Judul Buku: Laskar Jihad
Penulis: Noorhaidi Hasan
Penerbit: LP3ES
Tebal Buku: xi+363 halaman
Tahun Terbit: 2008
ISBN: 979-3330-74-7
Beberapa minggu yang lalu, para pembaca akan menemukan kabar berkaitan dengan penangkapan Ja’far Umar Thalib di Papua. Banyak akademisi yang mengaitkan aktivitas Ja’far dengan terorisme, padahal dia hanyalah pendakwah, meskipun pendekatannya konservatis sekali. Jika para akademisi tersebut mempelajari lebih jauh tentang konservatisme di Indonesia, mereka pasti mengetahui bahwa Ja’far bukanlah bagian dari jejaring teroris, melainkan salah satu tetua dari jaringan Lasykar (organisasi paramiliter bercorak Islam) di Indonesia.
Buku yang merupakan karya staf pengajar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini merupakan disertasi PhD dalam menutup masa pembelajaran di Utrecht University, Belanda. Tidak disempitkan pada Laskar Jihad (LJ), penulis juga mengulas secara singkat Laskar Pembela Islam (LPI), sebuah organisasi paramiliter dari Front Pembela Islam (FPI) dibawah Habib Rizieq Shihab. Penulis memang menekankan bahwa laskar-laskar ini memang memiliki tujuan untuk menegakkan Syariat Islam di Indonesia, namun itulah perbedaannya dengan jejaring teroris.
Apabila kelompok semacam Jamaah Islamiyah (JI) atau Jamaah Anshorut Daulah (JAD), juga Negara Islam Indonesia (NII) berusaha mendirikan Darus (Negara) Islam di Indonesia, para laskar ini hanya ingin syariat Islam dilaksanakan di negeri khatulistiwa ini, tanpa melalui jalur politik-konstitusional atau jalur politik-revolusioner (makar). Hasan mengutarakan bahwasanya Laskar Jihad muncul sebagai organisasi paramiliter yang menyatukan para pemuda beraliran Salafi.
Organisasi yang menaungi LJ adalah Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal Jama’ah (FKAWJ) yang telah berdiri semenjak tahun 2000. Pendiri dari Laskar Jihad ini adalah Ja’far Umar Thalib bersama beberapa tokoh Salafi lainnya yang turut disebutkan dalam buku ini. Ja’far sendiri merupakan seorang keturunan Hadrami yang lekat dengan organisasi seperti Al-Irsyad dan Persatuan Islam (Persis). Seperti yang dituturkan oleh Hasan, bahwa Ja’far yang pernah belajar di Pakistan, juga menyempatkan untuk bertempur di medan Afghanistan pada tahun 1980an.
Laskar Jihad awalnya merupakan unit keamanan dari FKAWJ yang dibagi ke dalam empat batalyon yang diberi nama sesuai dengan empat khalifah dalam Islam pasca meninggalnya Rasulullah. Adapun menurut Hasan, LJ merupakan salah satu organisasi paramiliter Islam yang kerap mengirimkan sukarelawan jihad ke wilayah-wilayah konflik di mana umat Islam sedang menghadapi represi seperti di Poso dan Maluku. Selain itu, mereka pun juga memiliki pelatihan yang diberikan oleh personil Resimen Mahasiswa (Menwa). Kamp pelatihan dari LJ terletak di Bogor.
Menariknya, Noorhaidi Hasan menyingkap pula bahwa Laskar Jihad, dengan pandangan negatif yang disematkan padanya, ternyata melakukan hal-hal positif yang bahkan tidak terpikirkan oleh organisasi “moderat” macam NU atau Muhammadiyah, yakni mendirikan Taman Kanak-Kanak Islam, Sekolah Islam, kursus baca Qur’an terpadu. Kegiatan-kegiatan ini menandakan bahwa LJ bukanlah kelompok teroris beringas yang hanya karena ada kata “Jihad” dalam namanya lalu dengan mudahnya disematkan pandangan teroris padanya. Kelompok ini tetap memiliki tujuan untuk mempertahankan umat Islam sekaligus melakukan dakwah.
Hasan mengidentifikasikan kemunculan Laskar Jihad semenjak tahun 1980an dengan munculnya para pemuda yang berpakaian jubah panjang, bersorban, celana ¾ dan memiliki janggut panjang. Ciri-ciri tersebut cocok sekali dengan pemuda Salafi yang acapkali mengaku mengikuti jalur dari Salafus Salih (orang saleh terdahulu). Mungkin pada saat itu belum ada panggilan yang pas, namun sekarang kita mengenalnya dengan nama Pemuda Hijrah, Go Hijrah dan Indonesia Tanpa Pacaran. Penjelasan Hasan dalam Bab 1 ini memperlihatkan bahwa fenomena hijrah sebenarnya ada jauh sebelum Ustad Media Sosial terkenal.
Pastinya gerakan semacam ini menekankan pada pemurnian aqidah umat Islam tanpa menekankan sebuah perubahan politis dan mendirikan negara Islam. Tema-tema diskusi yang mereka adakan pun tidak mengenai pembentukan negara Islam, melainkan berkenaan dengan akhlaq, busana umat Islam, aqidah dan segala permasalahan keagamaan sehari-hari. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan kaum Salafi bahwa sebelum adanya perubahan pemerintahan, maka masyarakat harus diajak melaksanakan Islam secara kaffah. Perubahan dalam masyarakat ini, menurut Hasan, akan terlaksana secara evolusioner (pelan-pelan).
Tidak hanya LJ, Hasan juga mengutarakan bahwa pasca Reformasi, banyak ekspansi kaum Salafi yang bahkan mengalahkan pamor dari NII. Mereka membentuk Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab (LIPIA). Adapun kemunculan penerbit-penerbit seperti Gema Insani Press (GIP), lalu Al-Kautsar, Risalah Gusti, Pustaka Mantiq dan banyak penerbit lainnya yang turut disebutkan. LIPIA begitupula penerbit-penerbit tersebut merupakan jalur perluasan pemikiran Salafi yang nantinya juga menjadi landasan organisasi seperti Laskar Jihad.
Meskipun awalnya apolitis, namun Laskar Jihad menjadi patahan dari gerakan-gerakan Salafi yang sedang “bingung”. FKAWJ dan LJ adalah organisasi yang lahir akibat keprihatinan melihat konflik sektarian yang terjadi di Maluku dan dorongan untuk ber-Jihad ke sana. Adapun penulis menguaknya melalui teori mobilisasi dan gerakan sosial yang menggunakan massa (sumberdaya manusia) sebagai alat utama gerakan ini dapat berhasil. Gerakan sosial ini membentuk kelompok-kelompok Salafi menjadi kelompok baru yang ikut dalam panggung politik Indonesia.
Tidak seperti kelompok preman yang bergerak tanpa landasan, Laskar Jihad bergerak atas landasan fatwa seperti ketika berangkan ke Maluku, dilandasi oleh fatwa yang dikeluarkan oleh Muqbil ibn Hadi al-Wadi’i tentang kewajiban umat dalam ber-Jihad, terutama di daerah konflik seperti Maluku. Jihad-jihad yang dilakukan LJ bersifat defensif (perlindungan) sehingga ada persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh para mujahidnya, salah satunya dilarang mengakibatkan kekerasan fisik sesama umat Islam.
Menariknya, mereka yang tergabung dalam LJ dan sedang berangkat ke Maluku untuk ber-Jihad akan mendapatkan pendanaan dari FKAWJ yang bertanggung jawab atas pengiriman mereka dan juga memberikan bantuan terhadap keluarga-keluarga yang sedang ditinggal ber-Jihad. Pendanaan ini didapatkan melalui iuran wajib anggotanya dan donasi yang dikumpulkan melalui masjid-masjid dan permintaan di pinggir jalan. Namun penulis mengutarakan bahwa donasi besar tidak di dapat melalui sumbangan di masjid-masjid, melainkan donatur dari kalangan menengah ke atas yang juga termasuk kalangan militer.
Salah satu konsepsi yang menjadi inti dari kelompok Salafi semacam LJ adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja’), guna menjadi seorang pengikut Nabi Muhammad sejati, maka seseorang harus mempraktikkan seluruh ajarannya secara konsisten dan bergumul membentuk kelompok yang bersama-sama menerapkan ajaran Rasulullah. Selain Aswaja’, kelompok Salafi juga mengikuti ajaran Al-Qanthani dalam kitabnya Al-Wala’ wal Bara’ (konsepsi loyalitas dan permusuhan dalam Islam), kitab ini juga dipelajari oleh kelompok mujahid, meskipun semua yang membacanya belum tentu mujahid.
Laskar Jihad dengan keberhasilannya mengirimkan sumber daya manusia ke Maluku, di dukung dengan hubungan baik elitenya dengan kelompok militer. Hasan juga mengutarakan bahwa kedekatan ini berdampak pada pendaratan ribuan anggota LJ di Pelabuhan Slamet Riyadi yang tidak dihadang oleh TNI sama sekali, malah beberapa hasil wawancara dari buku ini menunjukkan bahwa mereka disambut hangat oleh personil militer, adapun beberapa yang berangkat dengan menumpang kapal-kapal TNI.
Para politisi kondang juga turut mendukung tindakan Laskar Jihad ini seperti Sumargono dan Eggy Sudjana (alumni HMI-MPO), begitupula Amien Rais hingga sekertaris Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Hussein Umar. Dukungan-dukungan inilah yang membuat nama LJ semakin membesar. DDII pun pernah membentuk Komite Penganggulangan Krisis (KOMPAK) yang nantinya di Poso akan membentuk kelompok Mujahididn KOMPAK Kayamanya (MKK) dan menjadi salah satu jejaring teroris nomer dua setelah Mujahidin Tanah Runtuh (MTR) bentukan Jamaah Islamiyah.
Meskipun LJ bisa dibilang sebagai kelompok yang berjihad untuk mempertahankan Maluku maupun Poso, namun mereka tidak dihitung sebagai kelompok teroris karena tidak menjalankan aksi-aksi teror yang menyerang musuh, namun lebih menekankan penggunaan kekerasan sebagai pertahanan sebagai Jihad Al-Daf. Kirsten E. Schulze juga pernah mengulas tentang LJ dalam pusaran konflik Ambon (Maluku), inilah yang membedakan karya Schulze dengan Hasan, dimana Schulze hanya melihat LJ melalui konflik Ambon, sedangkan Hasan menuliskan LJ secara lengkap bersama kaitannya dengan kelompok FKAWJ.
Buku ini memang menjadi rujukan yang pas untuk mempelajari Laskar Jihad secara menyeluruh, di mana kelompok ini masih sangat lemah dalam literatur ilmiah di Indonesia. Ditunjang dengan pandangan yang miring tentang LJ yang tidak bisa membedakan kelompok konservatif dengan kelompok teroris, buku ini mampu memberikan batasan mana kelompok teroris dengan yang bukan. Bagi mereka yang ingin mengulas tentang Laskar Jihad, buku ini akan menjadi pegangan yang pas dan sudah teruji secara akademis sebagai disertasi. (rez)