Kisah-Kisah Pembunuh Massal dan Ironi Kepahlawanan

Judul Buku: Heroes

Penulis: Franco “Bifo” Berardi

Penerbit: Verso

Tebal Buku: 224 halaman

Tahun Terbit: 2015

ISBN-13: 978-1-78168-578-5 (Paperback)

Salah seorang Marxis asal Italia, Franco Berardi merupakan pemikir garda depan berhalauan otonomist (gabungan marxisme dengan anarkisme) di Eropa yang karyanya belum begitu marak diulas di Indonesia. Ia pernah mengajar di Academy of Brera, Milan. Beberapa karya lain yang pernah ia terbitkan adalah The Soul at Work oleh penerbit Semiotext(e) dan Futurability: The Age of Impotence and The Horizons of Possibilities oleh Verso Books.

Dalam karyanya yang kali ini, Franco Berardi atau kerap disapa Bifo, menuliskan pikirannya yang terinspirasi oleh penembakan massal di Aurora, Colorado di bulan Juli 2012 bertempat di sebuah bioskop. Pembunuh massal tersebut bernama James Holmes, yang menurut Bifo, bertindak tanpa membaca teks-teks tertentu berkaitan dengan tindakannya. Penulis berusaha menghubungkan antara pembunuhan massal di Aurora dengan film yang sedang bermain di bioskop dimana peristiwa itu terjadi.

Bifo menekankan bahwa ia tidak sedang menulis pembunuh berantai yang sadis, namun seorang yang menjadi kriminal demi publisitas dan mencari jalan keluar dengan bunuh diri setelah melakukan tindakannya (Holmes pernah beberapa kali berusaha untuk bunuh diri saat dipenjara).

Para pembunuh semacam ini adalah pahlawan bagi pandangan nihilisme yang pernah berkembang di Rusia. Sebuah pemikiran yang menganggap bahwa kehidupan ini tanpa tujuan dan tak bermakna, banyak dari nihilis yang juga menjadi teroris. Pandangan ini diilustrasikan dengan baik oleh Fyodor Doestoevsky dalam bukunya Demon. Bifo menganggap bahwa individu semacam James Holmes adalah pahlawan dalam pemikiran nihilisme.

Penulis juga mengartikan pahlawan (heroes) sebagai orang yang mampu menundukkan alam dan menguasai peristiwa-peristiwa dalam sejarah dengan kehendak dan keberanian mereka. Mereka digambarkan sebagai penemu dan pembangun sebuah kota dan menghancurkan iblis-iblis yang mengganggu kehidupan manusia, sebuah ilustrasi kepahlawanan dari era renaisans.

Salah satu pemikir yang turut menggambarkan peran kepahlawanan dalam buku ini adalah Niccolo Machiavelli melalui bukunya Sang Pangeran (The Prince). Seorang pahlawan adalah pendiri negara-bangsa, pembangun infrastruktur industri dan membentuk identitas bersama sebuah kaum.

Bentuk klasik kepahlawanan ini menghilang ketika era modernitas, dimana kompleksitas dan kecepatan dari persitiwa di dunia menjadi lebih cepat ketimbang kehendak manusia sendiri. Apa hasilnya? Epos kepahlawanan digantikan dengan mesin simulasi yang membentuk identitas kita layaknya sub-budaya populer semacam rock, punk, dan lain sebagainya. Kondisi semacam ini yang memunculkan tragedi peradaban: ilusi dianggap sebagai kenyataan dan identitas menjadi bentuk kepemilikian (berlawanan dengan identitas bersama).

Menurut Bifo, pahlawan mulai menghilang pada tahun 1977, mereka tidak terbunuh oleh musuhnya, melainkan berpindah tempat ke dimensi lain (1977 adalah tahun dimana Star Wars pertama kali keluar).  Para pahlawan tidak lagi berada di dunia nyata, melainkan dunia simulasi visual dan stimulasi saraf. Dari sini, Bifo menggambarkan dengan tidak langsung akan kemunculan box office yang menjadi tempat bertenggernya para pahlawan kita sekarang.

Pada dekade kedua dari abad keduapuluhsatu, banyak kenyataan dari peradaban sosial berubah menjadi sekedar abstraksinya: algoritma, keganasan matematika dan akumulasi uang. Kekuatan dari simulasi yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya mengubah bentuk fisik menjadi gambar, seni visual dan bahasa-bahasa yang telah tunduk pada rezim periklanan.

Dampaknya adalah kesensitifan sosial manusia berkurang, anak-anak sekarang lebih banyak belajar kosakata dari mesin (handphone, laptop, televisi) ketimbang dari orang tuanya yang pada akhirnya tidak mampu mengembangkan solidaritas, empati, dan kemandirian. Sejarah telah digantikan dengan sejajaran gambar yang terpisah-pisah.

Penjelasan di atas disandingkan oleh Bifo dengan kasus James Holmes dimana ia memakai kostum sebelum melakukan tindakan kejinya. Para penonton lainnya hanya menganggap Holmes sebagai fans dari film Batman yang akan diputar, semuanya berubah ketika tembakan mulai dilontarkan dan membunuh 12 orang dan melukai sekitar 70 orang dalam bioskop. Menariknya, dibuat topeng yang membentuk wajah James Holmes dijual sebesar 500 dollar Amerika yang menyandingkan dirinya dengan The Joker (penjahat difilm Batman) untuk Halloween.

E-Bay, tempat dimana topeng itu dijual, menghapus postingan penjualan karena kebijakan mereka yang tidak memperbolehkan penjualan yang mendapat untung dari tragedi kemanusiaan.

Penulis juga memperlihatkan bahwa James Holmes menyebut dirinya sebagai The Joker kepada para polisi dan menganggap bahwa dirinya sedang berakting di film Batman. Karena tindakan Holmes, aktris yang menjadi Catwoman, Anna Hathaway memberikan ucapan duka, Chistopher Nolan, sutradara dari The Dark Knight Rises juga memberikan ucapan duka atas tragedi yang terjadi saat pemutaran filmnya.

Dampak lainnya adalah penarikan komik Batman Incorporated #3 oleh DC Comics dan cuplikan film Gangster Squad oleh Warner Bros karena keduanya memperlihatkan momen seseorang memberikan tembakan, DC dengan perempuan yang menodongkan pistol ke arah kelas yang penuh dengan siswa dan Warner Bros dengan salah satu karakternya melakukan adegan penembakan di bioskop.

Bab awal dari buku ini turut mengulas kehidupan personal James Holmes seperti peribadatannya, senjata yang ia gunakan, bahkan pribadi Holmes yang terkucilkan, dilihat melalui akun website kencan yang ia ikuti dan ditolak sebanyak tiga kali.

Kenapa publisitas yang dicari? Penjelasan Bifo mengenai hal ini dikaitkan olehnya dengan pernyataan Andi Warhol bahwa di masa depan, seseorang dapat menjadi terkenal dalam limabelas menit. Bagi Bifo, orang bisa terkenal karena tindakannya masuk kedalam televisi, dan hal itu akan membuktikan keberadaan orang tersebut di dunia.

Kasus yang mengilustrasikan penjelasan diatas ada pada Pekka Erik-Auvinen, seorang siswa Finlandia yang melakukan penembakan di sekolahnya. Ia mempublikasikan rencana penyerangannya melalui video di YouTube yang menggambarkan foto sekolahnya yang pecah berkeping-keping dan memperlihatkan seorang memegang pistol dan diarahkan ke kamera.

Setelah unggahan tersebut, terjadilah penembakan beberapa jam kemudian di Jokela School, tempat dimana Auvinen bersekolah. Ia menembak mati sembilan siswa bersama Kepala Sekolah dan seorang perawat. Setelah kejadian penembakan, ia bunuh diri dengan menembakkan pistolnya ke kepalanya sendiri.

Auvinen pernah menjelaskan pandangan hidupnya dalam website yang ia miliki bahwa ia mengikuti pandangan eksistensialis sinis, Humanis anti-manusia, Darwinis anti-sosial, atesi dan idealis realistis. Pandangan ini keluar sebelum penembakan terjadi. Ia juga membuat Natural Selector’s Manifesto yang menganggap bahwa seleksi alam sudah tidak lagi lurus. Menganggap bahwa manusia sudah menjadi tolol dan dunia mereproduksi orang tolol lebih cepat ketimbang manusia-manusia berkualitas.

Tulisan buatan Auvinen ini disandingkan oleh Bifo dengan pandangan Nazi yang suka melakukan pembunuhan massal (pemikiran dan tindakan yang sama dengan Auvinen). Beberapa aspek yang sesuai dengan Nazisme dalam manifesto Auvinen adalah kekerasan, de-humanisasi korban dan rasisme. Manifesto yang dikeluarkan Auvinen ini adalah deklarasi retoris dalam filosofi pembunuhan massal. Bifo melakukan analisis yang menarik terhadap manifesto ini. Penulis menyambungkan tulisan anak berumus 18 tahun dengan Thatcherisme, Neoliberalisme dan program-program aktivis Tea Party.

Kejahatan adalah tindakan yang memperkuat dan memperkokoh ketenaran. Semakin sadis dan menjijikkan kejahatan seseorang, maka semakin narsis karena penegasan melalui media yang digunakan untuk menyebarkan kejahatannya seperti YouTube.

Tidak jarang para penjahat dunia nyata yang hidup dalam dunia angan, dimana mereka mengilustrasikan diri mereka sendiri dengan karakter antagonis tertentu seperti kasus James Holmes, namun ada penjahat yang menginginkan ketenarannya sendiri seperti yang dilakukan Auvinen.

Penjelasan Bifo yang menarik berkenaan James Holmes yang menggambarkan hubungan antara media (film) dengan kejahatan. Holmes berusaha memimikri karakter dari Batman (Joker), ia berhasil menghilangkan batasan antara layar kaca dan dunia nyata, bahkan memaksa para penonton Batman berpartisipasi dalam kisah yang hanya ingin mereka tonton (Batman). Tujuannya adalah memecahkan batasan dari pertunjukkan. Usahanya telah mengaburkan batasan antara kenyataan dan imajinasi. Ia ingin untuk masuk dalam pertunjukan, dan pada momen tertentu, pertunjukan Batman memang terasa nyata, namun menghasilkan kematian yang nyata pula. James Holmes adalah personifikasi Joker yang merusak batasan antara dunia nyata dan dunia visual, sayangnya yang keluar dari Batman adalah penjahatnya.

Peristiwa buruk lainnya adalah kasus pembunuhan di Columbine High School, dimana dua orang bernama Eric Harris dan Dylan Klebold membunuh satu guru, duabelas siswa dan melukai 27 siswa lainnya, pada akhirnya mereka bunuh diri. Kasus ini terjadi pada akhir abad keduapuluh, penulis tidak menyertakan tanggal pastinya.

Motivasi Harris ternyata seleksi alam yang terinspirasi dari game yang berjudul Doom, dimana hanya yang terkuat bertahan dengan membunuh mahluk yang lemah. Bifo mengutarakan bahwa ada mutasi psikis karena terpapar video game terlalu lama, bukan karena konten dari game, tapi rangsangan dimana mereka ingin merasakan sensasi dari game tersebut dengan melakukan pembunuhan. Kasus seperti ini jarang ditemui tapi menjadi contoh mutasi pemikiran manusia.

Dengan perkembangan teknologi yang pesat, manusia lahir dengan hubungan yang erat dengan mesin informatika (banyak anak kecil yang main PUBG, AOV, Mobile Legend, Dota 2, dll di Indonesia, bahkan kontak mengontak lebih sering pakai media sosial daripada bertatap muka). Mereka ditaklukkan oleh entitas komunikasi virtual yang tidak sensitif sama sekali.

Karena kehilangan sensitifitas, maka empati seseorang terhadap manusia lainnya pun berkurang. Empati sendiri bukan emosi alamiah, melainkan kondisi kejiwaan yang terbentuk. Apabila tidak ada usaha membentuk kondisi kejiwaan semacam itu, maka hilang juga sensitifitas manusia. Inilah yang disebut dengan mutasi pemikiran, emosional dan kejiwaan oleh Bifo.

Kembali kepada kasus Eric Harris, ia memakai kaos bertuliskan “seleksi alam”. Penulis beranggapan bahwa Harris tumbuh dan berkembang di dekade neoliberal, selalu memiliki hasrat untuk menjadi pemenang dan menjadi yang nomor satu. Ia memahami bahwa ia tidak akan jadi pemenang kalau hanya bermain game, maka ia mengambil pilihan bahwa ia akan menjadi pemenang pada momen tertentu. Kejahatan yang ia lakukan merupakan dorongan dari kegagalannya dalam kompetisi di game dan perpeloncoan yang ia terima saat di sekolah.

Kawannya, Dylan Klebold juga mendapatkan perlakuan yang sama di Sekolahnya, sehingga memiliki tendensi untuk melakukan balas dendam. Baik Harris maupun Klebold, menurut Bifo, merupakan malapetaka yang diciptakan neoliberalisme yang selalu berusaha untuk menang. Dalam kategori sosial neoliberalisme, hanya ada pemenang dan pecundang. Filosofi macam ini membentuk absolutisme kapitalis yang didasarkan atas seleksi alam.

Ada kosakata serapan dalam bahasa Inggris yang turut diulas Bifo, yakni Amok, yang diambil dari kosakata Melayu, Amuk. Amuk menurut Bifo adalah cara untuk membangun ulang reputasi seseorang sebagai orang yang ditakuti dan disegani. Saat meng-amuk batasan antara pelaku dan sekitarnya menjadi mengabur dan juga batasan antara terbunuh dan dibunuh menghilang, kepanikan menjadi faktor pendorong seseorang meng-amuk.

Kasus menarik lainnya yang diangkat oleh Berardi adalah pembunuhan massal yang dilakukan oleh Seung-Hui Cho atau panggil saja Cho di Virginia Polytechnic Institute and State University. Tindakannya membunuh 32 orang dan melukai 17 orang. Selalu ada kisah dibalik tindakan irasional yang dikejawantahkan oleh Bifo dalam buku ini.

Cho merasa tidak tepat pindah ke Amerika Serikat karena keluarganya tidak bisa berbicara bahasa Inggris, ia merasa terisolasi bersama adik perempuannya. Ia merasa kehilangan arah mengenai identitasnya: kebudayaan dan bahasanya (meskipun selama dua tahun setelah pindah, ia dan adiknya belajar membaca dan menulis dalam bahasa Inggris), ia merasa tidak berada di tempat yang benar. Di Sekolah ia belajar dan berinteraksi dengan bahasa Inggris, sedangkan di rumah ia berbicara bahasa Korea, hal ini yang menurut Bifo menjadi landasan frustasi dari Cho.

Amarah yang bertendensi untuk membunuh dapat terkumpul selama bertahun-tahun dan meledak dalam sekejap. Cho adalah personifikasi dari amarah tersebut, yang muncul karena kesepiannya.

Bifo dalam bukunya ini juga menjelaskan bahwa crime (kejahatan) dan crisis (krisis) berasal dari akar kata Yunani yang sama, yakni krisis yang berarti seleksi, penghakiman atau pemisahan. Krisis merupakan situasi dimana norma tidak lagi ketat di dunia, dan memberi jalan bagi persebaran kejahatan. Bifo menyebutkan bahwa film The Purge menggambarkan kejahatan sebagai jalan menanggulangi krisis.

Salah satu contoh yang diangkat oleh Bifo adalah Nazi yang melembagakan kejahatan sebagai alasan untuk perbaikan krisis di Jerman. Mereka yang melembagakan kejahatan berasal dari kalangan Borjuis karena mereka adalah kelas yang sangat membatasi diri dalam bergumul. Kekuasaan mereka didasarkan pada kepemilikan aset.

Pembunuhan massal lain yang dikupas oleh Bifo adalah kasus Andres Breivik di Oslo, membunuh delapan orang dengan bom dan 69 orang lainnya dengan tembakan. Ia menderita Alexythimia, sebuah penyakit dimana ia tidak bisa mengenali dan menjelaskan perasaannya, penyakit dimana seseorang kehilangan empati secara keseluruhan. Ia tidak lebih dari mesin. Mesin neo-konservatif idiot menurut Bifo yang berusaha membuat manifesto cacat yang menolak marxisme, feminisme dan Islam di Eropa.

Penulis menganalisis kasus Breivik sebagai obsesi atas identitas yang bersumber dari kebencian terhadap Islam. Ia mengidentikkan dirinya sebagai orang terpilih yang akan mengangkat kejayaan Eropa dan melihat semua yang dekat dengan Islam sebagai musuh. Meskipun tidak secara terang-terangan mengidentikkan dirinya sebagai fasis, namun Breivik dengan manifestonya memiliki karakteristik fasisme, yakni obsesi terhadap identifikasi.

Breivik adalah hasil dari rumah tangga yang terpecah, dimana ibu dan bapaknya bercerai ketika Breivik berumur satu tahun, perceraian ini kemungkinan besar memberi dampak terhadap hilangnya perasaan dalam diri Breivik. Kesesatan mental yang dirasakan pemuda ini terbentuk dari lingkungannya yang tidak karuan ditambah dengan pandangan nasionalisme Eropa yang berlebihan lengkap dengan Islamofobia, personifikasi mental buruk penduduk Eropa.

Masih banyak kasus-kasus lainnya yang dikejawantahkan oleh kawan saya, Bifo. Namun baik James Holmes, Pekka-Erik Auvinen, Eric Harris, Dylan Klebold, Seung-Hui Cho dan Andres Breivik adalah gambaran mutasi pemikiran yang melanda generasi muda di Barat. Mereka merupakan pahlawan dari kelompok nihilis yang menganggap kehidupan tidak bermakna. Semuanya adalah pahlawan dari sudut pandangnya masing-masing yang memiliki manifestonya sendiri dan berusaha mencari perhatian dengan kejahatan yang mereka lakukan. Mereka adalah produk negatif perkembangan media dan teknologi yang memiliki penyakit mental masing-masing.

Meskipun berisikan kisah yang suram, buku Bifo ini memiliki daya tariknya tersendiri, belum lagi pembahasan filosofis yang menyentuh ranah psikoanalisa membuat buku ini serasa supranatural. Membaca karya Bifo ini seperti menjadi detektif yang sedang melihat kasus pembunuhan lengkap dengan diagnosa penyakit jiwa dan rekonstruksi kejadian.

Buku ini menjadi satu-satunya jenis buku yang mengulas nihilisme secara akademis, lebih sastrawi ketimbang Nietzsche namun lebih akademis daripada Demon karya Doestoevsky. Menjadi bacaan ringan yang sedikit kelam sambil mengisi waktu luang di musim hujan. (rez)