Ibnu Khaldun dan Masalah Kenegaraan

Judul Buku: Muqaddimah

Penulis: Ibn Khaldun

Penerbit: Pustaka Firdaus

Tebal Buku: 846 halaman

Tahun Terbit: 2000

Seringkali resensi buku yang ada dalam website ini berisi buku-buku ideologis yang berhubungan dengan mata kuliah sosial dan politik, semua resensi tersebut adalah dampak sekularisasi pendidikan yang didapat oleh peresensi sejak Sekolah Dasar. Munculnya mata ajar Pendidikan Agama Islam diluar mata ajar lainnya ialah sebuah usaha memisahkan agama dengan ilmu pengetahuan umum lainnya yang bersifat eksak maupun non-eksak (sosial). Sejatinya, Islam sudah berusaha menguak permasalahan sosial dan politik melalui Ibn Khaldun jauh sebelum Auguste Comte, Emile Durkheim dan Max Weber. Keberadaan wacana ketauhidan pun tidak terlepas dari ilmu kemasyarakatan. Wacana keislaman dalam ilmu sosial dan politik kurang begitu ditonjolkan sehingga para pemikir sosial dan politik kerapkali tertimbun dibawah hegemoni teori-teori Barat. Kali ini pereseni akan mengambil karya seorang Ibnu Khaldun sebagai penyeimbang Barat.

Seperti yang umumnya diketahui bahwa Ibnu Khaldun adalah seorang pemikir Islam yang lahir di Tunisia pada tahun 1332 Masehi. Ia menjelaskan dalam bukunya ini bahwa manusia memiliki banyak sekali pekerjaan untuk memenuhi kehidupan, dan mustahil jika pekerjaan tersebut dilakukan sendiri, maka dari itu dibutuhkan sesuatu yang kita sebut sebagai organisasi, biasanya disebut sebagai Kota (arab: Al-Madinah). Beliau menggambarkan bahwa manusia bersifat politis menurut tabiatnya, sesuai dengan kata Zoon Politicon.

Manusia tumbuh besar diberi akal pikiran oleh Allah S.W.T yang terutama ialah untuk bertahan hidup (mencari makan). Adanya kodrat ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan biologis berupa makanan sesedikit apapun tanpa adanya kerjasama dengan manusia lain, maka dari itu, hubungan antar manusia juga menjadi penekanan utama dalam Islam. Hubungan kerjasama inilah yang nantinya membangun negara, dari sinilah kota besar dibangun dan merencanakan kota kecil. Hendaknya dalam bernegara dibutuhkan seorang pemimpin, biasanya disebut sebagai Sultan pada zaman itu.

Bagi Ibnu Khaldun, Negara mendahului keberadaan kota besar dan kota kecil, kota-kota itu adalah produk sekunder dari negara. Pendirian bangunan dikota adalah tanda kemajuan suatu peradaban dan kedaulatan negaranya. Kemampuan seperti ini hanya bisa dilakukan oleh negara, karena dibutuhkan usaha terpadu dan kerjasama dari orang banyak. Yang dapat melakukan paksaan untuk melaksanakan pembangunan hanyalah negara dengan kedaulatan yang mereka miliki, untuk masalah upah kerja adalah sesuatu yang keluar setelah paksaan tersebut dilaksanakan, namun bisa juga menjadi faktor pendorong yang cukup ampuh. Hidupnya negara adalah hidupnya kota, ketika kedaulatan negara tersebut pupus, maka runtuhlah kota-kota yang ada di negara tersebut, layaknya Iraq dan Afghanistan sekarang. Keruntuhan kota ini juga menjadi penyebab kemunduran peradaban, bisa dicermati disini bahwa relasi antar negara, kota dan peradaban sangatlah erat dan tidak terpisahkan.

Populasi jika menjadi faktor penting dalam perkembangan peradaban, keberadaan manusia dalam jumlah besar akan memaksa negara untuk membangun pemukiman yang lebih banyak dan bangunan yang lebih tinggi, guna memberi tempat berteduh populasinya. Pertumbuhan ekonomi pun setara dengan pertumbuhan penduduk, roda ekonomi akan berjalan sesuai dengan banyaknya transaksi karena besarnya populasi di suatu negara.

Saat negara memiliki kedaulatan yang besar, maka dua hal yang menjadi faktor pendorong untuk menguasai kota-kota, yakni kedaulatan akan menyebabkan masyarakat hidup tentram, makmur, tenang dan santai, dan negara harus mempertahankan kota-kota dari serangan musuh (ekspansi) agar kedaulatannya tidak berkurang, karena semakin kecil wilayah kekuasaan menandakan semakin kecul pula kedaulatan yang dimiliki suatu negara. Itu kenapa bagi Ibnu Khaldun, kedaulatan suatu negara memerlukan perkampungan urban (perkotaan).

Keberadaan monumen dalam suatu negara juga menjadi penanda kuatnya kedaulatan suatu negara dan kemajuan peradaban, hanya negara yang kuat dan besar yang dapat membangun monumen yang menjulang tinggi karena memiliki sumberdaya manusia dan alam yang banyak. Monumen ini juga menjadi perlambang kejayaan masa lalu maupun masa sekarang dan dapat berbentuk bermacam-macam, seperti Piramida di Mesir yang menandakan legitimasi Fir’aun setinggi langit, atau perpustakaan Kordoba yang sangat luas menandakan kemajuan ilmu pengetahuan di Andalusia, perlambang ini mengikuti jenis kekuasaan dan kekuatan yang dimiliki negara tersebut.

Banyak hal lain yang dijelaskan dalam kitab tebal ini, terutama mengenai pangkat, dinasti, pemerintahan. Dari buku ini juga muncul stratifikasi sosial yang pada saat itu belum diberi nama, hanya klasifikasi dan diferensiasi. Buku ini sejatinya adalah sebuah tonggak dan pertanda bahwa peradaban Islam pernah mengalami kemajuan yang sangat pesat, namun naas, mendengar penjelasan buku ini layaknya bernostalgia dengan kejayaan masa lalu. (rez)

Foto: Islamic Culture Foundation