Kritikan Habib Rizieq Shihab Terhadap Pemikiran Liberal

Judul Buku Hancurkan Liberalisme Tegakkan Syariat Islam

Penulis Habib Rizieq

Penerbit Suara Islam Press

Tebal Buku XII+202 Halaman

Tahun Terbit 2011

ISBN 978-602-99857-0-2

Siapa yang tidak kenal dengan Habib Rizieq Shihab? Salah satu tokoh agama dari Front Pembela Islam yang dinobatkan sebagai Imam Besar Umat Islam. Beliau adalah keturunan Arab yang menjadi pusat dari FPI dan laskar-laskar sejenisnya, salah satu penggerak dari Aksi Damai Bela Islam 212. Ia adalah tokoh yang dianggap kontroversial, banyak yang mengikutinya, tapi tidak jarang yang menghujatnya. Kita selalu mengenal Habib Rizieq melalui aksi-aksinya, untuk sekarang, mari kita lihat bagaimana pemikirannya.

Buku ini mengulas mengenai kesesatan pemikiran liberal, yang menurut penulis, merupakan penyakit pemikiran yang bertahap. Tahapan liberal adalah: relativisme, skeptisisme, agnotisisme, dan atheisme. Ia mengibaratkan empat tahapan ini layaknya kanker dari stadium satu hingga empat dengan penjelasan kenapa tiap tahapan semakin merusak pemikiran. Keempatnya berkaitan dengan bagaimana seseorang semakin kehilangan keimanannya demi rasionalitas.

Tidak hanya orang-orang Barat yang terjangkit penyakit liberal ini, umat Islam pun tidak lepas dari pemahaman liberal. Pemikiran umat Islam yang liberal ini berakar dari Nasr Hamid Abu Zayd, salah satu pemikir Islam Liberal asal Mesir yang difatwa mati dan melarikan diri ke Barat. Di buku ini, Rizieq menolak keras pemahaman Nasr Hamid yang menganggap bahwa ke-Tuhanan dan segala hal yang tak kasat mata yang ada dalam dogma agama sudah tidak selaras dengan zaman, karena menurut Rizieq, percaya kepada yang tak kasat mata merupakan salah satu penyanggah utama keimanan seseorang.

Komentar yang diutarakan Rizieq kepada pandangan pemikir liberal asal Mesir tersebut berasal dari pembacaannya terhadap Naqd Al-Khitaab Al-Diinii. Ia juga tidak sepakat bahwa agama hanya dipahami sebagai identitas kepercayaan yang mereduksi ke-Tuhanan sebagai sebuah mitologi, bahwa semuanya harus sesuai dengan rasionalitas. Yang kurang dari kritik Habib Rizieq berkenaan dengan pandangan ini adalah pandangan personalnya terkait buku karangan Nasr Hamid Abu Zayd. Namun ia juga membeberkan beberapa pemikir Islam di Indonesia yang terjangkit pemikiran ala liberal ini.

Pemikir tersebut adalah Gus Dur, Cak Nur, Ulil Abshar, Dawam Rahardjo, Luthfi Syaukani, Syafi’i Ma’arif, dan Abdul Munir Mulkhan yang dianggap sebagai gerbong liberal pengikut Nasr Hamid. Ia juga menyebutkan kenapa orang-orang di atas digolongkan sebagai pemikir liberal melalui tulisan-tulisannya yang dimuat di jurnal dan berbagai pidato mereka. Sekali lagi, meskipun kritikan penulis terhadap cendekiawan liberal tersebut menandakan bahwa ia mencermati karya-karya mereka, namun kurang melakukan kritik yang mendalam terhadap pemikiran nan membeberkan kalimat-kalimat yang membuat mereka masuk dalam kategori liberal. Akan tetapi ia sepakat dengan fatwa MUI No. 7 Tahun 2005 yang menganggap ajaran Nasr Hamid sebagai ajaran yang sesat.

Penulis juga menuding kelompok liberal sebagai antek asing, karena ada kategorisasi yang dilakukan oleh Rand Corporations, dimana laporan mereka yang subyektif digunakan untuk kepentingan Barat. Kategorisasi ini adalah: fundamentalis, modernis, liberalis, dan tradisionalis. Kelompok fundamentalis bercirikan pro-Syariat Islam dan Anti-Barat; kelompok modernis yang pro-Demokrasi Barat, anti-Khilafah Islam tapi tetap kritis terhadap pandangan Barat; kelompok liberalis yang menjadi antek Barat karena tidak kritis terhadap pandangan Barat; dan kelompok tradisionalis yang netral, pro-Demokrasi Barat namun juga mendukung Khilafah Islamiyah.

Kategorisasi ini memang menggunakan logika penyederhanaan, namun menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat awam di Indonesia. Ada stigmatisasi terhadap keempat kelompok tersebut yang berusaha dibentuk oleh penulis guna melakukan kritik terhadap liberalisme yang menjangkiti pemikiran umat Islam. Dalam bagian kategorisasi ini, Rizieq mengutarakan adanya usaha untuk liberalisasi agama yang didalangi oleh Amerika Serikat (AS) di Indonesia melalui Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). AS juga menggandeng Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berkedok agama dengan memberikan bantuan dana secara berkelanjutan dari tahun 2004 sampai 2009.

Menurut Rizieq, kelompok liberal di Indonesia pun belum total dalam liberalismenya karena masih menggunakan Islam sebagai kedok untuk menjalarkan pemikiran sesatnya. Penafsiran Islam rahmatan lil alamin digunakan kelompok liberal untuk menjustifikasi tindakan-tindakan mereka yang sebenarnya berlawanan dengan Aqidah. Rizieq menjelaskan dengan cukup gamblang perihal masalah ini, meskipun tetap, gaya bahasa dalam kritiknya tidak akan diterima oleh cendekiawan liberal dengan pandangan liberal di Indonesia. Dalil yang digunakan Rizieq dalam melawan pandangan liberal ini berasal dari Tafsir Fi Zhalil Qur’an karya Sayyid Quthb, Tafsir Al-Azhar tulisan Buya Hamka, dan Tafsir Al-Misbah dari Quraisy Shihab.

Pandangan liberal yang anti-kekerasan menghilangkan Jihad dalam istilah-istilah yang mereka gunakan, agar terlihat toleran. Untuk bagian ini, saya sepakat karena orang-orang liberal tersebut menghilangkan salah satu istilah yang penting dalam Islam. Bahkan, seperti yang dibeberkan Rizieq, Sumanto yang menulis “Lubang Hitam Agama” menganggap bahwa peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah dan para Sahabat-Nya hanyalah sebuah dongeng. Sampai sekarang, Sumanto Al-Qurtuby tidak tepat dianggap sebagai intelektual muslim karena tulisannya selalu membuat kontroversi di kalangan umat Islam sendiri. Sebagai intelektual, yang dalam Islam dikenal sebagai Ulama’, harusnya mendamaikan dan memberi pemahaman yang mendalam kepada seluruh umat Islam dimana ia bertempat.

Istilah-istilah yang digunakan oleh kelompok liberal pun tidak pada tempatnya. Seperti penggunaan hermeneutika, yang menurut salah satu profesor asal Jerman yang dikutip oleh Rizieq dalam bukunya ini, bahwa hermeneutika tidak ditujukan untuk melakukan pemaknaan atau penafsiran terhadap Al-Qur’an. Penggunaan istilah yang tidak tepat ini memang menghasilkan pemahaman tentang Islam yang tidak jelas. Dalam memahami konteks Jihad pun, seharusnya seseorang menggunakan istilah-istilah dalam Islam agar mampu membedakan perjuangan (Jihad) dengan perang (Qital) atau teror (Irhab). Pentingnya penggunaan istilah ini pernah diulas secara singkat oleh Khairul Ghazali dalam bukunya: Aksi Teror Bukan Jihad.

Bagian kedua dalam buku ini lebih mengulas mengenai narasi yang melawan liberalisme di Indonesia, dengan judul Tegakkan Syariat Islam di Negeri Ini. Berisi sepuluh sub-bagian yang membahas mengenai pentingnya penegakkan Syariat Islam di Indonesia. Pembahasan NKRI Bersyariah sebenarnya ada semenjak buku ini dituliskan dan beberapa intelektual yang mengomentari tentang konsep Rizieq tersebut, secara tidak langsung mengikuti cara berpikirnya Rizieq, meskipun dibalut dengan gaya yang kritis. Penulis telah mampu menorehkan konsep yang diperdebatkan oleh akademisi “liberal” di Indonesia.

Meskipun karya Habib Rizieq Shihab ini bukan tergolong kajian ilmiah dengan teknik penulisan ilmiah, namun lebih pantas dikategorikan sebagai non-fiksi populer. Kenapa populer? Karena penggunaan bahasa yang mudah dipahami oleh khalayak umum, terlepas masih ada logika penyederhanaan di dalamnya. Saya sangat merekomendasikan para “akademisi” pengamat FPI untuk membeli dan membaca buku ini, agar memahami alam pikir Imam Besar mereka, agar tidak menjadi akademisi kaleng yang hanya mengamati FPI melalui media massa saja. Jadilah intelektual yang menimbang tidak hanya dari tindakan, namun juga pemikiran. (rez)