Ide Politik Mengenai Poskolonialisme

Judul buku: Black Skin, White Mask

Penulis: Frantz Fanon

Penerbit: Jalasutra

Tahun terbit: 2016

Tebal buku: xx + 188 hlm

Frantz Fanon, seorang psikiater sekaligus salah satu pemikir revolusioner dibidang poskolonialisme. Ia juga berkawan dekat dengan Aime Cesaire, penulis buku Diskursus Kolonialisme yang mengkritik tidak adanya perspektif humanisme yang dibawa oleh kolonialisme. Buku tersebut merupakan masterpiece Cesaire dan turut memengaruhi Fanon dalam menulis kritik terhadap kolonialisme. Imbuhan ‘pos’ dalam kata ‘kolonialisme’ secara sederhana memang berarti ‘sesudah.’ Tetapi, apa yang sebetulnya ada sesudah kolonialisme?

Buku ini dikembangkan dari pengalaman dan pengamatan Fanon seputar permasalahan kulit hitam di Antilles, tanah kelahirannya. Meski ia menyatakan bahwa pengamatan dan kesimpulannya hanya berlaku di Antilles, begitu membaca tiap lembarnya, kita tahu bahwa pemikirannya dapat menerobos batas ruang dan waktu hingga ke masa kini. Pun harus kita pahami, Fanon mendasarkan pengamatan dan kajiannya pada teori psikoanalisis. Teori ini menekankan pengamatan pada emosi dan perilaku manusia. Melalui psikoanalisis, Fanon dapat membangun kesimpulan yang membantu kita memahami kondisi psikologis kulit hitam khususnya dan masyarakat terjajah secara umumnya.

Secara terus-terang Fanon mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah tentang bagaimana orang kulit hitam melihat dirinya. Ada rasa rendah diri yang dibangun secara sadar. Mereka berhasrat untuk mengidentikkan dirinya dengan kulit putih—melalui bahasa, tingkah laku, hingga percampuran budaya. Semakin banyak hal yang bisa mereka adopsi dan lakukan sesuai gaya kulit putih, semakin mereka merasa terlepas dari label kulit hitamnya. Tentu beserta segala stigma negatif kulit putih terhadapnya. Dengan begitu, derajat mereka dipandang lebih tinggi dibanding masyarakat kulit hitam lainnya yang lambat atau bahkan tidak mampu mengadopsi nilai dan tingkah laku kulit putih.  Mereka menikmati ‘kenaikan harga diri’ diantara kulit putih, tapi sebenarnya hal itu tidak ada. Ini hanyalah anggapan mereka. Hasrat ini, menurut Fanon, justru menuntun kulit hitam ke penyimpangan terhadap keberadaannya sendiri. Perilaku ini, yang juga dialami masyarakat terjajah manapun, merupakan sindrom inferioritas.

Bagian-bagian awal mengungkap posisi kulit hitam dalam arus modernitas. Kulit hitam (atau masyarakat terjajah) diharuskan untuk mempelajari bahasa penjajahnya, dan penjajahnya tak akan mempelajari bahasa mereka kecuali beberapa patah kata untuk memerintah budak. Bahasa adalah pelajaran dasar untuk bisa berkomunikasi dengan baik dan menyampaikan maksud secara tepat. Sekaligus bisa menjadi alat hegemoni yang manjur untuk menginjak-injak mental masyarakat terjajah. Misalnya saja bahasa Creole (perpaduan bahasa Antillean berdialek Perancis), tidak boleh digunakan di dalam lembaga pendidikan. Anak-anak Perancis pun (ketika itu Antilles dijajah Perancis) dilarang mempelajarinya. Sederhananya, bahasa Creole adalah bahasa budak. Hal ini tertanam di benak kulit hitam Antilles bahwa bahasa Creole membuat derajat mereka rendah, warna kulit mereka adalah warna budak.

Upaya lain untuk melepaskan diri dari kehitamannya adalah dengan membangun hubungan bersama kulit putih.  Sebutannya ‘laktifikasi,’ dimana perempuan kulit hitam memilih bersama laki-laki kulit putih dan menjauhi kulit hitam. Adapun upaya ini sesungguhnya merupakan cerminan dari keputusasaan kulit hitam, ketidaksanggupan menanggung ‘beban inferioritas’ sepanjang hidupnya. Pertanyaan yang menggelitik tentu mengenai seberapa autentik cinta hitam-putih ini. Orang kulit hitam mendekati kulit putih karena ingin melesatkan statusnya dari budak menjadi tuan, tapi apa keuntungan yang akan didapat kulit putih? Sementara sudah jelas mereka harus menghadapi tekanan sosial karena hubungannya dengan kulit hitam. Bagian ini menarik untuk ditelusuri karena Fanon menganalisis sejumlah karya sastra untuk menjelaskan bagaimana hubungan kulit hitam dan kulit putih tetap mungkin terjalin.

Tiga bagian terakhir buku ini menguak sisi psikologis kulit hitam. Dimana mereka selalu dicaci, dicemooh, mereka dipandang aneh dan selalu dihubungkan dengan tindak kejahatan. Kulit putih menganggap, keberadaan kulit hitam tak membuatnya nyaman dan aman.

Sepintas, apa yang diungkapkan Fanon di buku ini memang cenderung menunjukkan subjektifitasnya. Tetapi ia menemukan cara mereduksi kecenderungan ini menjadi studi yang objektif. Melalui berbagai contoh yang diambil dan dipaparkannya secara berapi-api namun tetap memiliki sentuhan ilmiah, Fanon berhasil membingkai dunia psikologis kulit hitam dan problem rasial dunia kita. Kita tidak hanya akan mengarungi pengalaman sarat makna, anekdot hingga karya sastra tentang perbudakan dan kulit hitam yang turut dianalisis dengan manis, tapi juga menemukan kesadaran bahwa betapa sempit jika pikiran kita hanya terbentur pada upaya fiksasi manusia. Sedangkan pikiran kita harus bebas dan selalu bertanya. (ich)