Geger Komunis di Indonesia, Hubungan Soviet dan Indonesia yang Tak Terungkap

Judul Buku: Dari Moskow ke Madiun? Stalin-PKI dan Hubungan Diplomatik Uni Soviet-Indonesia, 1947-1953

Penulis: Larissa M. Efimova

Penerbit: Syarikat Indonesia

Tebal Buku: xi+171 halaman

Tahun Terbit: 2010

ISBN: 9789781287046

Sejarah Indonesia itu panjang dan rumit. Satu kisah memunculkan kisah yang lain. Kemerdekaan memunculkan permasalahan lain: mempertahankan kemerdekaan itu. Serangkaian pertempuran dan perundingan dilakukan demi mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamasikan setelah kejatuhan Jepang.

Agar perjuangan tidak sia-sia, banyak perwakilan Indonesia berkeliling dunia dan meminta bantuan negara lain untuk mengakui keberadaan Republik Indonesia. Upaya ini disambut oleh negara seperti Mesir, ditolak (pastinya) oleh Belanda dan kawan-kawannya, ada juga beberapa yang masih abu-abu seperti Amerika Serikat. Bagaimana dengan Uni Soviet? Itulah yang akan dibahas dalam buku ini.

Kita dapat menemukan banyak bahan bacaan tentang hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat, namun sangat jarang yang mengulas hubungan diplomatik Republik Indonesia dengan Republik Sosialis Uni Soviet. Belum ada bukan berarti tidak ada. Buku ini secara khusus menyingkap koneksi Soviet dengan Indonesia melalui dokumen-dokumen rahasia Soviet yang sudah dideklasifikasi.

Awal hubungan Indonesia dan Soviet dimulai dengan dikirimkannya seorang Komunis-Stalinis bernama Soeripno yang berhasil menjalin kontak dengan Dubes Soviet untuk Cekoslowakia pada tahun 1948. Namun tidak ada kelanjutan yang signifikan dari kontak tersebut. Jatuhnya kabinet Amir dan naiknya kabinet Hatta turut berdampak pada kemandekan hubungan yang dibangun Soeripno di Cekoslowakia. Ketika di sinilah Soeripno juga bertemu dengan Musso yang nantinya akan memimpin pemberontakan PKI tahun 1948 di Madiun.

Tidak hanya dengan Musso, Soeripno juga bertemu dengan Paul de Groot, sekretaris jenderal Partai Komunis Belanda. Bagi Larisa, ialah Partai Komunis Belanda yang membuat Musso melakukan aksi di Madiun, bukan PKUS, karena yang mengetahui usaha Musso untuk kembali ke Indonesia dan yang sering berhubungan dengan Musso adalah Paul de Groot.

Sementara itu, jatuh bangunnya kabinet membuat kebijakan luar negeri Indonesia tidak konsisten, apalagi Indonesia selalu mencari jalan aman dalam melaksanakan politik luar negerinya. Dengan menyepakati meminta dukungan dari Soviet maka nanti Indonesia akan dianggap bergabung dalam Blok Timur atau komunis ketika Perang Dingin berkecamuk. Namun, Musso yang sudah lama di Soviet nampaknya mendapat tekanan dari PKUS berkenaan dengan kondisi Indonesia dan kebijakan kelompok kiri di sana, salah satunya kabinet Amir Sjarifuddin yang meskipun membentuk Partai Sosialis bersama Sjahrir namun memiliki kecenderungan terhadap komunisme, dan pada akhirnya ikut dalam Pemberontakan 1948 yang berujung pada kematiannya.

Buku ini lebih menonjolkan peranan Musso dalam pembaharuan pandangan PKI yang melahirkan “Jalan Baru untuk Republik Indonesia” sebagai cara untuk membuat PKI “lebih komunis” dan tidak sembunyi-sembunyi semenjak PKI menjadi sasaran pemerintah seusai pemberontakan Prambanan. Larissa nampaknya ingin memperlihatkan wajah PKUS yang baik dan tidak menampakkan Musso sebagai “boneka Soviet.”

Penulis ingin membuat citra yang baik dari Soviet saat masih memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia yang diperlihatkan melalui interpretasi terhadap dokumen-dokumen rahasia Soviet. Ia juga melancarkan kritik terhadap pengkaji komunisme seperti Arnold C. Brackmann, Donald Hindley dan Van der Kroef yang kurang mendalam melihat peranan Soviet dalam hubungannya dengan Indonesia ketika perjuangan kemerdekaan maupun setelah kemerdekaan.

Pembahasan lainnya yang menarik adalah ketertarikan Stalin terhadap Indonesia. Stalin memberikan banyak komentar terhadap program yang dibuat oleh PKI dan berharap PKI bisa menjadi pengimbang kekuatan PKC di Asia. Stalin bahkan pernah meminta komentar dari Mao Zedong tentang PKI. Ia juga memberikan komentar terhadap program PKI sekaligus berdiskusi dengan para anggotanya, baik melalui surat atau bertatap muka secara langsung. Bagian buku ini menarik, namun kurang memberikan kritik pada peranan Stalin dan cenderung menggambarkan Stalin sebagai bapak yang penuh kasih sayang.

Menariknya, pada bagian selanjutnya, penulis justru mengutip memoar Khruschev bahwa Stalin tidak pernah menyebut nama Indonesia sama sekali kepadanya dan para pemimpin Soviet pun demikian. Hal ini berkontradiksi dengan apa yang disampaikan sebelumnya, di mana masih ada perhatian yang dicurahkan Stalin terhadap Indonesia, namun apa yang disampaikan pada bagian terakhir ini di ambil dari pernyataan Khruschev yang bisa saja memang Stalin tidak pernah berbicara mengenai Indonesia kepadanya.

Penulis juga menyebutkan bahwa pada 10 November 1945, Sukarno mengucapkan selamat kepada Soviet atas peringatan revolusi oktober, namun baru pada 8 Desember 1945, Soviet memberikan pengakuan tidak langsung kepada Republik Indonesia. Meskipun Indonesia meminta pengakuan penuh, namun untuk sementara Soviet hanya bisa memberikan pengakuan de facto karena masih kurang memahami apa yang terjadi di Indonesia secara menyeluruh.

Adapun pembahasan tentang Indonesia di Dewan Keamanan dan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Soviet berpihak kepada Indonesia dengan alasan taktis untuk mengalihkan perhatian dari permasalahan Iran yang mengeluh atas campur tangan Soviet terhadap urusan dalam negerinya.

Uni Soviet sendiri penuh perdebatan masalah apakah mengakui Republik Indonesia Serikat (RIS) atau tidak, karena beranggapan bahwa RIS adalah bentukan Belanda dan Amerika Serikat yang bekerjasama dengan nasionalis kanan di Indonesia. Hal ini pastinya berlawanan dengan kepentingan Soviet di Asia Tenggara. Namun kebijakan ini berubah dan Soviet mengakui keberadaan RIS pada 25 Januari 1950. Perubahan sikap yang cukup cepat ini diuraikan secara mendalam oleh Larissa pada bagian terakhir buku ini.

Bagi para pembaca yang mendalami hubungan diplomatik Indonesia-Soviet, buku ini sangat layak menjadi rujukan karena memuat sumber-sumber primer berupa dokumen yang sudah dibuka untuk penelitian, hanya saja tendensi penulis yang mengesankan Soviet sebagai pihak “yang baik” juga perlu dilihat ulang, ada baiknya kajian ke depannya melakukan kritik tidak hanya pada kalangan kiri di Indonesia, tapi juga Soviet sekalipun. (rez)