Judul Buku: Atheis
Pengarang: Achdiat Karta Mihardja
Penerbit: Balai Pustaka
Tebal: ivx+206 halaman
Cetakan: ketigapuluh enam, 2014
Achdiat Karta Mihardja, seorang politisi sekaligus pujangga ternama dari angkatan ’45 yang selalu menghasilkan karya-karya yang cukup kontroversial mengenai permasalahan batin seseorang didalam revolusi Indonesia yang sedang bergejolak. Melalui plot, alur cerita sekaligus watak tokoh melalui perkataan dan gerak-geriknya mengandung teka-teki sekaligus misteri yang berakhir pada ketragisan.
Kisah ini berawal dan bersetting di masa penjajahan Jepang. Dibuka dengan kematian dari tokoh utama. Pelaku utamanya bernama Hasan atau Den Asan merupakan seorang anak dari orang terpandang dikampungnya. Ayahnya adalah seorang yang tinggi status sosialnya, tidak hanya itu melainkan dalam pula ajaran agama islamnya. Hasan dididik dengan cara islam yang bisa dibilang cukup mendalam dan ketat, dari situ pun tumbuh pribadi yang baik, bahkan setelah lulus MULO (sekolah pada zaman belanda setingkat SMP), ia menyatakan keinginannya untuk mengikuti aliran tarekat. Ajaran yang ia ikuti makin memperdalam ilmu agamanya, dia tidak hanya melaksanakan ibadah sebagai kewajiban saja melainkan juga sebagai kebutuhan sehari-hari. Bisa dibilang untuk Islam lah dia hidup.
Namun semua berubah saat bertemu dengan Rusli, teman semasa kecilnya. Rusli berlainan sisi dengan Hasan, dimana Hasan adalah orang yang agamis, sedangkan Rusli berfikiran cukup liberal. Penggambaran Rusli disini ialah sebagai seorang yang berkepribadian gigih dan modern. Ia sangat terbuka dengan pemikiran-pemikiran yang berkembang pada zaman itu, terutama Marxisme, bisa dibilang dia adalah seorang “Frijdenker” (Free Thinker) pada masanya. Rusli bersua lagi dengan Hasan saat bersama Kartini ketika hendak memesan tiket kereta api. Disini ada pula sosok Kartini yang dilukiskan sedemikian rupa sebagai seorang Feminis, Kartini memiliki daya tarik secara fisik maupun pemikiran. Bisa dibilang, Kartini adalah faktor mendekatnya Hasan kepada Rusli. Lambat laun Hasan terpengaruh juga oleh pemikiran Marxis, karena lingkungan mempengaruhi cara berfikir seseorang. Ia mulai menjauh dari ajaran Islam. Tarekat yang ia ikuti mulai ditinggalkannya, ibadah dia lakukan hanya disaat ditimpa permasalahan yang manusia sendiri tak bisa menyelesaikan. Keadaan ini diperparah ketika Hasan berkenalan dengan Anwar, Frijdenker sekaligus seniman lain yang menganut aliran Anarkhis Individualis. Anwar selalu menganggap manusia adalah Tuhan, karena tanpa manusia, dunia tak akan ada. Anwar berkepribadian bebas, melakukan segala hal yang ingin ia lakukan, meskipun itu bertentangan dengan tradisi atau adat setempat. Perilakunya pun cukup keras dan tidak menyukai kebohongan atas diri seseorang. Perilaku ini yang menjadi biang keladi dari permasalahan Hasan dengan Ayahnya.
Tatkala Hasan ingin kembali ke kampungnya, Anwar ingin ikut. Ia melihat Hasan yang sudah cukup liberal berubah 180 derajat saat bertemu keluarganya, Ia kembali menjadi sosok yang taat agama. Kelakuan Hasan dikritik oleh Anwar sebagai orang yang plin-plan, tidak teguh pada pendiriannya sebagai orang Atheis. Ia mengutarakan bahwa kelemahan orang Indonesia adalah terlalu percaya pada hal-hal mistis, karena perkataan ini, Hasan memberanikan diri untuk memberitahu ayahnya kalau ia telah lama mengubah jalan hidupnya dan pertengkaran sekaligus perselisihan faham terjadi antara ayah dan anak sehingga Hasan diusir dari rumahnya dan tidak lagi dianggap sebagai seorang anak. Sejak saat itu tali silaturahmi keluarga terputus.
Keadaan Hasan pasca kejadian pun tidak makin membaik, ia terkena tbc karena suka merokok, banyak permasalahan melandanya yang pada titik tertentu membuat ia kembali pada ajaran awal sebagai seorang muslim yang baik karena takut masuk neraka. Sekuat apapun pendirian manusia, tetapi disaat kondisi menyatakan bahwa dia tak bisa ditolong lagi, dia akan kembali kepada Tuhan.
Novel ini ditulis dengan bahasa yang mudah dimengerti dan berisi pemikiran-pemikiran ideologis yang mulai luntur dalam novel masa kini. Atheis adalah titik kejayaan karya Sastera Indonesia pada zaman perjuangan. Pergolakan ideologis yang ditawarkan dalam novel ini memicu pembaca untuk berfikir dan melakukan tafsiran masing-masing. (rez)
*Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di LPM Mercusuar UNAIR, ketika penulis masih menjadi salah satu anggotanya.