Kesenjangan Menjalar Seiring Dorling Menulis

Judul Buku: Do We Need Economic Inequality?

Penulis: Danny Dorling

Penerbit: Polity

Tebal Buku: ix+181 halaman

Tahun Terbit: 2018

Kesenjangan, Ketimpangan dan Ketidakadilan merupakan tema yang masih “seksi” untuk dibahas dalam lingkup ilmu sosial, ekonomi dan politik. Para aktivis tidak pernah terlepas dari 3K tersebut dalam melakukan advokasi atau pertolongan bagi kaum yang “tertindas” atau kerapkali disebut sebagai proletar. Negara-negara yang acapkali kita kira kaya ternyata tidak, seperti Inggris pada zaman pujangga besarnya, William Shakespeare. Pemasukan per kapita pada era Shakespeare di tahun 1600an hanya sekitar 2,5 Dollar Amerika. Jadi, banyak negara miskin di dunia sekarang yang berpendapatan pada kisaran 2,5 USD sama dengan pendapatan penduduk Inggris di abad ketujuhbelas, mereka tertinggal empat abad silam dalam hal kekayaan.

Yang mencengangkan juga, ternyata Belanda pernah menjadi negara terkaya dibanding Inggris pada abad tersebut dimana perdagangannya lebih maju ketimbang negara di sekitarnya, ketimpangan ini pun tidak terjadi didalam negeri tapi antar negeri. Di era modern ini, perhitungan mengenai kekayaan negara sudah menjadi hal yang lumrah melalui Pendapatan Domestik Bruto (PDB). PDB ini telah menjadi acuan untuk melihat ketimpangan, ketidaksetaraan dan ketimpangan di berbagai negara. Namun kapan mulai muncul ketimpangan tersebut? Itulah yang akan dibahas dalam buku kecil berwarna pink ini.

Ketidaksetaraan ini mulai muncul, menurut Pak Dorling, sejak Portugis dan Spanyol datang dan menjajah Amerika. Disinilah dua dunia saling bertabrakan, antara yang “lama” dengan yang “baru”. Dari waktu ini lah ketidaksetaraan dalam skala dunia muncul, ada kaum yang lebih unggul dibanding lainnya. Sebuah benturan yang melahirkan transisi bernama kapitalisme. Bahkan Dorling sendiri menjelaskan dalam tabelnya di buku ini, bahwa Belanda sebagai negara yang berjaya di abad ketujuhbelas ternyata kekayaannya tidak terbagi secara rata untuk penduduknya.

Bergerak ke Amerika, sudah bukan rahasia umum bahwasanya hanya satu persen dari penduduk Amerika yang memiliki 20 persen kekayaan negara, apalagi dengan pandangan Amerika Serikat yang kapitalistik, ada kemungkinan kesenjangan tersebut akan semakin meluas tiap tahunnya. Negeri Paman Sam akan semakin tidak adil seiring ia semakin kaya. Dan kembali ke Belanda sekarang, kesenjangan semakin berkurang dengan semakin miskinnya negara bendungan tersebut di tahun 1914. Sebuah pernyataan menarik dalam buku ini ialah sejatinya kesenjangan ada dan terlihat secara jelas di negara penjajah dan jajahan, krisis ekonomi di negeri jajahan benar-benar berdampak pada negara penjajah. Namun memang sudah sesuatu yang umum bila kesenjangan berhubungan dengan kolonialisme.

Sebuah pengecualian yang muncul adalah koloni yang menjadi Amerika Serikat, karena mereka kurang tereksploitasi dibanding negeri jajahan lainnya, maka dari itu mereka bisa berkembang cukup baik. Kesenjangan berkembang pesat pula di negara penjajah, bahkan dengan melakukan eksploitasi tidak menghilangkan, malah memunculkan masalah ini. Sebelum kolonialisasi terjadi, tidak begitu banyak kesenjangan dalam skala global. Penyebaran kolonialisme melahirkan kapitalisme yang menjadi penerus sebagai mesin eksploitasi negara miskin dan mempertahankan kesenjangan sebagai obyek penelitian negara maju.

Usaha guna menghambat laju kesenjangan telah dilaksanakan melalui program yang berbentuk trickle down effect, structural adjustment, dukungan terhadap pertumbuhan ekonomi, kompetisi, inovasi, dorongan kreativitas dan mobilitas sosial. Namun hanya sedikit teori yang menunjang untuk pengentasan kesenjangan ini, semisal teori upah dan pendapatan produktivitas marjinal. Teori tersebut justru mengemukakan agar seseorang digaji sesuai dengan kemampuan mereka. Dan buruknya lagi, kesenjangan ini di dukung oleh orang-orang kaya. Salah satu contoh yang dipakai Dorling ialah ketika Patrik Schumacher menyarankan para konglomerat untuk membeli rumah bekas yang nantinya akan berlipat ganda harganya akibat pembelian tersebut. Menurut Schumacher yang dikutip oleh Dorling, “hanya pasar yang dapat menentukan penggunaan lahan”. Segala intervensi yang dilakukan oleh pemerintah “WAJIB” hukumnya untuk dikesampingkan bahkan bila perlu dihilangkan. Pastinya ini pandangan yang amat terinspirasi oleh Adam Smith (Invisible Hand). Bagi dia, perlu dilakukan privatisasi segala macam barang publik seperti tanah dan jalan. Tentunya pandangan tersebut bisa dibilang gila. Pada akhirnya, hanya kaum kaya lah yang diuntungkan dan selalu diuntungkan oleh kesenjangan. Tidak hanya material seperti uang yang mereka dapat, akan tetapi status sebagai orang terpandang pula, tidak akan ada orang kaya jika semua orang sejahtera dengan nominal yang sama.

Merupakan sebuah bahaya ketika para pekerja menjadi tidak lagi produktif, dapat dipastikan angka kriminalitas bakal meningkat pesat. Menurut Zadie Smith, bukan manusianya yang berubah dengan alamiah, namun situasi yang membuat mereka berubah. Pengangguran pasti berimbas pada banyaknya kemunculan kriminal, entah terorganisir maupun tidak. Adanya Negara Kesejahteraan bertujuan untuk mengurangi ketamakan para pengusaha akan tetapi mereka tetap dapat menjaga usahanya. Belum lagi penyakit itu juga menjadi faktor penurunan produktivitas pekerja, maka dari itu diperlukan asuransi kesehatan agar mereka yang sakit bisa cepat sembuh. Permasalahan mental juga menjadi penghambat yang besar bagi pekerjaan, maka diperlukan pula psikolog atau lingkungan yang nyaman guna mengembalikan mental para pekerja demi peningkatan produktivitas. Dibutuhkan berbagai macam alternatif lain yang dijelaskan dalam buku ini. Kemampuan berinovasi dan mencari alternatif lain menuju kesejahteraan sejati yang seharusnya mulai kita pikirkan sekarang demi anak-cucu kita nanti. Kebahagiaan memang tidak selalu diukur dengan angka, namun akan lebih lengkap jika rasa maupun angka (yang positif) bersatu untuk memangkas kesenjangan. Untuk sekarang, masih belum ada obatnya. (rez)