Judul Buku: The Powers To Lead
Penulis: Joseph S. Nye Jr.
Penerbit: Oxford University Press
Tebal Buku: xii+226 halaman
Tahun Terbit: 2008
Seiring berkembangnya zaman, semakin banyaknya informasi yang bisa diterima, mulai lah hirarki kekuasaan makin lama makin “flat”. Sudah bukan zamannya lagi seorang pemimpin yang berteriak dan menyuruh. Masyarakat makin lama makin demokratis, mereka menginginkan pemimpin yang lemah lembut, tapi bukan berarti menjadi tanpa ketegasan. Maka dari itu, kepemimpinan itu bukan masalah menggunakan kekuasaan keras atau lembut, demokratis atau totaliter. Tidak lagi hanya ada konsep soft power dan hard power saja, tapi kepemimpinan itu berhubungan dengan keduanya, itulah yang disebut dengan smart power.
Permasalahan Kepemimpinan ini diulas oleh Joseph Nye Jr, seorang professor dari Kennedy School of Government, Harvard University. Ia menekuni bidang Kepemimpinan selain karena dia mengajar tentang bidang tersebut, juga karena belum ada pembahasan analitis mengenai Kepemimpinan pada studi terdahulu. Beliau telah mengeluarkan banyak buku mengenai Kepemimpinan dan Kekuasaan, tapi buku yang membahas antara relasi keduanya adalah “The Power To Lead”.
Pada awal buku dijelaskan bahwa “nature” dari kepemimpinan mulai berubah. Dulu pada zaman Macchiavelli, ditakuti itu lebih baik dibanding disayangi atau dicintai (entah ini sarkasme atau memang anjuran masih belum banyak yang memahami, begitupula saya). Sekarang zaman sudah berubah, maka bentuk Kepemimpinan seperti apa yang dikehendaki masyarakat? Nye menyebutnya sebagai “shared leadership”, kepemimpinan yang dibagi. Biasanya kita lebih kenal dengan kata desentralistis. Sudah bukan zamannya kerajaan atau monarki absolut yang tersentral pada satu figur saja, yakni raja atau ratu. Sekarang, dunia sedang dilanda demam demokrasi, kekuasaan rakyat. Semua kerajaan telah digulingkan, yang tidak, akan berubah menjadi quasi-parlementer. Tapi bukan ini yang dibahas mendalam, melainkan tipe pemimpin.
Bagi Joseph Nye, tipe pemimpin maskulin yang bersifat otoriter dan kompetitif sudah tidak lagi dikehendaki oleh masyarakat umum, melainkan lebih kepada tipe yang feminim, yakni kolaboratif, partisipatoris dan integratif. Namun dengan banyaknya pemimpin yang bertipe maskulin sekarang, muncul sebuah permasalahan baru: ketidakpercayaan terhadap pemimpin yang akan berimplikasi pada berkurangnya legitimasi dari penguasa tersebut. Permasalahan ini akhirnya menimbulkan sebuah pertanyaan, “apakah kita masih butuh pemimpin?”.
Patut dimengerti, sebenarnya kita membutuhkan pemimpin. Untuk mengorganisir suatu gerakan sosial pun diperlukan adanya koordinator atau pimpinan, contoh: Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr. Sejatinya pemimpin itu berguna untuk membawa masyarakat pada tahap yang lebih baik daripada tahap yang sekarang. Tapi harus diingat juga, bahwa memimpin sebuah institusi itu beda dengan memimpin gerakan sosial. Semuanya dijelaskan dalam bab 1 dari buku ini.
Kita tak bisa memimpin jika tak punya kekuasaan. Yang dimaksud dari kalimat tersebut adalah bahwa Kepemimpinan selalu berhubungan dengan kekuasaan, sedangkan kekuasaan tidak selalu bersentuhan dengan kepemimpinan. Kekuasaan adalah ide abstrak yang selalu berbeda kekuatannya dan maknyanya, tergantung konteks yang sedang digunakan. Pemaknaan terhadap kekuasaan selalu berkutat pada komando dan koersi, pemaksaan oleh A agar B melakukan yang diinginkan oleh A. Nah, dalam mengambil keputusan, disini lah kekuasaan bersinggungan dengan kepemimpinan. Seorang diktator bisa saja dengan cepat mengeksekusi pemberontak, tapi ini akan menghilangkan kekuasaannya jika ternyata pemberontak tersebut memang ingin menjadi martir, sebaliknya, pemberontakan akan semakin besar. Yang terpenting dari Kepemimpinan adalah: “apa yang akan terjadi jika “aku” memberi perintah seperti ini?”, think twice dalam membuat keputusan, itulah kepemimpinan. Adapun kekuasaan itu terbatasi oleh ruang, seperti yang dikatan Nye dalam bukunya, Atasanmu dikantor tidak bisa mendiktemu dalam cara membesarkan anak-anakmu. Itu dikarenakan ruang lingkupnya sudah berbeda. Ada juga yang mengartikan kekuasaan sebagai kekayaan yang dimiliki individu atau kelompok yang dapat mempengaruhi pandangan orang lain. Pengartian ini membuat kekuasaan menjadi konkrit tapi sangat terbatasi oleh harta benda saja.
Pembahasan lainnya adalah mengenai Soft Power (kekuasaan yang lembut). Terkadang seseorang bisa mendapatkan hasil yang diinginkan tanpa memaksa atau mengancam orang lain, itulah yang disebut dengan Soft Power (SP). SP membutuhkan kemampuan untuk membentuk pilihan orang lain selaras dengan pilihanmu melalui persusasi, bukan koersi (paksaan).
Hal-hal yang telah diulas diatas memiliki satu hal yang paling penting: pengikut. Kekuasaan maupun Kepemimpinan tidak akan berguna jika tidak ada pengikut atau pekerja atau pegawai atau bawahan. Cara memperlakukan orag yang menjadi bawahan kita lah yang selalu menjadi polemik untuk diselesaikan. Buku ini mengulas mengenai hal itu juga. Ditulis dengan bahasa inggris yang mudah dimengerti, Joseph Nye tidak hanya seorang teoritisi yang pandai, tapi juga penulis yang handal. (rez)