multikulturalisme, etnisitas dan seterusnya. Intinya, kebudayaan dipahami sebagai kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki perbedaan dalam hal tanda, makna dan pandangan hidup yang tidak sama antar berbagai kebudayaan yang ada.
Selain itu, rasa keterasingan kita terhadap sebuah kebudayaan sering terjadi karena miskinnya literatur-literatur antropologis terhadap kebudayaan tertentu sehingga membuat kebudayaan yang asing itu selamanya kita anggap diliputi dengan misteri. Mengenai hal ini, peristiwa konfrontasi antara tentara pemerintah dengan pemberontak di wilayah Meksiko Selatan, tepatnya di Chiapas yang dimuat dalam banyak koran berbahasa Inggris pada tahun 1994 bisa menjadi contoh yang baik. Kesan samar dan negatif publik akibat dari pemberitaan media tentang sebenarnya siapa masyarakat Chiapas menjadikan seakan-akan masyarakat itu terdengar asing dan penuh misteri .Hal ini lah yang menjadi penting bagi ilmuwan Antropologi untuk rajin melakukan kerja lapangan mengenali dan menyajikan kepada dunia berbagai kebudayaan yang berbeda di belahan dunia.
Pemaknaan kebudayaan secara antropologis yang sudah dijelaskan sebelumnya kemudian mulai tergerus di era 1980-an, yang disebut sebagai sebuah gelombang kulturalisasi. Makna dari gelombang kulturalisasi diantaranya adalah memperlakukan berbagai kebudayaan di dunia dan meneguhkan sebuah identitas tunggal terhadap dunia. Kulturalisasi disini bukan berarti sebuah dunia kebudayaan atau peradaban dunia baru yang diterima secara luas atau bahasa baru yang dibagikan atau diberlakukan bagi seluruh dunia.
Akhirnya, pendefinisian kebudayaan klasik antropologis kurang bisa menjawab fenomena-fenomena yang muncul kemudian. Dalam membaca gejala-gejala kebudayaan dunia hari ini, analisis yang digunakan salah satunya bisa menggunakan studi kebudayaan yang baru, yaitu diskursus tentang globalisasi. Sebagaimana tokoh-tokoh seperti Roland Robertson dan Appadurai yang telah menunjukkan ide-ide seperti bangsa, etnik, kultur pribumi yang merupakan mozaik yang bersifat kontemporer hasil dari refleksi dan pemikiran sebelum lahirnya kebudayaan global. Mereka akhirnya ditata dalam sebuah sistem negara global yang kemudian memunculkan, meminjam istilah Appadurai, “formasi sosial postnasional”.
Hal ini sangatlah kontras dengan apa yang terjadi di negara-negara non dunia pertama pada masa-masa perang dunia pertama dan kedua. Setiap kekuasaan yang berada dalam setiap kubu membudayakan kulturnya sendiri-sendiri. Mereka masing-masing giat untuk melakukan penemuan kultural, dan jalan pembangunan alternatif, sembari menolak modernisasi di awal abad 20 yang digembor-gemborkan dunia pertama, baik dari kelompok Marxis nasionalis maupun yang populis. Sehingga, hal-hal tersebut hanyalah menjadi catatan dan situs sejarah sampai pada akhirnya semuanya terkena imbas kulturalisasi dengan berbagai cara, yang intinya sama-sama untuk melakukan konstruksi dunia yang tunggal. Mungkin hal ini juga tidak terlepas dari keruntuhan Uni Soviet dan sekutu-sekutunya sembari menegakkan kemangan mutlak bagi Amerika dan sekutunya yang akhirnya menguasai kulturalisasi dunia tersebut.
Berbicara tentang globalisasi dan kulturalisasi wajah baru yang menghadirkan kebudayaan dalam ranah tunggal, tidak bias dipisahkan dari diskursus teori postkolonial. Postkolonial sendiri merupakan bagian dari postmodern, sebuah kelompok yang melakukan serangan terhadap kebiasaan dan ketidaktentuan serta berbedanya realitas modernitas dibanding dengan janji dan slogan-slogan modernitas itu sendiri. Tokoh-tokoh postkolonial seperti Edward Said dan Talal Asad menjadi kritikus terbesar yang mencoba membedah persoalan antara diskursus perbedaan dan kekuasaan, lebih tepatnya sistem kekuasaan yang dianggap imperialistik. (ddj)