Judul Buku: Playing The Whore
Penulis: Melissa Gira Grant
Penerbit: Verso
Tebal Buku: 134 halaman
Tahun Terbit: 2014
Kapitalisasi selalu dibahas melalui sudut pandang kelompok ter-marjinalkan. Banyak permasalahan politik dan ekonomi yang tidak selalu berbicara mengenai buruh dan tani untuk bagian yang “terpinggirkan”. Bahkan dalam industri hiburan pun banyak kelompok-kelompok semacam itu. Hiburan dalam hal ini bukan mengenai perfilman atau permainan, namun hiburan yang bersifat ilegal di banyak negara, yakni prostitusi. Isu mengenai prostitusi acapkali tidak pernah se-_booming_ layaknya International Women’s Day atau politik perburuhan dengan _May Day-_nya. Banyak gagasan lahir untuk menghilangkan praktik-praktik prostitusi diseluruh dunia, termasuk Indonesia. Akan tetapi, keinginan untuk menghilangkan industri ilegal ini tidak dianggap sebagai pembebebasan bagi para pekerja seks, karena mereka sendiri tidak memiliki keterampilan lain sebagai modal bekerja. Dalam resensi kali ini, saya akan memfokuskan mengenai pembahasan jati diri para pekerja seks.
Industri penyedia jasa seks dan para aktornya, tiap waktu selalu berkembang dan memperbarui metode-metodenya untuk mengamankan usaha mereka. Semenjak tahun 1970-an, kata prostitusi jarang digunakan dan berubah menjadi pekerja seks. Perubahan sebutan ini menandakan bahwa bisnis prostitusi merupakan bisnis yang menggunakan tenaga kerja perempuan dan sangat kental eksploitasi di dalamnya. Tidak jarang mucikari melakukan kekerasan jika pekerja seks yang ia miliki tidak menghasilkan keuntungan yang cukup banyak. Adanya kata tenaga kerja disini, berarti pekerja seks merupakan buruh pula yang menggunakan cara yang berbeda dalam mencari keuntungan. Pendekatan yang digunakan penulis ialah dengan bahasa, seperti kelahiran kata prostitution di Inggris pada abad keenambelas sebenarnya digunakan untuk jual-beli. Ada pergeseran makna yang cukup signifikan dan merugikan bagi perempuan, karena pergeseran makna ini diperuntukkan bagi jenis kelamin perempuan secara umumnya.
Belum lagi kata whore yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai pelacur, lonte, perek dan sebagainya, merupakan kata yang lebih tua lagi ketimbang prostitution. Bahkan dalam injil ada sebutan the whore of Babylon. Penulis mengutip Laura Agustin, mengenai whore yang sejatinya tidak ditujukan kepada pekerja seks komersial, namun bagi mereka yang melakukan hubungan seksual tanpa menikah dan tidak mendapatkan keuntungan material apapun (melakukan seks hanya demi kesenangan pribadi), berkonotasi buruk, dan tidak bermoral tanpa ada keterkaitan dengan uang. Kata whore sendiri ditujukan kepada perempuan yang tidak lagi terhormat di mata masyarakat. Pandangan kedua ini yang menyebabkan pekerja seks komersial selalu mendapat kata whore yang disematkan pada dirinya. Padahal sebenarnya, pekerja seks ialah seperti buruh namun dengan cara yang berbeda.
Adanya diskriminasi terhadap kalangan pekerja seks dan homoseksual di abad kesembilanbelas yang telah melahirkan pergeseran makna dan memunculkan kelompok marjinal selain orang miskin, buruh dan tani. Di awal bab mengenai prostitusi, penulis mengutip perkataan Henri LeClerc yang maknanya kurang lebih sebuah tantangan untuk membedakan perempuan telanjang dengan pekerja seks perempuan telanjang. Ada yang tersirat dalam perkataan LeClerc yang ingin disampaikan oleh si penulis, bahwa sejatinya, semua orang, tidak dapat dibedakan secara kodrati, namun kita sendiri yang menciptakan pembedaan (diferensiasi) tersebut dan bahkan sampai men-strukturasi-nya hingga menjadi sebuah hirarkhi dimana ada pekerjaan terhormat dan tidak terhormat. Kita sangat cepat melakukan justifikasi atau tuduhan terhadap orang-orang yang melakukan pekerjaan yang mungkin berbeda dan jarang sekali dilakukan. Keberadaan politik eksklusi yang membuat para pekerja seks dicap sebagai barang rusak bahkan diperlakukan tidak seperti layaknya manusia.
Pekerja seks sendiri yang mayoritas perempuan, menjadi sebuah alat atau instrument untuk merendahkan martabat perempuan. Beberapa pembahasan mengenai pekerja seks justru mendudukkan mereka sebagai obyek diskusi dan penelitian. Carol Leigh, seorang aktivis keperempuanan menghadiri konferensi dan lokakarya mengenai industri seks yang berjudul Sex Use Industry. Dia sangat menolak judul tersebut dan meminta panitianya untuk merubah menjadi Sex Work Industry. Penggunaan kata Use dalam judul itu mengilustrasikan siapapun yang hadir dalam konferensi dan lokakarya tersebut sebagai sebuah benda untuk digunakan, sedangkan audiens yang hadir merupakan pekerja seks, mereka tidak melakukan seks untuk kesenangan melainkan mencari uang. Pekerjaan mereka yang datang adalah penyedia jasa layanan seks, bukan sekedar digunakan tanpa upah.
Politik dari pekerjaan seks ini tidak terlepas dari stigma yang terbangun bahwa pekerjaan tersebut adalah milik perempuan. Obyektivikasi dari perempuan merupakan salah satu masalah utama. Lelaki memang jarang bekerja dalam sektor ini, namun meskipun mereka bekerja, mereka disebut sebagai mucikari, jarang pula bersemat pandangan-pandangan negatif. Kemunculan pandangan negatif ini juga diakibatkan banyaknya konsumen dibidang pelayanan jasa seks adalah lelaki, sehingga untuk memenuhi demand tersebut dibutuhkan banyak perempuan pula.
Dalam buku ini disoroti bagaimana dalam kubu feminis sendiri terjadi perdebatan mengenai pekerja seks. Feminis seperti Sheila Jeffreys and Janice Raymond tidak sepakat untuk mengadvokasi perempuan pekerja seks karena mereka masih bergantung kepada lelaki, bahkan mereka menolak untuk menyebut para pekerja seks sebagai seorang perempuan. Perdebatan semacam ini menurut Gira Grant membuat pekerja seks menjadi sebuah identitas politik yang memiliki serikat dan gerakan politik tersendiri. Pekerja seks komersial sendiri berkembang pesat dan merambah kepada situs-situs online, tidak hanya berbentuk layanan seks, namun pornografi dapat dikategorikan sebagai salah satu industri seks yang paling digandrungi dan mudah mengaksesnya, kecuali di beberapa negara yang mengatur perkara pornografi, seperti di Indonesia.
Melissa Gira Grant sendiri merupakan kontributor di The Guardian, Editor di Jacobin dan juga seorang penulis lepas yang dulunya merupakan pekerja seks. Ia bekerja seks untuk membiayai karir menulisnya dan sekarang ia berhasil menjadi penulis lepas. Grant juga menjadi seorang aktivis pekerja seks yang selalu berusaha mengungkap adanya eksploitasi dan diskriminasi terhadap kelompok marjinal ini. Ia memang benar-benar berhasil sebagai seorang penulis, kenapa? Karena penggunaan bahasanya dalam buku ini memang renyah dan mudah untuk dipahami. Buku-buku dari editor Jacobin memang selalu menarik para pembaca dibidang pergerakan karena isu-isu yang diangkat memang kekinian dengan penggunaan judul dan bahasa yang populer, belum lagi sampul yang sederhana nan memikat. (rez)