Kisah Hidup dari Seorang Marxis Mesir

Judul Buku: A Life Looking Forward

Penulis: Samir Amin

Penerbit: Zed Books

Tebal Buku: 266 halaman

Tahun Terbit: 2006

Kali ini, saya akan meresensi genre buku yang berbeda. Buku ini adalah sebuah autobiografi atau lebih tepatnya memoar yang berisi kisah penting yang pernah terjadi sepanjang hidup penulisnya: Samir Amin. Nama ini tidak terdengar asing bagi yang sering membaca karya-karya teori sistem dunia tulisan Andre Gunder Frank. Ia adalah seorang Marxis kelahiran Mesir yang membahas teori sistem dunia. Banyak karya-karya nya yang ditebitkan oleh Zed Books ataupun Monthly Review, ia adalah seorang intelektual sekaligus direktur dari Third World Forum di Dakar dan buku ini adalah rangkuman dari kisah hidupnya.

Beliau berasal dari keluarga yang terpandang di Mesir, dan baginya, garis keturunan memanglah penting karena akan menentukan arah hidupmu kedepan. Baginya, pembelajaran dari keluarganya, baik dari sisi ayah maupun ibunya adalah suatu warisan yang sangat melekat pada dirinya. Ayahnya adalah keturunan bangsawan Kristen Koptik yang ditarik kembali pada abad kesembilanbelas. Kelompok ini saat pertama kali berdiri di Mesir telah membangun status sosial mereka secara perlahan melalui dasar Ilmu Pengetahuan. Beberapa keturunan kristen Koptik tetap menjaga diri dengan menjadi seorang Intelektual, tidak terlalu tertarik akan harta kekayaan. Kelompok ini pun yang ikut menolak adanya monarki di Mesir, dan ayah Samir Amin adalah salah satu aktivis yang melawan kediktatoran Mesir. Ayahnya adalah pengikut Wafdism dimana aliran tersebut adalah gabungan nasionalisme anti-inggris, demokratik anti-monarki dan juga sekularisme.  Di zaman itu Mesir pecah menjadi dua pihak, pendukung Nasionalisme dan pendukung Komunisme, dan keluarga Samir Amin berada disisi Komunisme.

Untuk sisi keluarga ibunya berasal dari daerah Alsace, sebuah daerah di Perancis yang berbatasan dengan Jerman dan Switzerland. Menurut nenek dari ibunya, nenek moyang Amin adalah salah satu keluarga yang ikut menangkap Louis XVI di Varennes pada tahun 1791 dan aktif dalam Babeuf Movement. Untuk kakeknya adalah seorang Freemason dan juga Sosialis yang menolak untuk menjadi “domba Jerman” meskipun daerahnya berbatasan dengan jerman, bagi dia, Alsace mengikuti Revolusi Perancis dan ikut merasakan harga dari kebebasan. Saat perang dunia pertama, kakeknya ikut berperang dan ditaruh pada pos paling depan dan kerapkali mendapatkan luka pada awal bulan peperangan karena menolong kawan-kawannya, dia meninggal pada umur yang cukup muda di tahun 1940 dan mendapatkan banyak sekali medali karena tugas negara yang ia jalankan. Meskipun begitu, ia mengajari begitu banyak mengenai Sosialisme, Anti-Kolonialisme dan Anti-Fasisme kepada Amin.

Amin adalah orang yang memang sudah Marxis sejak kecil, saat temannya, Andre Gunder Frank menanyakan kepada ibunda Amin: pada umur berapakah dia (Amin) menjadi seorang Komunis? Ibundanya menjawab “pada umur enam tahun”. Jawaban ini berasal dari sebuah pertanyaan Amin saat melihat ada anak kecil mengambil makanan dijalanan distrik Pelabuhan Said, ia bertanya “kenapa anak itu melakukan hal tersebut?”, dan ibunya menjawab bahwa masyarakat ditempat mereka tinggal tidak peduli dengan orang-orang sekitarnya dan membuat orang miskin melakukan hal tersebut. “Aku akan mengubah masyarakat kita” jawab Amin. Inilah pertama kali keingininan untuk menjadi komunis muncul dalam diri Samir Amin dan mendorongnya untuk selalu belajar dan berkarya.

Ia sempat menjadi pelajar di Paris pada tahun 1947 sampai dengan 1957 pada umur sekitar 16 sampai 26 tahunan. Disanalah dia mulai memformulasikan pemikiran dan gerakan politiknya. Pada periode ini lah dia mengembangkan pemikirannya mengenai kapitalisme dan sosialisme ditengah-tengah lahirnya Republik Keempat (The Fourth Republic). Proyek Republik Keempat ini didasarkan atas tiga kekuatan yang diobservasi oleh Amin: PCF, SFIO dan MRP di Perancis.

Pasca belajarnya di Paris selesai, ia kembali ke Mesir, ke Kairo untuk melakukan wawancara ditempat dia akan bekerja. Pada periode ini ia menyaksikan daerah-daerah industri yang diduduki oleh Inggris, Perancis dan Belgia disita. Namun penyitaan ini ada yang dengan ganti rugi ada yang tidak, tergantung berapa besar Kapital yang ada dalam perusahaan tersebut yang pada akhirnya akan dimiliki oleh negara atau diberikan kepada Kapitalis Mesir. Hal ini dilakukan dalam rangka nasionalisasi perusahaan untuk meluncurkan pembangunan ekonomi yang diakselerasi oleh Pemerintah Mesir. Pada tahun 1957 didirikan Mwasasa Iqtisadia (Institusi Ekonomi) sebagai lembaga otonom yang mengelola ekonomi Mesir.

Masih banyak kisah lain yang disuguhkan oleh Samir Amin dari buku ini. Memoar yang beliau tulis memang adalah Memoar seorang aktivis, hampir seluruh kisahnya menggugah semangat dan membuat kita ingin membaca secara berkala hingga selesai. Tidak dipungkiri bahwa dia adalah seorang pemikir yang cemerlang sekaligus penulis yang handal. (rez)