Judul Buku: Philosophy and Public Administration
Penulis: Edoardo Ongaro
Penerbit: Edward Elgar Publishing
Tebal Buku: xi+275 halaman
Tahun Terbit: 2017
Administrasi, kata ini acapkali berkonotasi membosankan dimanapun kita berada. Administrasi pula yang selalu kita anggap rumit dan menjadi penghalang hidup tenang. Singkat kata, kita alergi terhadap kata administrasi. Bahkan tidak sedikit yang enggan untuk melaksanakan tugas-tugas administratif guna meyelesaikan sebuah permasalahan, contohnya membuat paspor, membuat E-KTP, laporan kehilangan ke kepolisian dan berbagai macam hal lain yang tanpa sadar telah bersinggungan dengan administrasi. Tidak jarang juga bahkan mahasiswa yang berkuliah di jurusan administrasi (terutama administrasi negara atau publik) bosan dengan mata kuliahnya sendiri.
Ada anggapan bahwa administrasi adalah pelajaran mengenai orang membosankan yang melakukan hal-hal yang membosankan dan teknis. Akan tetapi, Profesor Ongaro tidak sepenuhnya sepakat dengan paradigma semacam itu, ia membawa angin segar bahwasanya perkuliahan administrasi publik juga memiliki dimensi filosofisnya, silakan disimak resensi singkat ini.
Dimensi filsafat ini tidak begitu diminati di administrasi publik dewasa ini. Administrasi lebih condong kepada teknis ketimbang pembahasan dialektis ala filsuf. Dari pembelajaran seperti ini, maka ilmu administrasi melahirkan teknokrat sekaligus birokat handal namun bukan intelektual dengan kemampuan diskursus maupun analisa yang tajam. Buku karya Ongaro ini menjadi penting, karena merangkum segala bagian filosofis dari ilmu ini dan berada dalam satu penulis yang sama hingga pembahasannya mengalir dengan baik. Beberapa akademisi sudah berusaha mendahului Ongaro, seperti Geert Boucakert dan Christopher Pollitt yang mengulas permasalahan manajemen publik secara merinci, Christopher Hood yang membahas dimensi budaya dalam antropologi yang sejatinya dapat dikaitkan dengan manajemen publik, dan banyak contoh lainnya yang dikejawantahkan dalam buku ini.
Dalam administrasi publik pun memiliki doktrin yang bermacam-macam. Beberapa doktrin itu adalah positivisme yang mempromosikan ilmu pengetahuan ilmiah sebagai dasar dari kehidupan manusia. Begitupula dalam administrasi yang harus digunakan manusia, maka pengetahuan yang melandasi arah geraknya haruslah ilmiah, tidak sekedar spekulasi belaka. Ilmu pengetahuan dianggap hanya dapat terakses melalui pola seperti ilmu eksak dan metodenya di ikuti pula oleh ilmu sosial. Dalam perspektif semacam ini, ilmu pengetahuan seperti ilmu administrasi negara haruslah memiliki fakta yang pasti, hal ini membuat pandangan para ilmuan menjadi keras dan kolot. Fakta tersebut menjadikan ilmu pengetahuan terkait menjadi solid dan tidak terpatahkan. Pandangan yang positivis semacam ini kerap memiliki sudut pandang yang optimis karena kemajuan ilmu pengetahuan dianggap juga akan memajukan masyarakat, karena kapasitasnya untuk menyelesaikan masalah kemanusiaan.
Pandangan lain dalam filsafat yang terkait dengan administrasi publik ialah strukturalisme. Sebelumnya, strukturalisme adalah pendekatan filsafat yang langsung menohok kepada struktur sosial dalam masyarakat, dimana nantinya akan mengkarakteristikkan masyarakat melalui dimensi ruang dan waktu. Sedihnya, pendekatan yang dibawa oleh Louis Althusser dan Michel Foucault ini sangat jarang digunakan di administrasi dikarenakan, entah para akademisi administrasi publik tidak tertarik dengan pendekatan ini atau akademisi administrasi publik tidak terlatih dalam pembahasan dan analisa yang terlalu dalam yang acapkali digunakan oleh para pemikir strukturalis. Adapun pandangan ini membedakan struktur sosial dengan lembaga (institusi) karena lembaga adalah bentukan manusia, sedangkan struktur sosial, keberadaannya mendahului eksistensi manusia dan karena itu pastinya bukan produk dari manusia itu sendiri.
Namun, perlu sekiranya memperdalam pemahaman strukturalis dalam administrasi publik, agar para akademisi mampu memahami semacam apa agen politik melakukan tugas-tugasnya di masyarakat, dan tidak semua lembaga bersifat administratif, ada juga yang berbentuk administratif-politis (contoh: Bakesbangpol).
Salah satu paradigma yang cukup mencengangkan adalah Marxisme yang ternyata dapat berhubungan dengan administrasi publik. Dapat kita ketahui bahwa Antonio Gramsci, seorang teoritisi marxis berkebangsaan Italia, pernah menjelaskan mengenai sudut pandangnya bahwa Partai Politik adalah jajaran baru dari para “Pangeran” ala Macchiavelli. Partai politik ini berusaha untuk menaklukkan masyarakat yang secara otomatis akan menaklukkan pula pemerintah yang memimpin masyarakat tersebut, entah melalui mutasi, reformasi atau revolusi.
Analisa bergaya marxisme atau bernuansa Gramsci dapat digunakan dalam agenda neoliberal dan hubungannya terhadap penyebaran pemikiran “New Public Management” (NPM) di berbagai belahan dunia. NPM merupakan produk dari neoliberalisme, sehingga teori yang muncul pun selalu menguntungkan pergerakan golongan neoliberal, terutama dalam bentuk privatisasi yang terjadi di berbagai negara. Gagasan Gramsci ini secara garis besar telah dikemukakan guna mendukung kepentingan ekonomi dari kubu-kubu yang memiliki prioritas dan agenda masing-masing. Diskursus publik ialah mengenai bagaimana sebuah organisasi publik bekerja bukanlah wilayah dimana para pemikir berdebat untuk menyelesaikan permasalahan barang publik akan tetapi sebuah arena pertarungan dimana kepentingan kelompok akan lebih aktif berperan bersama “intelektual organik” agar dapat mendominasi secara global, nasional maupun lokal, demi membentuk sebuah organisasi publik yang akan memperluas pengaruhnya (sebuah kelompok kepentingan).
Dan pendekatan terakhir yang penulis akan bahas adalah eksistensialisme. Pertama, penulis tidak percaya jika eksistensialisme yang justru menjadi titik tekan dalam pendekatan yang mampu digunakan secara meluas di bidang administrasi. Pendekatan ini dilahirkan oleh Martin Heidegger (filsuf asal Jerman di era Nazi) dan dipopulerkan oleh Jean Paul Sartre dari Perancis. Eksistensialisme besar di tengah-tengah amarah mahasiswa di Perancis dan mereka menuntut bahwa para “administrator” yang seharusnya melaksanakan kewajibanya melebihi tugas yang dibebankan, agar memahami permasalahan yang seharusnya ditanggulangi.
Eksistensialisme disini menunjuk para administrator tadi untuk lebih mampu bertindak luwes agar keberadaan mereka dapat memproyeksi masa depan yang lebih baik. Pendekatan ini mengumandangkan kebebasan administrator publik dalam bertindak guna untuk menyelesaikan kebutuhan publik yang butuh diselesaikan secepat mungkin. Birokrat yang memiliki keilmuan lebih mengenai sebab-akibat dari sesuatu yang ia lakukan dapat mengaplikasikan keilmuan mereka untuk memenuhi kepentingan publik, dan bukan untuk kepentingan diri sendiri (karena akan menyebabkan korupsi dan sejenisnya). Mereka harus memahami hakikat keberadaan mereka sehingga dapat melaksanakan tugas semaksimal mungkin.
Namun, semenjak munculnya “Public Governance”, kesadaran ini juga harus ditularkan kepada warga negara agar mereka awas terhadap kinerja para administrator, semua demi pelaksanaan kebijakan yang efektif dan efisien juga kepuasan masyarakat terhadap pelayanan yang didapat. Jadi peran aktif masyarakat juga menentukan kepuasan mereka sendiri.
Terpaksa penulis harus memotong penjabaran mengenai pendekatan-pendekatan filsafat dalam administrasi negara, karena masih banyak lagi pandangan-pandangan para filsuf yang sejatinya dapat diterapkan dalam studi ke-administrasi-an. Buku ini hanyalah pengantar bagi para administrator, dosen, mahasiswa ilmu administrasi dan khalayak umum (karena penggunaan bahasa yang halus) untuk memahami bahwa ilmu filsafat sangat bisa masuk kepada ranah-ranah teknis. Karya profesor Ongaro ini telah mendobrak paradigma ilmu administrasi yang membosankan menjadi sebuah ilmu yang patut dihargai akan kerumitannya, tidak hanya mekanis namun juga bersifat lentur dan selalu berkembang. Buku ilmiah ini sangat disarankan oleh penulis untuk menjadi salah satu referensi di seluruh departemen maupun jurusan ilmu administrasi publik. (rez)