Judul Buku: Politik Identitas
Penulis: Thomas Meyer
Penerbit: Pemuda Muhammadiyah & Friedrich Ebert Stiftung, Jakarta
Tebal Buku: 94 Halaman
Tahun Terbit: 2004
Peresensi: Dian Dwi Jayanto
Kekhawatiran terhadap menguatnya fenomena fundamentalisme semenjak tahun 1980-an semakin menjadi-jadi. Hal tersebut bisa dilacak dari beberapa fenomena dunia yang terus mengemuka. Diantaranya, kelompok fundamental mendapat pendukung besar parlemen untuk berkuasa di Mesir maupun Algeria; India sebagai negara demokrasi terbesar di dunia memiliki partai Hindu fundamentalis Bharatiya Janata Party (BJP), partai terkuat kedua di parlemen India, kelompok fundamentalis minoritas Islam dan kelompok imigran yang didirikan dalam kebudayaan negara yang cenderung mayoritas beragama Islam terus tumbuh, sebagaimana HTI di Indonesia. Fenomena fundamentalisme bukan hanya menampakkan buktin kembalinya agama dalam kehidupan politik, tapi bagaimana kehidupan politik hendak dikendalikan berdasarkan kepercayaan agama versi mereka sendiri, serta menyingkirkan tafsir lain.
Berkaitan dengan diskursus di atas, secara garis besar tulisan Thomas Meyer menaruh perhatian utama terhadap fenomena muncul dan menguatnya kembali berbagai bentuk gerakan religi dan etnisitas fundamental sebagai sebuah wujud gerakan politik. Meskipun diakui oleh Meyer bahwa gerakan fundamental mendapatkan tantangan di berbagai kebudayaan di dunia, namun sebuah penelitian empiris menunjukkan dalam kondisi sosial ekonomi yang terpuruk, setiap kebudayaan bisa menjelma menjadi kebudayaan fundamental.
Lantas, apa pengertian fundamental itu sendiri?
Istilah fundamental pertama kali digunakan dalam sebuah rangkain publikasi tulisan yang berjudul “The Fundamentals” pada tahun 1910 hingga 1915 di Amerika Serikat. Rangkaian ini juga memegang judul yang terkenal “A Testimony to Truth”. Pada tahun 1919, kaum protestan yang mempublikasikan tulisan-tulisan tersebut mendirikan organisasi sedunia dengan nama “Word Christian Fundamentals Association”. Alhasil, term fundamentalisme lekat dengan keyakinan Kritiani yang berusaha menepatkan diri dalam kepentingan umum dan akademik.
Meskipun bermula dari terminologi dalam dunia kristiani, pada fase selanjutnya fundamentalisme juga merujuk pada kelompok-kelompok atau kebudayaan yang memiliki ciri-ciri khas yang sama. Dalam berbagai bentuk kerangka pikir dan isi ajaran fundamentalisme yang mungkin sangat berbeda, kesamaan yang dapat dilacak adalah karakter “impuls ideal typical”, yaitu sama-sama mengklaim memiliki hak istimewa yang lebih tinggi dibanding berbagai kebudayaan lainnya; merasa benar untuk melakukan tuntutan untuk merealisasikan etika yang berlaku di kebudayaan mereka untuk ditegakkan secara umum dan di dalam kehidupan kebudayaan yang normal.
Pada tataran tertentu, fundamentalisme bisa menjadi semacam “totalitarianisme” meskipun tidak keseluruhan. Artinya, fundemantalisme bukan berarti merefleksikan sebuah kebudayaan tertentu, melainkan lebih menekankan pada sisi “gaya” dari suatu peradaban khusus dengan ciri yang diungkap sebelumnya.
Pemahaman ini kemudian mengantarkan Meyer untuk mengkritik tesis dari Samuel Hutington tentang skenario dunia dalam “Benturan Peradabannya dan Masa Depan Politik Dunia”. Menurut Meyer, Hutington memperlakukan semua budaya yang berbenturan, entah Barat, Timur, India, Tiongkok dan lain-lain seakan-akan masing-masing berdiri sendiri sebagai budaya yang fundamentalisme. Bagi Meyer, pertikaian antar kebudayaan bukan merujuk pada sebuah peradaban tertentu, namun pada gaya sebuah kebudayaan tersebut memperlakukan kebudayaan lain. Sebab, terkadang sebuah kebudayaan yang sangat berbeda namun memiliki kesamaan dalam hal struktur sosial politik, sebagaimana Portugal dan Turki yang secara kebudayaan sangat berbeda tapi memiliki kesamaan terhadap penilaian yang relatif rendah terhadap individualisme, penerimaan tinggi atas ketidakadilan serta penghindaran ketidakpastian.
Akhirnya, Thomas Meyer menjawab fenomena fundamentalisme sebagai tantangan bagi keberlangsungan dunia global yang bersifat inklusif dan terbuka bagi segala kebudayaan. Di belahan dunia manapun, tatanan dunia global membutuhkan nilai-nilai dan norma inti yang dapat dihayati oleh seluruh kebudayaan, meskipun dengan bahasa, simbol dan gambar yang berbeda. Dan fundamentalisme menawarkan keabsolutan budaya yang mengancam bagi keberlangsungan tata kehidupan global.
Pada bagian akhir tulisannya, Meyer mengemukakan empat faktor yang menunjang menguatnya fundamentalisme dalam suatu masyarakat, yaitu: pertama, identitas budaya kelompok masyarakat luas mendapat tantangan yang merupakan hasil dari perubahan mendadak dari norma yang ada, mulai dari status sosial ekonomi, gaya hidup dan seterusnya yang semakin menjerumuskan masyarakat dalam ketidakpastian. Kedua, Terdapat krisis sosial yang dialami masyarakat dalam bentuk penurunan relatif pada status kelompok sosial luas, marginalisasi dan kemunduran mereka.
Ketiga, krisis ekonomi yang mengakibatkan ketidakpastian berkepanjangan, meningkatkan pengangguran dan seterusnya. Keempat, lemahanya kepercayaan pada partai-partai politik yang ada dan kelompok elit dalam mengatasi persoalan yang ada di masyarakat.
Melacak dari faktor-faktor di atas, strategi untuk mengalahkan fundamentalisme tidak cukup hanya dengan memerangi atau secara intelektual, tapi dengan “jalan keluar terpercaya perlu diajukan untuk mengatasi masalah sosial dan ekonomi yang dapat membuat fundamentalisme menjadi kuat pada sektor-sektor yang termarginalkan di dalam masyarakat”. (ddj)