Judul Buku: Melawan Fasisme
Penulis: Clara Zetkin
Penerjemah: Joko Susilo
Penerbit: Penerbit Independen
Tebal Buku: 165 Halaman
Tahun Terbit: 2020
ISBN: 9786239338202
Saya memberi judul dengan kecenderungan melihat fasisme sebagai musuh, hal ini membuat saya tidak lagi objektif dalam menulis, saya tidak melihatnya dengan jernih dan ilmiah, saya sudah terlalu berpihak ketika menulis resensi ini. Pertanyaannya, bukankah manusia selalu berpihak? Buat apa hidup kalau semuanya di tengah terus, buat apa meneliti sesuatu jikalau tidak punya standing point dan ideologi yang kuat? Hanya untuk buku dan jurnal internasional? Buat apa kalau masyarakat umum tidak bisa membacanya? Itu kritik saya, sebelum memulai resensi ini, kepada para akademisi “netral” yang membaca resensi tidak ilmiah ini.
Fasisme, Otoritarianisme, dan Kediktatoran selalu dipakai bergantian dan berdampingan satu dengan yang lain seperti orang kerap mengaitkan Sosialisme, Marxisme, dan Komunisme. Pastinya tiga kubu yang saya sebutkan pertama selalu berhadapan dengan tiga kubu yang terakhir secara filosofis, belum tentu secara praktik. Dalam bukunya Asal-Usul Totalitarisme Jilid III: Totalitarisme, Hannah Arendt bahkan menyandingkan Hitler yang notabene perlambang dari fasisme dengan Stalin yang merupakan pimpinan Uni Soviet, salah satu negara komunis terkuat di dunia kala itu. Penyandingan ini berkaitan dengan bagaimana mereka berkuasa, bukan perkara ideologi. Ideologi bisa berbeda tapi kekuasaan bisa menghasilkan produk yang sama. Buku ini diambil dari sudut pandang penulis yang notabene seorang komunis yang menolak segala bentuk penindasan dan pemerasan oleh seseorang terhadap orang lainnya.
Mari kita awali dengan pemaknaan Zetkin terhadap fasisme. Sederhananya, fasisme adalah kekerasan dan teror. Layaknya seorang revolusioner, penulis melihat permasalah di dunia ini dalam perjuangan kelas, dalam konflik yang berkelanjutan antara kelompok proletar dan borjuis, di mana fasisme merupakan sebuah kekuasaan yang disuntik kekuatan oleh para borjuis. Para fasis adalah alat untuk menghantam kelas proletar. Sebagai pemikir Eropa, Zetkin juga memperlihatkan kondisi di mana fasisme bisa muncul dan tumbuh subur, ketika pemerintahan para kapitalis sedang menurun.
Pembentukan massa fasis tidak terlepas dari masyarakat miskin atau yang dimiskinkan yang nampaknya ingin sebuah perubahan, namun ada peleburan dalam barisan kelompok fasis seperti yang disampaikan juga oleh Hannah Arendt dalam bukunya yang saya sebutkan dalam paragraf di atas juga dalam karya Daniel Guerin berjudul Fascism and Big Business, bahkan Guerin melihat bahwa kelas menengah adalah pemasok massa terkuat dan terbanyak dalam gerakan fasis, tidak seperti yang diramalkan Marx bahwa mereka akan menghilang dengan sendirinya. Fasisme menjadi wadah bagi mereka yang “tunawisma politik”, tidak melihat apapun kelas mereka dan dileburkan menjadi satu front, satu kelompok, satu partai, yakni Partai Fasis yang pada akhirnya menjadi pemenang, entah melalui pemilu atau perebutan kekuasaan secara paksa dan membentuk negara yang kuat nan otoriter. Adapun elemen revolusioner di dalam partai Fasis, namun pada akhirnya dihancurkan oleh elemen yang lebih dominan: kelompok reaksioner.
Terlepas fasisme berusaha meleburkan setiap bagian dari masyarakat. Kelas borjuis tetap berusaha mempertahankan kekuasaannya agar dapat melakukan eksploitasi terhadap kelas pekerja untuk kepentingan berupa keuntungan. Mereka menyambut fasisme sebagai sekutu demi mempertahankan kekuasaannya. Zetkin memberikan dua karakteristik yang pasti ada dalam semua fasisme di berbagai negara: program revolusioner yang palsu dan penggunaan teror serta kekerasan untuk mencapai tujuan. Penulis memberikan contoh perkembangan fasisme di Italia di mana Mussolini mulai membangun basis massanya semenjak 1914 namun berkembang cukup lamban dan baru menguat pada 1920, hal ini dikarenakan kebanyakan penduduk Italia yang masih percaya pada sosialisme.
Namun, seperti Hitler, Mussolini turut berusaha merebut basis massa dari kalangan buruh. Menguatnya fasisme berarti mengancam sosialisme, ketika sosialisme dibangun dengan pandangan yang internasionalis, fasisme membangun basisnya sebagai nasionalis. Pada awal-awal pembahasannya mengenai fasisme, Zetkin memusatkan perhatiannya kepada Mussolini dan para pendukungnya di Italia. Ia menguak akar historis, sosial, ekonomi dan politik dari kemunculan rezim fasis di Italia yang nantinya bergabung dalam satu Poros dengan Jerman di bawah Hitler dan Jepang di bawah Tojo.
Setelah mengupas tuntas permasalahan fasisme Italia, Zetkin bergerak ke Jerman, di mana sebaliknya, jika Italia berada di kubu pemenang, Jerman adalah kubu yang kalah yang dipaksa menandatangani Perjanjian Versailles. Kondisi sejarah antara di Jerman dan di Italia beda sekali pastinya namun mengeluarkan hasil yang sama. Begitupula kekalahan sosialisme demokrasi juga memuluskan jalan fasisme naik ke tampuk kekuasaan.
Meskipun nampaknya kajian Zetkin ini berusaha menekankan kepada sisi perlawanan praktis terhadap fasisme, namun sebenarnya lebih kepada ulasan mengenai fasisme untuk memahami sifat, sejarah dan kondisi pemerintah, partai atau kelompok yang mendukung fasisme dengan studi kasus utama Italia. Buku ini menyasar mereka yang suka pada kajian bersifat filosofis dan politis terutama masalah ideologis.
Meskipun kritik yang dilontarkan Zetkin adalah kepada kelompok fasis, namun kelompok sosialis reformis juga turut tertampar karena ketidakmampuan mereka untuk melawan. Kealpaan dan kepasifan kelompok kiri menghasilkan pendukung fasis yang semakin kuat, apa yang dibutuhkan orang jahat adalah orang baik tidak berbuat apa-apa. (rez)
Beli buku ini dengan harga khusus Rp55.000 di KB. MURBA (klik).