Judul Buku: The Sky is Falling! The Unexpected Politics of Hollywood’s Superheroes and Zombies
Penulis: Peter Biskind
Penerbit: Penguin Books
Tahun Terbit: 2019
Tebal Buku: 252 halaman
ISBN: 978-0-241-37387-3
Ketika film Black Panther tayang di bioskop, seluruh dunia seolah menyorak kemenangan budaya Afrika-Amerika dalam pentas perfilman Hollywood. Sebagai film yang tokoh utamanya digambarkan berasal dari salah satu dari kelima suku di Afrika, hidup di tanah kaya vibranium, dan peradaban yang jauh lebih maju dibanding bagian dunia manapun, tak berlebihan jika dikatakan bahwa film Black Panther dirayakan besar-besaran dibanding film superhero Marvel lainnya, bahkan hingga hari ini. Black Panther bukan saja produk adaptasi komik, tetapi juga produk budaya—sentilan bagi isu rasisme Amerika.
Menyusul Black Panther, The Equalizer 2 dengan tokoh utama Denzel Washington dalam salah satu adegan berkesan antara Robert McCall dan Miles, ia memberikan buku Between the World and Me karya Ta-Nehisi Coates kepada Miles. Tampaknya seperti adegan biasa, tetapi telah membuka beragam interpretasi tentang apa maksud Denzel Washington atau Antoine Fuqua (sutradara) menyelipkan adegan tersebut. Sebagai informasi singkat, buku tersebut berisi tentang pengalaman seorang ayah kulit hitam yang berkisah kepada anaknya tentang cara ia menghadapi rasisme di Amerika. Di samping itu, Ta-Nehisi Coates merupakan penulis dan jurnalis Afrika-Amerika kenamaan yang kerap menulis persoalan politik, sosial, dan budaya Afrika-Amerika.
Sekarang, mari kita pikirkan. Seberapa sering kita memikirkan bahwa adegan sekecil apapun dalam film mengandung makna politis atau menyentuh perdebatan sosial-budaya tertentu dari masyarakat kita? Apakah kita hanya pergi ke bioskop untuk melihat adegan dramatis demi menghilangkan penat, lalu melupakannya selang 2-3 hari kemudian? Selain itu, pernahkah kita menemui seorang figur publik membuat referensi ke film-film tertentu dalam pidatonya, entah itu sebaris kalimat yang khas dari film atau dari nama program yang dicetuskannya?
Nyatanya, beberapa figur publik AS melakukannya, bahkan sekelas presiden. Dalam buku ini, Peter Biskind, seorang kritikus budaya dan sejarawan film dari Amerika Serikat, menyajikan serangkaian bukti bahwa film dan politik nyatanya tidak bisa dipisahkan. Sekalipun produser-produser film Hollywood tampaknya berusaha keras menghindari menyampaikan pesan politis melalui film, toh film selalu menyajikan ruang terbuka bagi interpretasi oleh khalayak. Film pun bisa menjadi petunjuk kecenderungan politik hingga kondisi psikologis masyarakat AS seiring zaman.
Dalam bagian pembuka, Peter Biskind menyatakan bahwa buku ini adalah tentang budaya populer (pop/popular culture) Amerika di era ekstremisme. Era ekstremisme yang ia rujuk di sini terkait dengan adu gagasan kelompok kiri dan kanan pasca Perang Dunia II, tetapi pada kenyataannya panggung politik turut diisi oleh kelompok tengah yang—meskipun sudah kena pukul dari kiri maupun kanan—masih menyuarakan istilah-istilah yang merendahkan.
Para ekstremis itu, kelompok kiri dan kanan, sebenarnya telah tereksklusi dari perbincangan nasional. Namun, istilah “ekstrem” ternyata mengalami pencitraan ulang yang tak terduga. “Ekstrem” kini digunakan untuk merujuk kepada sesuatu yang keren, tidak biasa, unik, atau out of the box. Ekstrem bukan lagi sebagai julukan biasa, tetapi sebuah ‘penghargaan’ atas inovasi yang tidak biasa. Sedangkan yang mainstream (arus utama), kini jadi lamestream (arus lemah)—menurut istilah Biskind.
Era ekstremisme telah berada di depan mata sejak kemenangan Trump. Pada 2015, sebagian Republikan yang “sangat konservatif” jumlahnya meningkat dari 19% menjadi 33%. Adu gagasan kelompok kiri dan kanan AS berlangsung terutama pasca-Perang Dunia II. Komunisme sempat diminati, meski kemudian diburu mulai akhir 1940-an hingga 1950-an. Dalam gambaran Biskind, Amerika kian jatuh dalam polarisasi politik yang ekstrem.
Sikap ekstrem ini bisa dilihat dari jenis film keluaran hollywood dan tingkat penerimaannya di bioskop, misalnya film mana saja yang tiketnya ludes dalam hitungan jam sejak film tayang perdana atau meraih pendapatan fantastis sehari sejak penayangan. Selain itu, orang kini cenderung lebih menyukai film yang menunjukkan adegan dimana sang karakter harus bertahan dalam kondisi ekstrem lalu menyelamatkan diri dengan cara-cara ekstrem (film-film superhero menjadi contoh yang baik untuk menjelaskan hal ini). Ringkasnya, film-film ekstrem ini punya plot sederhana saja: Us vs Them. Dunia ini hanya ada hitam dan putih.
Lebih jauh, Biskind mencoba menyajikan karakter film yang ‘berideologi’ kanan dan kiri. Film-film kanan umumnya adalah film soal xenofobia dan paranoid, khawatir dengan ancaman atau invasi dari luar. Sedangkan film-film kiri lebih menampilkan simpati, terhadap yang jahat sekalipun. Lebih menghargai dan menerima perbedaan.
Meskipun Biskind menyatakan bahwa sebagai agent of change budaya telah diperlakukan hanya sebagai faktor tersier ataupun sekunder, kenyataannya ada saja sekelumit hal dari budaya yang dibawa ke ranah politik dan ekonomi. Budaya pada dasarnya mampu memberi warna terhadap narasi-narasi politik dan ekonomi yang kadangkala suram. Mencerahkan pidato yang umumnya terdengar muram. Misalnya saja, program antimisil Ronald Reagan, Biskind menyebut Reagan sebagai presiden hasil bentukan film pertama AS. Bagaimana tidak, saking kepincutnya dengan Star Wars, antimisil Reagan juga dinamai Star Wars Program. Ditambahi dengan kata-kata, the force is with us. Selain itu, Biskind mensinyalir penamaan “Operation Geronimo” untuk misi membunuh Osama bin Laden diambil dari film-film era 1950-an yang menggambarkan Geronimo sebagai karakter ekstrem.
Ada hal yang sama antara politik dan film agar diterima banyak orang, yakni bahwa keduanya harus memiliki kisah menarik untuk disampaikan. Memiliki narasi yang kuat untuk dikenang. Menyuguhkan ciri khas, bukan retorika klise yang usang. Hollywood pada dasarnya berusaha untuk melindungi dirinya dari serangan berbau politis atau moral dengan menampilkan seperangkat narasi kebijaksanaan yang diterima umum. Pokoknya kelihatan apolitis, tidak ada ideologinya sama sekali. Tetapi, seiring perkembangan zaman, banyak film Hollywood yang diangkat dari naskah novel atau kisah nyata tak bisa lepas dari interpretasi seputar latar belakang penulis dan zamannya.
Film-film Hollywood pasca-Perang Dunia II menunjukkan AS yang mulai bersemi dalam balutan pop culture. Berbeda dengan film-film Eropa yang masih terasa muram. Negara-negara Eropa pun masih dalam proses berbenah dari kerusakan akibat Perang Dunia II. Film yang menampilkan wajah-wajah segar seperti Gene Kelly, Marlon Brando, Jennifer Jones, dan David Niven dengan berlatar belakang berbagai negara di dunia, Asia hingga Eropa, menunjukkan keseriusan AS dalam menggarap film. Di samping itu, menunjukkan bahwa tidak ada tempat di dunia ini yang tak bisa dijangkau Hollywood. Dipoles menjadi karya layar lebar beromset milyaran dolar.
Kini, film-film Hollywood tak hanya dinikmati sebagai suguhan menarik pelepas penat di akhir pekan. Film-film seperti Rogue One: A Star Wars Story, Captain Marvel, Black Panther, Avatar, Joker, Glass, dan lain-lain dianggap membawa pesan penting tentang kondisi sosial masyarakat abad 21. Tidak hanya soal AS, tetapi juga seluruh dunia. Beberapa fans dari franchise film tertentu mengkritisi film yang kurang menunjukkan sisi inklusif gender, penempatan peran yang terlihat rasis, diskriminasi gender dalam film, dan lain sebagainya. Keberanian sebuah production house untuk menggebrak tabu akan diapresiasi jagad maya. Sebaliknya, yang menyangkal dukungan isu tertentu bisa jadi bakal diserang habis-habisan.
Lalu, (lagi-lagi) apa hubungannya dengan politik AS? Industri hiburan memandang bahwa bias liberal telah membuat mereka menjadi target abadi bagi kelompok kanan, ada kalanya ekstrem kanan. Sebagai contoh, pemilik sinema di Alabama menolak untuk menayangkan Beauty and the Beast (2017) karena ada karakter gay di dalamnya. Atau kelompok sayap kanan alternatif yang menyerukan ajakan memboikot film Rogue One: A Star Wars Story (2016) karena penulis naskahnya mendeskripsikan film tersebut dalam salah satu tweetnya sebagai film dimana The Empire adalah organisasi supremasi kulit putih yang diadu dengan kelompok multikultural yang dipimpin oleh perempuan-perempuan berani.
Buku ini terbagi dalam empat bab dan dengan masing-masing bab berisi tiga sub-bab. Tiap bab mengambil judul dari film-film (atau serial) terkenal: Winter Has Come, Who’ll Stop the Rain, Breaking Bad, dan Heaven Can’t Wait (ada judul yang terdengar familiar?). Bagian awal penjelasan Biskind tampak tidak nyambung, berputar-putar, setelah 8–10 paragraf baru bisa dipahami maksud argumennya ke arah mana. Tetapi, di samping pembukaan yang membingungkan itu, bagi yang tak terbiasa membaca buku sejenis tentang analisis film dan kaitan sosial-politiknya, akan lebih bingung lagi dengan penempatan referensi film yang acak dari Biskind. Meskipun demikian, dengan membaca dan mencerna pelan-pelan setiap referensi film yang digunakan Biskind, bisa kita bayangkan sendiri bangunan interpretasi yang hendak dikemukakan Biskind seperti apa.
Biskind dalam buku ini berusaha membuat pembaca mengamini bahwa setiap film merefleksikan ideologi tertentu dan seiring waktu, yang ekstrem selalu lebih menarik, lebih diminati, dan lebih dicari. Ia memasukkan banyak rujukan film untuk menjelaskan argumennya, mulai dari yang terkait karakter, baris-baris percakapan, hingga adegan dalam film. Bagi penikmat film, buku ini bisa menjadi salah satu bacaan menarik untuk melihat sisi lain dari film Hollywood sebagai produk budaya dan politik—bacaan yang lebih ‘berat’ daripada sekadar menonton adegan dramatis di layar bioskop. Sedangkan bagi kritikus film hingga jurnalis, buku ini berguna sebagai pegangan dan rujukan untuk membaca pesan politik dan sosial-budaya yang dibawa oleh film-film lawas maupun terbaru garapan Hollywood. Atau membuat judul artikel yang menarik dengan rujukan pop culture. (ich)