Judul: Bumi Manusia
Pengarang: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Tebal Buku: 535 halaman
Cetakan: 2005
Novel Pramoedya tak pernah tidak menarik bagi khalayak umum untuk dibaca. Maklum, pujangga ini telah menulis banyak kisah yang terinspirasi oleh cerita yang nyata. Adapun salah satu kisahnya yang paling menggelegar adalah Tetralogi Pulau Buru yang digarapnya selama dipengasingan. Kisah roman ini berawal dengan buku Bumi Manusia yang akan sedikit diulas disini.
Novel ini berlatar di Surabaya dan berkisah mengenai Minke, seorang pemuda Inlander yang tidak bodoh, Minke bisa dibilang anak yang rajin dan pandai seperti digambarkan dalam buku ini. Dia selalu diganggu dengan salah satu kawannya, yakni Robert Suurhof. Pada suatu waktu, Suurhof mengajaknya ke sebuah rumah di daerah Wonokromo, selama perjalanan kesana, Suurhof menantang Minke, jika dia bisa mendapatkan hati dari anak perempuan pemilik rumah, maka dia tak akan pernah mengganggunya lagi. Minke pun menerima tantangan itu. Sesampainya di rumah itu, Minke pernah mendengar desas-desus keangkeran rumah itu, bukan perkara mahluk halus, tapi penghuninya yang menutup diri. Mereka disambut oleh Robert lainnya, Robert Mellema. Disini Minke mulai merasa tak enak, karena pandangan si Robert Mellema adalah pandangan yang merendahkannya. Namun semua tidak menjadi masalah saat Suurhof mengatakan bahwa Minke adalah kawannya. Masuk kedalam rumah ternyata ada seorang gadis cantik yang mencuri perhatian baik Suurhof maupun Minke, ini lah yang dimaksud Suurhof, ia adalah adik perempuan Robert Mellema, Annelies Mellema. Annelies adalah perempuan dengan pribadi periang yang sangat memikat Minke, cuman saja si Minke tak yakin dia bisa mendapatkannya. Semua tidak seperti yang dia prediksikan, mulai lah kisah cinta antara Minke dan Annelies yang akan berakhir tragis.
Adapun sosok menarik lainnya, yakni Nyai Ontosoroh, sang ibunda Annelies dan Robert Mellema adalah perempuan dari kelas bawah yang terangkat derajatnya karena perkawinan dengan Herman Mellema. Dia lantas menjadi mahir dalam berbicara bahasa Belanda, mampu membaca, menulis dan berhitung, bahkan mengelola pabrik Buitenzorg milik Herman Mellema. Yang lain adalah Darsam, orang satu ini berasal dari etnis Madura, terlepas tidak begitu pintar, loyalitasnya terhadap Nyai Ontosoroh sangat tinggi, apapun yang dikatakan Nyai, dia patuhi.
Novel sastra karya Pram ini memang menyuguhkan berbagai rasa, berbagai realita. Dia menyoroti usaha kaum inlander yang melawan Belanda dengan cara menulis, banyak pepatah Pram tertuang dalam bukunya ini. Tips-tips dalam menulis ia selipkan melalui dialog yang bermakna. Tidak salah jika tetralogi pulau buru karya Pram dijuluki sebagai “Sumbangan Indonesia untuk Dunia”. (rez)