Judul Buku: The New Authoritarianism: Trump, Populism, and the Tyranny of Experts
Penulis: Salvatore Babones
Penerbit: Polity
Tahun Terbit: 2018
Tebal Buku: xiv + 115 halaman
ISBN: 978-1-509 53309-1
Apa yang terlintas di benak pembaca ketika mendengar istilah ‘tiran’? Apakah presiden yang diktator, bertangan besi? Ataukah pemerintahan yang didirikan hasil dari kudeta militer? Atau tidak di antara keduanya? Dalam sistem demokrasi, mungkin kah seorang tiran muncul? Apabila membaca dari penuturan Salvatore Babones di buku ini, mungkin saja. Tiran tersebut, ujar Babones, wujudnya ialah pakar-pakar yang membantu birokrat memformulasikan kebijakan, menentukan definisi yang bermuatan politis dari istilah-istilah tertentu, dan memberi penilaian baik-buruknya tata kelola pemerintahan. Para pakar ini, membantu membangun indikator-indikator tata kelola pemerintahan yang demokratis. Dan ternyata, naiknya Trump ke tampuk kekuasaan, meminggirkan posisi para pakar yang telah lama menyamankan diri bersama birokrat.
Definisi populer demokrasi dari Abraham Lincoln: pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat; pada intinya adalah perpaduan (dan ketegangan) antara konservatisme, liberalisme, dan progresivisme. Ketiganya berkontribusi terhadap kesehatan dan kebaikan demokrasi. Pemerintahan dari rakyat, dari keseluruhan rakyat dalam satu bangsa, berada tepat di jantung konservatisme. Pemerintahan oleh rakyat, memastikan bahwa setiap orang memiliki peran/bagiannya dalam demokrasi, ada pada jantungnya liberalisme. Sementara pemerintahan untuk rakyat, yang membawa kebermanfaatan bagi mayoritas rakyatnya, adalah jantungnya progresivisme.
Titik penting dimana Babones menjelaskan definisinya tentang apa itu Otoritarianisme Baru (The New Authoritarianism), dimulai dengan perkembangan “hak dan kebebasan individu” dalam gagasan liberalisme. Bergeser pada siapa yang kemudian bisa mendefinisikan mana yang jadi “hak” dan mana kewajiban, mana larangan, dan lain sebagainya. Pada akhirnya, bagaimana pendefinisian itu jatuh pada tangan pakar. Apa saja yang termasuk hak, apa saja tindakan melanggar hak, bagaimana sebaiknya mengadili pelanggar hak? Tanya ahlinya.
Para pakar lah yang menentukan dan membuat kebijakan yang cocok bagi warga negara. Mereka adalah orang-orang berpendidikan, punya status sosial yang bagus, dan retorika yang bagus. Sehingga, bagi Babones, kewenangan untuk mengidentifikasi hak-hak baru pada akhirnya memberikan pemegang kewenangan itu suatu kekuasaan untuk mendefinisikan demokrasi itu sendiri. Kewenangan ini menjadi landasan “otoritarianisme baru” yang melibatkan para pakar di dalamnya. Ketika para pakar menuliskan daftar panjang hak-hak itu, saat itulah kekuasaan pemerintahan untuk rakyat telah lepas dari tangan rakyat, ke tangan pakar.
Dengan percaya diri Babones menyatakan, kalaupun prinsip liberal merasa dirinya terancam, ya itu karena mereka telah begitu sukses. Lihatlah pada politik Amerika, Inggris, atau Uni Eropa. Lagipula, liberalisme berlandaskan gagasan bahwa kebebasan individu ialah kebajikan politik tertinggi. Selama tiga abad ini, liberalisme politik telah berkembang dari filsafat yang melindungi kebebasan menjadi filsafat yang menuntut hak asasi. Tetapi, untuk mendefinisikan dan menyusun hak-hak asasi manusia yang harus dipenuhi dan dilindungi pada akhirnya membutuhkan persetujuan orang banyak. Di antara ilmuwan politik liberal, hal ini diejek sebagai demokrasi “mayoritas”, dengan kata lain, seolah tidak demokratis sama sekali.
Kelompok liberal arus utama berpandangan bahwa penggambaran seperangkat hak asasi manusia yang dibutuhkan untuk memelihara kebebasan individu hanya dapat dilakukan oleh pakar. Yang dimaksud ‘pakar’ itu adalah para profesional terdidik. Orang-orang yang secara absah punya otoritas di bidangnya. Masalahnya, aktivitas politik itu unik. Dengan semakin meluasnya hak yang butuh didefinisikan, semakin banyak pakar yang dibutuhkan dari berbagai bidang keilmuan. Semakin para pakar dibutuhkan untuk turut menyusun kebijakan atau membantu membuat keputusan.
Otoritarianisme gaya baru abad ini tidak lahir dari kelompok nasionalis, konservatif, atau sayap kanan. Otoritarianisme gaya baru abad ini adalah otoritarianisme liberal, yakni tirani pakar.
Disadari atau tidak, domain publik kini sebenarnya penuh dengan gagasan-gagasan liberal—atau bahkan kendali liberal, setidaknya begitulah di Amerika Serikat. Meski di berbagai belahan dunia, bahkan di Amerika Serikat sekalipun, kelompok konservatif nampaknya sedang naik daun tak bisa disangkal bahwa prinsip-prinsip liberalisme telah melebur dalam kehidupan sosial politik. Di sekolah-sekolah, siswa dijejali dengan buku paket dan guru menyusun kurikulum yang pakemnya telah dibuat oleh negara. Dibuat oleh negara melalui rekomendasi pakar atau staf ahlinya tentu saja. Dari segi penelitian kesehatan hingga intelijen, telah banyak yang memohon agar politik jauh-jauh saja dari domain ini. Oke. Mari depolitisasi domain ini. Agar terlihat netral, domain ini jadi lahan basahnya para pakar yang tentu saja lebih mampu melakukan penelitian dan menyediakan rekomendasi kebijakan secara lebih objektif.
Tetapi, setelah kenaikan Trump ke kursi kepresidenan lihat apa yang terjadi. Pendapat pakar dimentahkan begitu saja. Mereka (Trump dan pendukungnya) lalu meminta agar kebijakan publik dikembalikan ke tangan politik demokratis. Lalu, muncullah Bernie Sanders yang lebih diminati karena perlawanan populisnya. Meski populisme tidak punya rekam jejak bagus dalam merealisasikan tuntutannya, tetapi setidaknya seruan populis telah membangkitkan kesadaran politik rakyat AS. “Tiba-tiba saja”, rakyat AS peduli dengan kondisi politik di negaranya dibanding dasawarsa-dasawarsa lalu. Lebih lanjut, Babones berpendapat bahwa populisme mungkin tidak bagus untuk kebijakan, tetapi baik untuk demokrasi.
Sebenarnya, apa saja sih kontribusi liberalisme bagi demokrasi? Menurut Babones, liberalisme tidaklah secara intrinsik buruk untuk demokrasi. Justru, liberalisme telah menjadi kekuatan pendorong yang cukup besar bagi demokrasi. Misalnya, hak pilih universal, hak kerahasiaan surat suara, hak untuk memilih sendiri perwakilannya berasal dari dukungan kelompok liberal. Demokrasi bisa beragam maknanya, tetapi inti dari gagasan demokrasi ialah rakyat dapat mengatur pemerintah, bukan sebaliknya. Hak untuk memilih merupakan hak fundamental dari demokrasi, dan perluasan dari hak itu merupakan salah satu pencapaian terbesar dari penyebaran liberalisme.
Dalam buku ini, Babones berupaya membela gagasan liberalisme, mengkritiknya, sekaligus mengingatkan para akademisi liberal untuk kembali ke khittah liberalismenya. Edukasi politik seringkali mengalami kendala karena stigma warga negara terhadap pemerintah(-an) yang sudah terlanjur dianggap bobrok dan diisi politisi culas. Namun, dengan naiknya Trump, Babones meyakinkan kita untuk melihat sisi positifnya. Rakyat bisa langsung mengamati dan mengalami sendiri “kondisi bahaya” di negaranya. Dengan demikian, edukasi politik berjalan dengan sendirinya. Suara-suara kritik dari rakyat akan muncul pada saluran-saluran tak terduga, terutama media sosial. Melalui meme serta tajuk-tajuk berita. Kalau sudah begini, ada harapan bahwa rakyat bisa memiliki kondisi politik yang lebih baik setelah masa kepresidenan Trump berakhir.
Buku ini menarik dibaca bagi mereka yang mendalami kajian demokrasi, apalagi bagi mereka yang sedang antusias dengan kajian populisme. Bagi pembaca umum, ini juga adalah buku yang cocok untuk dibaca sambil bersantai. Babones menguraikan argumennya dengan gaya yang nyantai namun tetap bernas, tanpa gangguan gaya pengutipan ala akademisi. Boleh dibilang, buku setebal 115 halaman ini adalah buku saku untuk belajar memetik hikmah dari politik AS di bawah Trump, hasil analisis seorang “pakar” demokrasi dari universitas yang sudah terkenal dengan kajian demokrasinya, University of Sydney. (ich)