Kekuasaan, Kedaulatan dan Dominasi dalam Perspektif Foucauldian

Judul Buku: Society Must be Defended

Penulis: Paul-Michel Foucault

Penerbit: Penguin Books

Tebal Buku: xxiii+310 halaman

Tahun Terbit: 2004

Foucault merupakan pemikir paling rumit sejauh ini. Apa yang dibahas akan selalu menarik untuk diulas karena kerumitan penjelasan yang diberikan beliau pasca-penelitian atau observasi yang telah ia laksanakan. Kompleksitas selalu menjadi bingkai pemikiran Foucault selama ini. Adakalanya kita bosan dengan gaya berfikir semacam itu, tapi Foucault sendiri tidak pernah bosan dalam merumitkan penafsiran hidup kita. Sesuai kata Marx, bahwa Foucault sebagai seorang filsuf telah menafsirkan dunia yang kita tinggali sedetail mungkin.

Beberapa bukunya yang paling terkenal dan booming di Indonesia akhir-akhir ini adalah Kegilaan dan Peradaban, Arkeologi Ilmu Pengetahuan dan Disiplin Tubuh. Namun masih cukup jarang perkuliahannya di College de France diartikan kedalam bahasa Indonesia. Entah karena pemilihan diksi kata yang sulit, atau mungkin penerbit Indonesia kurang tertarik. Akan tetapi, buku satu ini merupakan salah satu perkuliahan yang pernah ia sampaikan pada tahun 1975-1976 di Universitas ternama se-antero Perancis, berikut ulasan singkatnya.

Foucault terlihat sedikit gundah ketika awal-awal menyampaikan perkuliahannya. Ia memulai dengan mempertanyakan kegunaan dari institusi pendidikan yang dimana ia adalah salah satu staf pengajarnya. Beliau menyampaikan bahwa kegunaan dari College de France hanyalah sebagai tempat riset dan menyampaikan hasil temuan dari riset yang telah dilakukan. Dia sendiri mengaku dibayar untuk melakukan riset. Foucault menyatakan ia tidak melakukan perkuliahan di kampus tersebut melainkan penyampaian hasil temuan riset, sejenis laporan pertanggungjawaban yang tidak begitu komunikatif.

Ia lebih setuju dengan kata pidato, karena komunikasi hanya satu arah dan waktu yang begitu singkat, hanya satu setengah jam tiap hari rabu pagi ia dapat menyampaikan pidatonya. Foucault berharap untuk mendapatkan waktu yang cukup luang untuk berbicara dengan beberapa mahasiswanya di sebuah ruangan dengan waktu yang cukup panjang agar memperluas pandangannya sendiri.

Dalam pidato singkatnya pada satu tahun ini, beliau menyampaikan mengenai banyak hal, yang diawali dengan mengejawantahkan lembaga yang bergaya militeristik semacam kerajaan terlebih dahulu. Bentuk paling awal dari lembaga tersebut adalah kekuasaan yang berada didalam masyarakat. Bersamaan dengan kekuasaan ada yang namanya kebenaran, sejak kapan dua hal ini berjalan bersama? Sejak abad pertengahan dimana kekuasaan Raja dan Ratu mulai diimbangi dengan lembaga penegak hukum. Bangunan hukum ini menjadi instrumen untuk memperkuat kekuatan monarki yang otoriter dan absolut karena merasuk dalam personal tiap keluarga kerajaan. Maka dari itu, kekuasaan dan hukum dipegang oleh keluarga kerajaan.

Beberapa abad kemudian, saat hukum telah lepas dari genggaman para aristokrat (bangsawan/ keluarga kerajaan), hukum malah digunakan untuk melawan mereka untuk membatasi kekuasaan mereka. Pembatasan kekuasaan ini dilakukan agar Raja beserta keluarganya tidak semena-mena dalam menggunakan hak nya, namun disisi lain, bagi para Raja yang sepakat dalam pembatasan kekuasaan ini, akan mendapat dukungan rakyat untuk kekuasaannya (karena kooperatif seperti di Inggris yang masih bertahan dalam bentuk Monarki Konstitusional). Pembahasan ini akan selalu terpusat pada Raja dan usaha dalam mengurangi dominasi Raja nya, masuknya Demokrasi dan Demokratisasi.

Foucault menganalisa kekuasaan dengan beberapa hasil temuan: kekuasaan terbentuk dan terlihat secara gamblang dalam hukuman dan lingkungan yang melaksanakan hukuman tersebut seperti penjara. Pelaksanaan hukuman, apalagi dengan kekerasan, menurut Foucault semakin membuat kekuasaan menjauh dengan hukum (aturan). Kedua, Kekuasaan muncul dalam sebuah jejaring, bukan hanya personal yang memiliki kekuasaan, akan tetapi hampir berputar dalam banyak individu dengan kadarnya masing-masing. Pada suatu titik, seorang pemimpin dapat menjadi Tiran karena pasti ada sisi fasis dalam otak kita masing-masing, ujar Foucault.

Setelah bicara mengenai kekuasaan yang jumlahnya banyak karena berada di tiap individu, mereka bisa bersatu dan menjadi kedaulatan. Kedaulatan inilah yang menjadi perlambang negara, kedaulatan inilah yang dilambangkan oleh Raja, bukan kekuasaan. Munculnya kedaulatan ini adalah hasil dari menyatunya kekuasaan yang ada dalam tiap individu dalam bentuk legitimasi (dukungan) terhadap sebuah subyek (Foucault tidak menyatakan apakah harus dalam bentuk negara atau Raja, ia hanya menyebutkan subyek, meskipun pada sebelumnya menyebutkan Raja, namun menurut dia, penggambaran kedaulatan dalam bentuk Raja atau negara tidaklah relevan).

Jika kedaulatan terbentuk dari kekuasaan yang menyatu dan direpresentasikan, maka ada yang disebut dengan dominasi. Kata dominasi sendiri masih susah diartikan secara komprehensif dalam bahasa Indonesia, namun Foucault memaknai dominasi sebagai suatu usaha mencari atau mengumpulkan kekuasaan bukan dari dukungan (legitimasi) tapi melalui tekanan (subjugasi). Namun baik kedaulatan maupun dominasi, keduanya berisikan kekuasaan yang saling berhubungan antara satu sama lain, kekuasaan lah yang menjadi pondasi mereka berdua.

Pada akhirnya, Foucault menuju kepada peperangan yang dia anggap sebagai pertemuan antara dua kedaulatan atau lebih tepatnya merupakan ajang untuk melihat kekuatan dari “kumpulan kekuasaan”. Tetapi, apakah peperangan ini temporer atau abadi? Bagi Foucault, peperangan sifatnya permanen, karena disegala lini kehidupan seperti eksploitasi, kompetisi, spesialisasi, ketidaksetaraan, kesenjangan dan sebagainya yang berkaitan merupakan bentuk primer dari peperangan dan terjadi tiap hari. Masih banyak lagi yang ia jelaskan, terutama mengenai Carl von Clausewitz. Jika ingin lebih dalam mengenal Foucault, buku yang satu ini tidak berbelit-belit dan menjadi salah satu dasar pemikiran utama kelompok postmodernis dan post-strukturalis. (rez)