Memahami Krisis Ekonomi dari Pakarnya

Judul Buku  Mengelola Bank Indonesia Dalam Masa Krisis

Penulis J. Soedradjad Djiwandono

Penerbit LP3ES

Tebal Buku xiii+398 halaman

Tahun Terbit 2001

ISBN 979-8391-94-1

Kala berkunjung ke website S.Rajaratnam School of International Studies (RSIS), tempat di mana Tito Karnavian menempuh doktoralnya, para pembaca akan menemukan nama J. Soedradjad Djiwandono sebagai salah satu profesor di bidang ekonomi internasional. Saat itu pula kita akan sadar, bahwa kita memiliki ekonom terkemuka yang mengajar di Singapura. Sebelumnya saya akan memperlihatkan sepak terjang Prof. Dradjad (panggilan akrabnya).

Soedradjad Djiwandono adalah ekonom dari Indonesia yang menempuh S1 nya di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan menempuh dua S2 dari University of Wisconsin dan Boston University lalu di akhiri dengan Ph.D di Boston University. Ia tergolong sebagai akademisi tulen karena pernah menjadi peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Visiting Scholar di John. F. Kennedy School of Government, dan peneliti di Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS).

Ia pernah menjadi Gubernur Bank Indonesia (BI) pada masa krisis ekonomi Asia (1993-1998). Buku ini adalah testimoni bagaimana Prof. Dradjad mengelola bank sentral kita dalam keadaan krisis ekonomi di Asia. Sebelum saya mengulasnya, penulis pernah menjelaskan kepada saya, bahwa keadaan krisis pada tahun 1997/1998 sangatlah terasa di Indonesia, karena negara khatulistiwa ini menjadi salah satu di antara tiga negara yang menjadi pusat krisis, lainnya adalah Thailand dan Korea Selatan.

Penulis mengutarakan bahwa krisis yang terjadi di Indonesia memang merupakan bagian dari Krisis Ekonomi Asia dikala 97/98 yang menular dari Thailand dan Korea Selatan. Terutama berasal dari krisis valas yang terjadi di Thailand, dan jatuhnya nilai Baht dari negara gajah putih tersebut. Dalam melihat krisis perekonomian, secara teoritik Prof. Dradjad menyebutkan bahwa krisis di Asia berbeda dengan Amerika Latin, di mana di Asia, pemerintahnya tidak menghadapi defisit anggaran. Adapun dua pendekatan di mana pendekatan pertama melihat adanya penularan krisis dari faktor eksternal, sedangkan pendekatan lainnya melihat faktor regional negara yang sedang dilanda krisis.

Prof. Dradjad berargumen bahwa buku ini dituliskan dalam sudut pandang kebijakan moneter di Indonesia karena berfokus kepada tugas Bank Indonesia sebagai bank sentral yang mengatur segala macam kebijakan ekonomi di Indonesia. Ada program-program penyempurnaan Bank Indonesia semasa penulis menjabat, yakni dalam lingkup perbankan, moneter dan sistem pembayaran. Program ini bertujuan guna mempersiapkan BI sebagai bank sentral yang akan berperan dalam menyatukan ekonomi nasional Indonesia dengan ekonomi dunia.

Seperti pada paragraf sebelumnya, bahwa pendekatan dalam melihat krisis perekonomian ada dua, yakni krisis ekonomi disebabkan oleh kepanikan finansial yang melanda banyak negara akibat proses penularan, dan yang kedua adalah krisis ekonomi merupakan akibat dari kelemahan ekonomi nasional karena pelaksanaan kapitalisme kroni seperti yang dijelaskan oleh penulis dalam buku ini. Keduanya merupakan pendekatan yang umum dipakai ketika AFC (Asian Financial Crisis) terjadi pada 97/98.

Menurut penulis, krisis di atas terjadi karena adanya euforia terhadap perkembangan pasar valas yang ditunjang dengan perkembangan industri finansial, dampaknya adalah gelembung ekonomi atau economic bubbles. Krisis ini juga merupakan lanjutan pada krisis pinjaman jangka pendek negara-negara berkembang pada tahun 1980an. Dalam keadaan euforia, ada kejutan yang menimbulkan perubahan sentimen pasar sehingga mengakibatkan para pelaku pasar mengeluarkan diri dari mekanisme pasar.

Adapun dampak sosial-politik yang sangat negatif dari krisis disebutkan pula oleh Prof. Dradjad, yakni peningkatan jumlah pengangguran, peningkatan jumlah anak putus sekolah, kerusuhan yang memuncak di 1998, dan tumbangnya Orde Baru sebagai ledakan krisis ekonomi Asia di tahun 1997/1998. Salah satu faktor krisis yang ada di Indonesia adalah lemahnya peran perbankan yang berdampak pada depresiasi mata uang hingga 70% setelah Rupiah sempat stabil dihadapan dolar Amerika Serikat (AS) dalam jangka waktu yang panjang.

Dalam keadaan krisis ini, pemerintah Indonesia meminta bantuan pinjaman ke Dana Moneter Internasional (IMF) melalui anggota ad hoc nya di Indonesia, yakni Profesor Widjojo Nitisastro. Memang, menurut saya, yang sangat terkenal dari Indonesia tak lain adalah para ekonomnya yang menyandang banyak gelar dari pengembaraan ilmu pengetahuan di luar negeri, nahasnya, para ekonom ini mendapatkan cap yang buruk di Indonesia, sehingga tidak jarang kita menemukan nama-nama mereka yang disebut dengan “Mafia Berkeley”.

Pada Bab kedua ini, Prof. Dradjad menjelaskan dengan sangat seksama terkait langkah-langkah yang hendak ditempuh Pemerintah Indonesia di kala itu, mulai dengan pengaktifan kembali Prof. Nitisastro, sampai dengan koordinasi Menteri Keuangan dan Gubernur BI ketika pinjaman dana dari IMF turun. IMF sendiri menjawab dengan positif permohonan bantuan Pemerintah Indonesia dan menganggap permohonan tersebut sebagai langkah yang baik dalam memperkokoh kebijakan ekonomi, seperti yang dituturkan Prof. Dradjad dalam buku ini.

Penulis juga menjelaskan perbedaan precautionary arrangement dan stand-by arrangement dalam fasilitas (pinjaman) yang diberikan IMF. Ulasan yang bersifat mendetail ini tidak pernah diberikan oleh kelompok-kelompok yang mengaku berhalauan Marxis dalam mengulas perekonomian suatu negara, sehingga tidak jarang para ekonom didikan Amerika Serikat lebih di dengar di berbagai negara, terutama negara berkembang dan menjadi penasehat ataupun analis di IMF, WTO ataupun Bank Dunia (karena ketiga organisasi ini tidak peduli dengan perang ideologi, namun kebih menekankan kepada kebijakan dan analisis ekonomi).

Karya Prof. Dradjad ini turut mengulas cara bermain dari IMF, di mana penggunaan kata arrangement mengilustrasikan sebuah kesepakatan dari perjanjian yang dipahami oleh pihak peminjam dan IMF dengan tujuan ada perbaikan ekonomi juga jaminan bahwa dana yang dipinjam akan dikembalikan. Adapun penulis menyebutnya sebagai paket kebijakan yang menyangkut resktrukturisasi sektor keuangan melalui kebijakan fiskal dan moneter. Walaupun bahasannya pada lingkup perbankan, namun dengan diambilnya Bank Indonesia sebagai pusat kajiannya menjadikan buku ini memiliki bahasan yang cukup luas: Indonesia.

Sasaran dari kebijakan Pemerintah Indonesia perihal permasalahan krisis ekonomi adalah kestabilan nilai tukar. Menurut penulis, sasaran macam ini tergolong jangka pendek, tetapi akan memakan waktu yang cukup lama karena membutuhkan kelembagaan dan struktur ekonomi yang efektif dan efisien. Penggunaan kata efektif dan efisien adalah ciri khas pakar ekonom semacam Prof. Dradjad. Hampir mustahil menemukan ekonom yang tidak menggunakan kedua istilah tersebut dalam karya-karyanya, bahkan perkembangan ilmu pengetahuan yang bersifat terapan akan menekankan kepada permasalahan efektivitas dan efisiensi.

Kebijakan pemerintah dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) turut diulas pula dalam buku ini. Media massa selalu memperlihatkan BLBI sebagai masalah besar yang harus diusut tuntas karena “merugikan negara”, namun kasus ini tidak selesai karena sejatinya BLBI adalah kebijakan, bukan sebuah kasus korupsi. Maka dari itu, penting juga memberikan pembelajaran terhadap wartawan yang meliput masalah ekonomi dan bisnis, akibat pemberitaan miring mereka terhadap BLBI, Prof. Dradjad juga mendapatkan predikat buruk melalui media massa di Indonesia.

Buku ini sangat saya rekomendasikan bagi para mahasiswa Jurusan Ekonomi Pembangunan di Universitas Airlangga guna memahami krisis ekonomi Asia yang terjadi di Indonesia. Karya Soedradjad Djiwandono ini layaknya gabungan antara pengalaman pribadi dengan teori ekonomi. Alhasil, buku ini memiliki landasan teoritik yang kuat dengan studi kasus Indonesia, terlebih lagi berfokus kepada sektor ekonomi yang menarik yaitu perbankan: Bank Indonesia. (rez)